Tere masih termanggu di
sudut kanan restoran fastfood itu, ia duduk sendiri, mengaduk-aduk ice cream rasa vanilla
bertabur potongan kecil brownies yang ada di hadapannya. Ice cream kesukaanya itu hanya dipandanginya begitu
saja. matanya yang sipit menatap kosong ke arah jalan raya yang basah oleh
deras hujan yang mengguyur lima belas menit yang lalu.
Tapi, hujan bukan satu-satunya alasan kenapa Tere masih
terpaku di kursi itu, ia sedang ingin menunggu seseorang, seseorang yang
diharapkannya akan datang menemuinya di tempat itu. Di tempat pertama kali
mereka bertemu. Dan tentunya, mengukir banyak kenangan yang tidak akan pernah
ia lupakan, walau sedikitpun.
Andra, nama laki-laki itu, mahasiswa kedokteran salah satu universitas ternama di
jakarta. Berkulit sawo matang, berdada bidang,
dan berlesung pipit. Tapi bukan penampilan fisik atau status sosial yang
disandangnya sebagai mahasiswa kedokteran yang membuat Tere tidak bisa
melupakan sosok itu. Tere mencintai Andra karena kesederhanaannya,
kecerdasan otaknya, dan sikap pedulinya pada orang lain yang membuat Andra
begitu tidak tergantikan.
Tere menyendok ice cream yang terasa hambar
dilidahnya.
“Andra, semua memang terasa hambar tanpamu,” lirihnya dalam
hati.
“Aku menyesal kenapa waktu itu aku tidak mendengarkan hati
kecilku, sekarang semuanya telah hilang, telah lebur, dan aku tidak memiliki
apa-apa selain kenangan kita. “ Tere bergumam.
Dan semua slide film kenangan itu kembali terputar di
benaknya. Menyeretnya ke lorong-lorong waktu yang sebenarnya ingin ia kubur
dalam-dalam, kecuali tentu saja kenangan bersama Andra. Karena hanya itu
miliknya yang paling berharga.
Satu tahun lalu, sebelum
Tere mengenal Andra.
“Mbok Imah..............!!! aku haus, cepet ambilin minum!”
teriaknya memenuhi dinding-dinding rumah gedongnya yang sepi.
Bi Imah tergopoh menghampirinya dengan segelas air putih
ditangannya yang sudah mulai keriput.
“Lho, koq air putih??? Aku kan pingin minum jus mangga,
Mbok, kenapa dibawainnya air putih?”
“Tapi kan tadi non Tere nggak bilang kalau mau minum jus, “
“YA, ngerti sendiri dong! Pake naluri. Mbok, kan dibayar
untuk memenuhi semua kebutuhan aku di sini.”
“Ya, sudah maafkan Mbok Imah! Nanti biar mbok buatkan
jusnya sekarang.”
“Nggak usah! Aku udah nggak selera,” Tere pun beranjak ke
dalam kamarnya, meninggalkan mboknya yang mengelus dada.
Tiba di dalam kamarnya, Tere memanggil kembali wanita tua
itu.
“Mbok Imah....!!! mana
gaun malam warna hitam kesayanganku? Koq nggak ada di dalam lemari?”
Bi Imah kembali tergopoh menuju kamar Tere yang berada di
lantai dua itu.
“Maaf, Non, gaunnya belum sempet Mbok setrika, soalnya,
Ijah kan sedang sakit jadi pekerjaannya
mbok yang pegang.”
“Ah dasar! Bilang aja nggak
becus kerja, banyak alasan lagi!”
“Ya sudah, sekarang biar mbok yang setrika ya,”
“Ya sudah cepetan!
Sebentar lagi Ryan menjemput.”
Bi Imah segera berlari kecil menuruni tangga. Dan ketika ia
sampai di dua anak tangga sebelum terakhir, kakinya terpeleset. Ia pun
terjatuh. Kakinya keseleo. Tapi ia tetap berusaha bangun dan beranjak ke ruang
setrika walaupun sambil menahan sakit di kakinya.
“Ah, syukurlah keseleonya tidak terlalu sakit,” gumamnya.
Dengan cepat ia langsung menyetrika gaun Tere. Tapi, tiba-tiba. Ijah yang sedang terbaring sakit di kamar
sebelah, memanggil namanya, ia seperti meminta tolong dan beberapa detik kemudian,
terdengar suara gelas pecah dari kamar tempat Ijah istirahat. Bi Imah langsung
menemui Ijah. Dan perkiraanya benar, ternyata Ijah sudah terbaring di lantai
tidak sadarkan diri. Ia terjatuh dari ranjang
ketika mau mengambil air minum di gelas di dekat mejanya.
Dengan cekatan, Bi Imah langsung membereskan pecahan gelas
itu, dalam hati ia bersyukur karena Ijah tidak terkena pecahan gelas itu.
Tapi, tanpa ia duga, Tere sudah berdiri garang di depan
pintu kamar. Di tangannya , sebuah gaun hitam dengan bekas strikaan tergenggam.
