Jumat, 16 Mei 2014

Sepotong Dada Ayam





Tere masih termanggu di sudut kanan restoran fastfood itu, ia duduk sendiri, mengaduk-aduk ice cream rasa vanilla bertabur potongan kecil brownies yang ada di hadapannya. Ice cream  kesukaanya itu hanya dipandanginya begitu saja. matanya yang sipit menatap kosong ke arah jalan raya yang basah oleh deras hujan yang mengguyur lima belas menit yang lalu.
          Tapi, hujan bukan satu-satunya alasan kenapa Tere masih terpaku di kursi itu, ia sedang ingin menunggu seseorang, seseorang yang diharapkannya akan datang menemuinya di tempat itu. Di tempat pertama kali mereka bertemu. Dan tentunya, mengukir banyak kenangan yang tidak akan pernah ia lupakan, walau sedikitpun.
          Andra, nama laki-laki itu, mahasiswa  kedokteran salah satu universitas ternama di jakarta.  Berkulit sawo matang, berdada bidang, dan berlesung pipit. Tapi bukan penampilan fisik atau status sosial yang disandangnya sebagai mahasiswa kedokteran yang membuat Tere tidak bisa melupakan sosok itu. Tere  mencintai Andra karena kesederhanaannya, kecerdasan otaknya, dan sikap pedulinya pada orang lain yang membuat Andra begitu tidak tergantikan.
          Tere menyendok ice cream yang terasa hambar dilidahnya.
          “Andra, semua memang terasa hambar tanpamu,” lirihnya dalam hati.
          “Aku menyesal kenapa waktu itu aku tidak mendengarkan hati kecilku, sekarang semuanya telah hilang, telah lebur, dan aku tidak memiliki apa-apa selain kenangan kita. “ Tere bergumam.
          Dan semua slide film kenangan itu kembali terputar di benaknya. Menyeretnya ke lorong-lorong waktu yang sebenarnya ingin ia kubur dalam-dalam, kecuali tentu saja kenangan bersama Andra. Karena hanya itu miliknya yang paling berharga.
         
Satu tahun lalu, sebelum Tere mengenal Andra. 
          “Mbok Imah..............!!! aku haus, cepet ambilin minum!” teriaknya memenuhi dinding-dinding rumah gedongnya yang sepi.
          Bi Imah tergopoh menghampirinya dengan segelas air putih ditangannya yang sudah mulai keriput.
          “Lho, koq air putih??? Aku kan pingin minum jus mangga, Mbok, kenapa dibawainnya air putih?”
          “Tapi kan tadi non Tere nggak bilang kalau mau minum jus, “
          “YA, ngerti sendiri dong! Pake naluri. Mbok, kan dibayar untuk memenuhi semua kebutuhan aku di sini.”
          “Ya, sudah maafkan Mbok Imah! Nanti biar mbok buatkan jusnya sekarang.”
          “Nggak usah! Aku udah nggak selera,” Tere pun beranjak ke dalam kamarnya, meninggalkan mboknya yang mengelus dada.
          Tiba di dalam kamarnya, Tere memanggil kembali wanita tua itu.
          “Mbok  Imah....!!! mana gaun malam warna hitam kesayanganku? Koq nggak ada di dalam lemari?”
          Bi Imah kembali tergopoh menuju kamar Tere yang berada di lantai dua itu.
          “Maaf, Non, gaunnya belum sempet Mbok setrika, soalnya, Ijah  kan sedang sakit jadi pekerjaannya mbok yang pegang.”
          “Ah dasar! Bilang aja nggak becus kerja, banyak alasan lagi!”
          “Ya sudah, sekarang biar mbok yang setrika ya,”
          “Ya sudah cepetan! Sebentar lagi Ryan menjemput.”