“IMAH....!!! apa saja kerjamu dari tadi? LIHAT GAUN
MALAMKU! KAMU TAHU BERAPA HARGANYA? SEBESAR GAJIMU SELAMA DUA TAHUN SAJA BELUM CUKUP,”
Tere sudah benar-benar murka pada Bi Imah, dan iapun
mengusir wanita paruh baya itu dari
rumah besarnya hari itu juga. Bi Imah hanya bisa menahan air mata yang sebentar
lagi akan meluncur deras.
“Tapi, non, anak-anak saya butuh biaya untuk makan dan
sekolah,”
“Peduli apa aku pada kesusahanmu,” dan Terepun beranjak meninggalkan Bi Imah
yang terisak.
Sepuluh bulan lalu, sebelum
Tere mengenal Andra.
“Huh.....sebel! dasar lampu merah sialan! Aku kan lagi buru-buru mau ke kampus,” Tere
berteriak kesal. Hari ini ada kuliah Psikologi. Terlambat satu detik saja ia
tidak boleh masuk ruangan oleh dosen yang terkenal paling disiplin itu.
Tere membuka kaca jendela mobilnya.
“syukuri apa yang ada.....
Hidup adalah anugrah....
Kita jalani.....hidup ini.....
Melakukan yang terbaik.....”
Seorang pengamen cilik tiba-tiba sudah berada di depan
mata Tere. Suaranya yang sumbang menyanyikan sebuah lagu salah satu group band
yang sedang naik daun.
Belum selesai ia menuntaskan lagunya, Tere sudah buru-buru
menyemprotnya dengan kata-kata yang pedas.
“Cukup....cukup!!! bisa sakit telingaku kalau terus denger
suara jelek kamu! Sana pergi! Dasar orang miskin, bisanya hanya ngamen!”
“Makasih, mbak, atas hinaannya, mbak tidak tahu betapa
susahnya hanya untuk mencari sesuap nasi saja!”. pengamen cilik itupun berlalu
dengan mendengus kesal.
“Uh....lama amat seh lampu merah ini nyalanya!” ujarnya kesal.
Tidak berapa lama, seorang kakek tua yang renta, dengan
pakaian compang-camping, dan tangannya yang hanya sebelah, menghampiri mobil
mewah Tere.
“Assalalmualikum,
permisi Neng, minta sedekah seikhlasnya, Bapak belum makan selama tiga hari,
neng! Tolong bapak!” kakek tua itu memelas dengan suaranya yang serak.
“Oh....God! help me!!!
kenapa Engkau kirimkan orang-orang kumal dan bau ini padaku!”
“Eh, Pak tua, maaf yah!
Aku gak ada uang receh, lagian kalaupun ada juga aku belum tentu ngasih, memangnya uang tinggal mungutin
doang?” katanya ketus. Tere kemudian
menutup kaca mobil dan menarik pedal gasnya. Karena lampu hijau sudah menyala.
Meninggalkan pengemis renta itu dengan kepulan debu yang terhembus oleh
mobilnya yang mewah.
Enam bulan lalu, sebelum
Tere mengenal Andra.
Di kantin kampus, Tere dan
teman-teman satu gengnya sedang asyik mengobrol, menggosipkan Wina, salah satu
teman sekelas mereka yang diduga nyambi sebagai “ayam kampus”. Sesekali
mereka tertawa terbahak-bahak. Entah
menertawakan apa?.
“Permisi nona-nona yang
cantik! Kami hanya minta sedikit saja waktu nona-nona untuk membaca selebaran
yang kami bawa ini!” seorang mahasiswa berkacamata menyodorkan beberapa
selebaran pada Tere dan kawan-kawannya.
Selebaran itu berisi tentang
foto seorang anak bernama Adam yang saat ini sedang menderita tumor ganas di
otaknya. Selain tumor, anak laki-laki berumur lima tahun itu juga terkena
busung lapar. Saat ini ia tidak bisa berobat ke rumah sakit karena masalah
biaya.
“Bagaimana nona-nona yang
cantik dan manis, apakah ada yang mau menyisihkan uang sakunya untuk membantu
anak yang ada dalam foto itu?” tanya mahasiswa itu lagi.
Tere dan kawan-kawannya
saling pandang, dan mereka kembali mengobrol, kali ini yang mereka obrolkan adalah
tentang gossip para artis.
Mahasiswa berkacamata
beranjak dari tempat itu dengan sebuah perasaan yang terasa mengiris hatinya.
Ia bertanya-tanya dalam hati, “kemanakah rasa kemanusiaan mereka? rasa
kepedulian mereka? pada sesama? Terutama pada orang yang nasibnya kurang
beruntung dari mereka?” dan pertanyaannya itu, hanya mengambang di udara.
The day full of love
Setelah kurang lebih empat
menit Tere menunggu antrian, ia memesan menu kesukaannya, sushi, dan membayarnya dengan cash. Matanya
mencari-cari bangku yang masih kosong, dan ternyata hanya ada di bagian tengah.