          Bi Imah segera berlari kecil menuruni tangga. Dan ketika ia sampai di dua anak tangga sebelum terakhir, kakinya terpeleset. Ia pun terjatuh. Kakinya keseleo. Tapi ia tetap berusaha bangun dan beranjak ke ruang setrika walaupun sambil menahan sakit di kakinya.
          “Ah, syukurlah keseleonya tidak terlalu sakit,” gumamnya. Dengan cepat ia langsung menyetrika gaun Tere. Tapi, tiba-tiba.  Ijah yang sedang terbaring sakit di kamar sebelah, memanggil namanya, ia seperti  meminta tolong dan beberapa detik kemudian, terdengar suara gelas pecah dari kamar tempat Ijah istirahat. Bi Imah langsung menemui Ijah. Dan perkiraanya benar, ternyata Ijah sudah terbaring di lantai tidak sadarkan diri. Ia terjatuh dari ranjang  ketika mau mengambil air minum di gelas di dekat mejanya.
          Dengan cekatan, Bi Imah langsung membereskan pecahan gelas itu, dalam hati ia bersyukur karena Ijah tidak terkena pecahan gelas itu.
          Tapi, tanpa ia duga, Tere sudah berdiri garang di depan pintu kamar. Di tangannya , sebuah gaun hitam dengan bekas strikaan tergenggam.
          “IMAH....!!! apa saja kerjamu dari tadi? LIHAT GAUN MALAMKU! KAMU TAHU BERAPA HARGANYA? SEBESAR GAJIMU SELAMA DUA TAHUN SAJA BELUM CUKUP,”
          Tere sudah benar-benar murka pada Bi Imah, dan iapun mengusir wanita paruh baya itu  dari rumah besarnya hari itu juga. Bi Imah hanya bisa menahan air mata yang sebentar lagi akan meluncur deras.
          “Tapi, non, anak-anak saya butuh biaya untuk makan dan sekolah,”
          “Peduli apa aku pada kesusahanmu,” dan Terepun beranjak meninggalkan Bi Imah yang terisak.
         
Sepuluh bulan lalu, sebelum Tere mengenal Andra.
          Huh.....sebel! dasar lampu merah sialan! Aku kan lagi buru-buru mau ke kampus,” Tere berteriak kesal. Hari ini ada kuliah Psikologi. Terlambat satu detik saja ia tidak boleh masuk ruangan oleh dosen yang terkenal paling disiplin itu.
          Tere membuka kaca jendela mobilnya.
          syukuri apa yang ada.....
          Hidup adalah anugrah....
          Kita jalani.....hidup ini.....
          Melakukan yang terbaik.....”
          Seorang pengamen cilik tiba-tiba sudah berada di depan mata Tere. Suaranya yang sumbang menyanyikan sebuah lagu salah satu group band yang sedang naik daun.
          Belum selesai ia menuntaskan lagunya, Tere sudah buru-buru menyemprotnya dengan kata-kata yang pedas.
          “Cukup....cukup!!! bisa sakit telingaku kalau terus denger suara jelek kamu! Sana pergi! Dasar orang miskin, bisanya hanya ngamen!”
          “Makasih, mbak, atas hinaannya, mbak tidak tahu betapa susahnya hanya untuk mencari sesuap nasi saja!”. pengamen cilik itupun berlalu dengan mendengus kesal.
          Uh....lama amat seh lampu merah ini nyalanya!” ujarnya kesal.
          Tidak berapa lama, seorang kakek tua yang renta, dengan pakaian compang-camping, dan tangannya yang hanya sebelah, menghampiri mobil mewah Tere.
          Assalalmualikum, permisi Neng, minta sedekah seikhlasnya, Bapak belum makan selama tiga hari, neng! Tolong bapak!” kakek tua itu memelas dengan suaranya yang serak.
          Oh....God! help me!!! kenapa Engkau kirimkan orang-orang kumal dan bau ini padaku!”
          “Eh, Pak tua, maaf yah! Aku gak ada uang receh, lagian kalaupun ada juga aku belum tentu ngasih, memangnya uang tinggal mungutin doang?” katanya ketus. Tere kemudian menutup kaca mobil dan menarik pedal gasnya. Karena lampu hijau sudah menyala. Meninggalkan pengemis renta itu dengan kepulan debu yang terhembus oleh mobilnya yang mewah.

Enam bulan lalu, sebelum Tere mengenal Andra.
Di kantin kampus, Tere dan teman-teman satu gengnya sedang asyik mengobrol, menggosipkan Wina, salah satu teman sekelas mereka yang diduga nyambi sebagai “ayam kampus”. Sesekali mereka  tertawa terbahak-bahak. Entah menertawakan apa?.
“Permisi nona-nona yang cantik! Kami hanya minta sedikit saja waktu nona-nona untuk membaca selebaran yang kami bawa ini!” seorang mahasiswa berkacamata menyodorkan beberapa selebaran pada Tere dan kawan-kawannya.
Selebaran itu berisi tentang foto seorang anak bernama Adam yang saat ini sedang menderita tumor ganas di otaknya. Selain tumor, anak laki-laki berumur lima tahun itu juga terkena busung lapar. Saat ini ia tidak bisa berobat ke rumah sakit karena masalah biaya.
“Bagaimana nona-nona yang cantik dan manis, apakah ada yang mau menyisihkan uang sakunya untuk membantu anak yang ada dalam foto itu?” tanya mahasiswa itu lagi.
Tere dan kawan-kawannya saling pandang, dan mereka kembali mengobrol, kali ini yang mereka obrolkan adalah tentang gossip para artis.
Mahasiswa berkacamata beranjak dari tempat itu dengan sebuah perasaan yang terasa mengiris hatinya. Ia bertanya-tanya dalam hati, “kemanakah rasa kemanusiaan mereka? rasa kepedulian mereka? pada sesama? Terutama pada orang yang nasibnya kurang beruntung dari mereka?” dan pertanyaannya itu, hanya mengambang di udara.

The day full of love
Setelah kurang lebih empat menit Tere menunggu antrian, ia memesan menu kesukaannya, sushi, dan membayarnya dengan cash. Matanya mencari-cari bangku yang masih kosong, dan ternyata hanya ada di bagian tengah. Ia mendengus kesal. Karena ia paling tidak suka duduk di bangku bagian tengah. Apalagi sendirian seperti ini, tapi mau tidak mau ia harus duduk di sana karena hanya itu satu-satunya bangku yang kosong. Sedangkan perutnya sudah keroncongan minta di isi dan ia sedang malas mencari tempat makan lain.
Akhirnya Tere duduk di bangku bagian tengah tersebut. Tiga orang laki-laki yang duduk di bangku pojok bagian kiri memperhatikan Tere. Mereka kemudian tertawa-tawa. Tapi Tere tidak tahu kalau ia sedang diperhatikan.
Salah seorang dari mereka berdiri menghampiri bangku Tere dan...Bruk! ia jatuh menyenggol lengan kanan  Tere.
“Maaf, mbak! Saya tidak sengaja!”
“Kalau jalan pake mata dong! Jangan pake dengkul!” jawab Tere ketus.
Laki-laki itu malah tersenyum pada kedua temannya.
Tere sedang malas ribut sama orang, jadi dia langsung melanjutkan kembali makannya.
Tanpa Tere tahu, beberapa anak SMA yang sedang makan di belakang Tere mentertawakannya. Begitu juga dengan orang-orang yang duduk tidak jauh darinya. Tempat itu jadi semakin riuh oleh suara – suara yang berbisik-bisik dan tertawa, mata mereka seperti tertuju padanya.
Tere sadar kalau orang-orang itu sedang mentertawakannya. Ia mulai memperhatikan badannya, bajunya, celananya, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba, seorang laki-laki menyapanya,
“Hai, boleh duduk di sini?”
“Memangnya siapa yang melarangmu?” jawab Tere.