Ia mendengus kesal. Karena ia paling tidak suka duduk di bangku bagian tengah.
Apalagi sendirian seperti ini, tapi mau tidak mau ia harus duduk di sana karena
hanya itu satu-satunya bangku yang kosong. Sedangkan perutnya sudah keroncongan
minta di isi dan ia sedang malas mencari tempat makan lain.
Akhirnya Tere duduk di
bangku bagian tengah tersebut. Tiga orang laki-laki yang duduk di bangku pojok
bagian kiri memperhatikan Tere. Mereka kemudian tertawa-tawa. Tapi Tere tidak
tahu kalau ia sedang diperhatikan.
Salah seorang dari mereka
berdiri menghampiri bangku Tere dan...Bruk!
ia jatuh menyenggol lengan kanan Tere.
“Maaf, mbak! Saya tidak
sengaja!”
“Kalau jalan pake mata dong!
Jangan pake dengkul!” jawab Tere ketus.
Laki-laki itu malah
tersenyum pada kedua temannya.
Tere sedang malas ribut sama
orang, jadi dia langsung melanjutkan kembali makannya.
Tanpa Tere tahu, beberapa
anak SMA yang sedang makan di belakang Tere mentertawakannya. Begitu juga
dengan orang-orang yang duduk tidak jauh darinya. Tempat itu jadi semakin riuh
oleh suara – suara yang berbisik-bisik dan tertawa, mata mereka seperti tertuju
padanya.
Tere sadar kalau orang-orang
itu sedang mentertawakannya. Ia mulai memperhatikan badannya, bajunya,
celananya, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba, seorang laki-laki
menyapanya,
“Hai, boleh duduk di sini?”
“Memangnya siapa yang
melarangmu?” jawab Tere.
“Maaf, saya Cuma mau bantu
kamu”
“Bantu apa? saya nggak butuh bantuan siapapun.”
“Oh, ya?”
“ Kalau ada kertas di
belakang punggungmu yang berisi kata-kata yang mengundang perhatian,
bagaimana?”
Tere kaget, ia langsung
meraba punggungnya, dan benar saja, ada sebuah kertas yang menempel di sana, ia
mengambilnya. Tere membacanya, dan seketika wajahnya memerah.
“SSSSTTTT......! JANGAN
BERISIK! ADA ANJING GALAK YANG PAKE KAOS IJO DAN LAGI KELAPERAN, JANGAN DEKET2
KALAU MASIH PINGIN HIDUP!”
Tere merasa malu sekali. Baru kali ini ia dipermalukan seperti ini. Ia yakin pasti
orang yang menempelkan kertas itu adalah laki-laki yang tadi menyenggolnya.
Tapi ketika ia mencari laki-laki tersebut, ternyata ia telah pergi bersama dua
kawannya.
“Sial!” kata Tere.
“Tidak usah marah seperti
itu!” yang penting sekarang kertas itu sudah tidak ada di punggungmu!” ujar
laki-laki itu tersenyum bijak.
Dan Tere langsung jatuh hati pada senyum itu. Dan entah
dari mana, bunga-bunga seperti berjatuhan dari langit imajinya. Iapun
tersenyum. Sebuah senyuman yang telah lama hilang dari wajah manisnya.
Lima bulan yang lalu,
setelah Tere mengenal Andra.
Tere tidak mengerti kenapa
ia begitu cepat merasa akrab dengan Andra. Padahal ia adalah cewek yang terkenal
jutek di kampusnya, bahkan sejak ia masih SMA. Ia sudah menyandang gelar “ratu
jutek” itu.
Dan hari itu, Andra
mengajaknya ketemuan di tempat pertama kali mereka bertemu, restoran fastfood
itu, Tere langsung
menyanggupinya.
Pukul empat sore di restoran fastfood. Andra
telah menunggunya di sana. Di kursi pojok kanan yang mengahadap ke jalan raya.
Pukul empat sore lewat tiga
belas menit, Tere datang dengan tergopoh. Ia meminta maaf karena telah membuat
Andra menunggu selama tiga belas menit. “ “Maafkan
aku ya! Sudah membuatmu menunggu” Tere terlihat grogi sekali.
“Ups, minta maaf? Apa aku
nggak salah? Kapan aku terakhir kali minta maaf pada orang lain dan merasa
bersalah?” katanya dalam hati. Ia benar-benar merasa aneh pada dirinya sendiri.
“Tidak apa-apa! Aku ngerti kok, cewek itu kan beda ama
laki-laki, dia membutuhkan waktu lebih lama dari pada pria dalam hal berdandan,
betul kan?” Andra tersenyum bijak. Senyum yang manis sekali bagi Tere.
Mereka kemudian memesan
paket combo plus buble float kesukaan Tere. Sambil menyantap dada ayam itu,
mereka mengobrol panjang lebar.
“Tere, kamu tahu? Betapa
berharganya sepotong dada ayam ini bagiku?” tanya Andra. Tere mengeleng. Ia tidak mengerti. Mungkin