“Maaf, saya Cuma mau bantu kamu”
“Bantu apa?  saya nggak butuh bantuan siapapun.”
“Oh, ya?”
“ Kalau ada kertas di belakang punggungmu yang berisi kata-kata yang mengundang perhatian, bagaimana?”
Tere kaget, ia langsung meraba punggungnya, dan benar saja, ada sebuah kertas yang menempel di sana, ia mengambilnya. Tere membacanya, dan seketika wajahnya memerah.
“SSSSTTTT......! JANGAN BERISIK! ADA ANJING GALAK YANG PAKE KAOS IJO DAN LAGI KELAPERAN, JANGAN DEKET2 KALAU  MASIH PINGIN HIDUP!”
Tere merasa malu sekali.  Baru kali ini ia dipermalukan seperti ini. Ia yakin pasti orang yang menempelkan kertas itu adalah laki-laki yang tadi menyenggolnya. Tapi ketika ia mencari laki-laki tersebut, ternyata ia telah pergi bersama dua kawannya.
“Sial!” kata Tere.
“Tidak usah marah seperti itu!” yang penting sekarang kertas itu sudah tidak ada di punggungmu!” ujar laki-laki itu tersenyum bijak.
          Dan Tere langsung jatuh hati pada senyum itu. Dan entah dari mana, bunga-bunga seperti berjatuhan dari langit imajinya. Iapun tersenyum. Sebuah senyuman yang telah lama hilang dari wajah manisnya.
Lima bulan yang lalu, setelah Tere mengenal Andra.
Tere tidak mengerti kenapa ia begitu cepat merasa akrab dengan Andra. Padahal ia adalah cewek yang terkenal jutek di kampusnya, bahkan sejak ia masih SMA. Ia sudah menyandang gelar “ratu jutek” itu.
Dan hari itu, Andra mengajaknya ketemuan di tempat pertama kali mereka bertemu, restoran fastfood itu, Tere langsung menyanggupinya.
Pukul  empat sore di restoran fastfood. Andra telah menunggunya di sana. Di kursi pojok kanan yang mengahadap ke jalan raya.
Pukul empat sore lewat tiga belas menit, Tere datang dengan tergopoh. Ia meminta maaf karena telah membuat Andra menunggu selama tiga belas menit. “     “Maafkan aku ya! Sudah membuatmu menunggu” Tere terlihat grogi sekali.
“Ups, minta maaf? Apa aku nggak salah? Kapan aku terakhir kali minta maaf pada orang lain dan merasa bersalah?” katanya dalam hati. Ia benar-benar merasa aneh pada dirinya sendiri.
“Tidak apa-apa! Aku ngerti kok, cewek itu kan beda ama laki-laki, dia membutuhkan waktu lebih lama dari pada pria dalam hal berdandan, betul kan?” Andra tersenyum bijak. Senyum yang manis sekali bagi Tere.
Mereka kemudian memesan paket combo plus buble float kesukaan Tere. Sambil menyantap dada ayam itu, mereka mengobrol panjang lebar.
“Tere, kamu tahu? Betapa berharganya sepotong dada ayam ini bagiku?” tanya Andra.  Tere mengeleng. Ia tidak mengerti. Mungkin bukan tidak mengerti, tapi merasa heran, apa berharganya sepotong dada ayam ini baginya? Bukankah ia mahasiswa kedokteran? dan setahu Tere Andra adalah anak seorang pengusaha?. Ia bertanya – tanya dalam hati.
“Bagiku, sepotong dada ayam ini, juga setiap butir nasi ini, adalah harta yang sangat berharga yang tidak boleh disia-siakan”
Tere tahu makanan favorit Andra adalah fried chicken, tapi apakah itu alasan Andra menganggap sepotong dada ayam ini sebagai benda yang paling berharga?. Rasanya bukan itu alasannya. Tere kembali bertanya dalam hati.
“Setelah ini, kamu akan tahu jawabannya”. Andra berkata singkat sambil melahap potongan terakhir daging kesukaannya.
Pukul lima sore, Tere dan Andra sudah berada di dalam angkot yang menuju stasiun kereta listrik. Kata Andra, ia akan mengajak Tere ke sebuah tempat yang penuh keajaiban. Tere makin tidak mengerti pada Andra. Kenapa mereka harus naik angkot dan naik kereta? Bukankah naik taksi lebih nyaman. Ia sebenarnya ingin sekali protes pada Andra, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu sekali. Dan ia hanya terdiam, saat tadi Andra menyetop sebuah angkot untuk mereka naiki.
“Andra, kenapa kita harus repot-repot  naik kereta seh? Kan penuh dan nggak terjamin keamanannya, lebih nyaman naik taksi, praktis nyaman dan tentunya menghemat waktu juga.” ujar Tere akhirnya. Mengeluarkan uneg-unegnya yang dari tadi dipendamnya. Saat itu mereka sudah berada di stasiun menunggu kereta.
“Karena dengan naik kereta, kita akan merasakan benar-benar hidup di dunia nyata, bukan dunia para peri.” Jawab Andra.
“Maksudnya?” Tere semakin bingung dengan jawaban Andra, iamenautkan sepasang alisnya ke atas.
Andra menatap Tere lekat-lekat. “Tere, dunia kita, kehidupan kita, sangat berbeda jauh dengan dunia mereka, “ Andra menunjuk anak-anak jalanan yang mengamen di stasiun itu.
“Kita berada di dunia peri, di istana yang semua hal yang kita inginkan akan langsung ada tanpa harus berusaha dan kerja keras dulu.”
“Kita ingin hp yang paling canggih menit ini, menit berikutnya hp itu sudah ada di tangan. Kita ingin punya mobil yang mewah hari ini, besoknya mobil tersebut sudah ada di bagasi rumah kita,”
“Kehidupan seperti itu memang sangat menyenangkan, tapi tidak menenangkan,”
“Karena seperti halnya fatamorgana, ia terlihat indah tapi ternyata hanya ilusi belaka, kehidupan seperti itu menipu kita” ujar Andra panjang lebar.
Tere berusaha mencerna apa yang dikatakan Andra barusan. Dan itu menohok hatinya.
Kereta yang mereka tunggu datang. Andra langsung menarik lengan Tere dan masuk ke dalam. Penumpang yang naik ternyata lebih banyak dari pada yang turun, dan tempat duduk yang tersisa hanya tinggal satu. Andra mempersilahkan Tere untuk duduk, sedangkan ia tetap berdiri.
Di stasiun berikutnya, penumpang yang duduk di samping Tere berdiri untuk turun. Andrapun langsung duduk di samping Tere. 
Tapi, di hadapan Andra, kini berdiri seorang kakek tua yang telah berumur dengan sangat payah . Andra langsung berdiri kembali dan mempersilahkan kakek itu untuk duduk di tempatnya. Hati Tere berdesir melihat sikap gentleman Andra.
Pukul enam, kurang dua belas detik.
Tere dan Andra berjalan meyusuri sebuah gang sempit di antara himpitan rumah-rumah triplek dengan atap seng yang sudah terlihat karatan. Bau menusuk yang berasal dari gunungan sampah, dan selokan yang tidak terurus, menghinggapi hidung Tere yang bangir. ia buru memencet hidungnya dan menahan nafas.
Akhirnya mereka sampai di sebuah bangunan berdinding triplek yang di cat warna-warni dan digambari kartun-kartun yang lucu, beratap seng, dan berlantai semen yang dialasi karpet bergambar winni the pooh and the gang.
“Kak Andra!!!” beberapa anak kecil berpakaian kumal berteriak menyambut kedatangan mereka.
“Kak Andra, datang sama siapa?” tanya salah seorang gadis kecil yang memegang boneka barby yang sudah rusak.
“Pasti sama pacarnya ya?” tanya yang lain.
“Niken, gimana keadaan kamu? Sudah baikan?” Andra menggendong gadis kecil  yang kurus itu tanpa merasa risih sedikitpun.
“Aku, sudah baikan Kak Andra, karena aku tahu hari ini Kak Andra akan datang” jawabnya sambil tersenyum, memamerkan giginya yang ompong di depan.
“Tere, kamu tunggu di sini ya, sebentar, aku mau ke depan dulu membeli sesuatu, “ kata Andra.
“Aku ikut.”
“Lebih baik kamu di sini saja ,Tere”
“Tapi, aku kan belum kenal dengan mereka”
“Ya sudah, ayo!” merekapun pergi ke restoran fastfood yang berada tidak jauh dari sana.
Ternyata Andra membeli dua puluh potong ayam goreng beserta nasinya. “Hari ini ada anak yang berulang tahun di rumah rumah singgah itu, jadi kita akan sedikit berpesta, Re,” kata Andra.
Tere dengan sangat terpaksa berusaha mengakrabkan diri pada anak-anak kumal itu. Mereka semua sudah berkumpul di rumah singgah yang sempit itu.
“Baiklah sebelum kak Andra bagikan makanannya, kita sebaiknya berdoa untuk Ridwan yang hari ini sedang berulang tahun, semoga Ridwan diberikan umur yang panjang oleh Tuhan. berdoa di mulai” Semua yang hadir di tempat itu nampak khusyu’ berdoa untuk Ridwan.
Selesai berdoa, Andra membagikan boks-boks paket ayam goreng itu pada anak-anak yang hadir.
“Kak Andra, aku belum dapat!” teriak Rasmi yang duduk di pojok.
Andra nampak kaget, “kenapa bisa tidak cukup?” tanyanya dalam hati.
“Kak Andra, cepat dong! Mana ayam gorengnya? Aku lapar sekali” teriak Rasmi lagi.
Andra memperhatikan anak-anak yang lain. Mereka sudah melahap potongan daging itu dengan nikmat. Ia melihat ke luar, hujan mulai turun dengan deras. Tapi ia tetap harus pergi membeli satu paket ayam goreng lagi untuk  Rasmi.
“Ya sudah,  Rasmi tunggu sebentar ya! Biar Kak Andra belikan lagi”
“Kak Andra, tidak usah! Punyaku saja kubagi dengan  Rasmi, soalnya di luar hujan deras, kalau kak Andra pergi, nanti kak Andra kehujanan, terus sakit, aku nggak mau kak Andra sakit” tanpa diduga, Niken, gadis kecil yang ringkih itu berdiri dan berjalan ke arah dan menyerahkan boksnya makanannya pada Rasmi.
Rasmi tersenyum, begitu juga Andra, walaupun diam-diam ia berusaha menahan buliran bening yang hendak mencair dari pelupuk matanya.
Tere melihat adegan itu dengan hati yang tidak berbentuk, ia merasa malu pada Niken, gadis kecil ingusan itu telah mengalahkannya dengan telak. Kemana saja rasa pedulinya selama ini? ia mencoba menerobos masuk ke dalam celah-celah hatinya, mencari rasa peduli itu, tapi tidak ada, karena yang ia temukan hanya “sang egois” yang duduk dengan angkuh di singggsana hatinya.
Tanpa ia sangka, setitik air mata jatuh di pipinya dan disusul oleh titik-titik yang lain saling berkejaran. Terepun keluar, berlari di antara derasnya hujan. Hanya untuk membeli sepotong dada ayam untuk Niken. Gadis kecil yang kumal dan bergigi ompong itu.

Dua bulan yang lalu, setelah Tere mengenal Andra.
Sejak kejadian di rumah singgah itu, Tere berubah hampir seratus delapan puluh derajat, ia tidak lagi bersikap sinis pada orang-orang yang secara ekonomi berada di bawahnya. Ia juga tidak lagi berkata kasar pada pengemis dan juga  pengamen yang setiap hari ia temui di jalan.
Tere juga menjadwalkan dirinya berkunjung ke rumah singgah “Hikari” setiap minggu. Hanya untuk membacakan buku cerita, mengajari mereka membaca dan menulis, atau sesekali menggambar dan belajar bahasa inggris. Dan tentu saja membelikan mereka sepotong dada ayam untuk setiap anak.
Dan tanpa Andra menjelaskanpun kepadanya, ia kini tahu alasan Andra kenapa ia mengannggap sepotong dada ayam itu sangat berharga baginya. Karena ia telah merasakan sendiri keajaiban itu. Keajaiban dari sepotong dada ayam yang telah mengubah hidupnya menjadi lebih indah. Lebih bermakna.

Satu bulan lalu, setelah Tere mengenal Andra.
Hari ini Kampus sedang ramai oleh aksi kampanye dari tiap partai kampus yang mengusung calonnya untuk menjadi ketua BEM Universitasnya. Tere melewati mading yang ada di lantai dua. Dan matanya tidak sengaja menangkap foto seseorang yang sangat dikenalnya. Andra. Ia dicalonkan menjadi presiden BEM Universitas oleh salah satu partai kampus.
Tere kaget, sekaligus juga semakin merasa bangga. Ia berjanji akan memilih Andra, kalau perlu ia juga bersedia menjadi tim suksesnya Andra. Tere tersenyum- senyum sendiri.
Walaupun hubungan mereka dekat, bahkan sudah lebih dari sekedar sahabat, tapi akhir-akhir ini Tere memang jarang bertemu Andra, paling hanya sesekali bercakap-cakap di telpon, dan itupun tidak membicarkan masalah pencalonan dirinya menjadi presiden BEM-U. Andra memang seorang aktivis kampus, walaupun tugas-tugasnya di fakultas kedokteran banyak menyita waktunya, tapi ia tetap berusaha untuk tetap exist di organisasi.
Tere bergegas menuju toilet yang berada di ujung koridor. Ia ingin buang air kecil. Setelah selesai, Tere membasuh tangannya di wastafel. Dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sambil bercermin. Setelah itu ia bergegas keluar karena harus segera ke ruang kelas. Ketika Tere membuka pintu Toilet, matanya tertuju pada sebuah pamflet yang berisi foto Andra dengan seorang anak laki-laki kecil. Di foto itu, Andra sedang memeluk anak laki-laki itu dengan mesra. Dan di bawah foto tersebut, ada beberapa baris kalimat yang menyatakan bahwa Andra adalah seorang  Phedofilia, atau penyuka anak-anak kecil di bawah umur.
Tere merobek pamflet itu, dan meremasnya. Dadanya bergemuruh, ia seperti ingin muntah, Tere berlari menuju tempat parkir mobilnya. Di sana ia juga melihat beberapa pamflet yang sama seperti yang ada di pintu kamar mandi. Tere ingin tidak mempercayai isi pamflet itu. Tapi, pamflet itu beratasnamakan sebuah lembaga pers kampus yang independent dan terpercaya kredibilitasnya.
Tere segera masuk ke dalam mobil, dan langsung menghubungi ponsel Andra. Tapi, hp Andra sedang tidak aktif.
Ia menjalankan mobilnya keluar dari kampus, dan di lampu pertigaan jalan, mobilnya berhenti karena lampu merah yang menghadang.
“Mbak, koran, mbak, ada berita hangat, tentang seorang aktivis kampus yang berkedok penyayang anak-anak tapi ternyata seorang phedofilia.  Tukang koran cilik itu mengetuk-ngetuk kaca mobil Tere.
Tere membukanya, dan langsung membelinya. Dan ketika ia membaca headline koran itu, ia seperti tidak menginjak bumi. Sekali lagi, ia ingin tidak mempercayai apa yang dilihatnya, tapi, entah kenapa perasaan jijik dan ingin muntah membuatnya tidak bisa berfikir logis. dan Terepun memutuskan untuk tidak  menghubungi Andra lagi juga rumah singgah itu.
Sepuluh hari yang lalu, setelah Tere mengenal Andra.
Andra mencoba menghubungi Tere untuk menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya, tapi tidak pernah berhasil. Tere sukses menghindar dan menjauh dari Andra. Ia telah salah paham pada laki-laki yang telah membawanya pada kehidupan penuh cahaya itu. Ia juga tidak pernah lagi berkunjung ke rumah singgah Hikari.
Lima hari yang lalu, setelah Tere mengenal Andra.
Tere membaca sebuah headline koran lokal, tentang seorang aktivis muda yang mahasiswa fakultas kedokteran tingkat akhir meninggal dunia tertabrak oleh sebuah truk karena menyelamatkan seorang gadis kecil. Menurut  saksi mata, pemuda itu, tertabrak, ketika menyebrang sehabis membeli “sepotong dada ayam” di restoran cepat saji.
Tere terkesiap, ia langsung menghubungi rumah Andra. Dan ternyata berita itu benar adanya. Andra telah pergi. Tere seperti tidak menginjak bumi.
Empat hari lalu, setelah Tere mengenal Andra.
Dari teman-temannya Andra di kampus, ia baru tahu, kalau berita bahwa Andra adalah seorang phedofilia adalah fitnah. Itu adalah tak-tik lawan politik Andra yang ingin menjatuhkannya.
Hari ini, tepat lima bulan lamanya ia mengenal Andra.
Hujan sudah mulai reda, hanya tinggal gerimis yang jatuh mengiris hati Tere. Ia masih juga belum beranjak dari kursinya, sejak tiga jam yang lalu ia duduk dan termenung di sana.
Beberapa butir air mata, jatuh berpencaran di atas pipinya, berselancar turun melewati dagunya. ia membuka-buka tasnya, mencari tisu untuk mengelap air matanya. Dan berdiri untuk beranjak pergi.
“Mbak, maaf, ada yang jatuh dari tas, mbak!” sapa seorang wanita berkerudung biru muda.
“Tere mengambilnya, sebuah lipatan kertas. Ia membukanya. Ternyata itu surat dari Andra yang diberikan oleh teman Andra dan lupa ia baca.
Dear Tere,
Aku harap kamu mau mempercayaiku, bahwa semua berita itu adalah fitnah belaka. aku berusaha untuk menghubungimu, untuk menjelaskan semuanya, tapi kamu seperti asap yang menghilang di langit dan tidak pernah terlihat lagi. Aku titip anak-anak di rumah singgah Hikari. Karena aku akan pergi sementara ke sebuah tempat yang tidak bisa aku ceritakan padamu. Dan jangan lupa, untuk membelikan mereka “sepotong dada ayam” untuk setiap anak, setiap ada yang berulang tahun.
Salam manis
Andra
Yang menyayangimu”
Tere tidak menyia-nyiakan waktu lagi, ia langsung pergi ke rumah singgah itu dengan mobilnya.
Di rumah singgah “Hikari”
Tere kembali disergap perasaan haru yang berderu di didalam hatinya. Ia menatap satu persatu anak-anak yang sedang melahap ayam goreng yang dibawanya itu. Mereka terlihat tidak memiliki beban hidup sama sekali.
“Kak Tere, kenapa kak Tere tidak ikut makan?”
“Ini, kita makan berdua, dada ayam ini tidak akan bisa aku habiskan sendiri, “ Niken mendekat dan menyodorkan sepotong dada ayamnya pada Tere.
Tere tersenyum, “Ah,  sepotong dada ayam, yang telah membuat hidupku penuh cahaya,” katanya dalam hati.



Ciputat, 2010
*Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen yang diadakan oleh majalah Story bekerjasama dengan KFC dengan tema "Kepedulian" tapi tidak lolos. hehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar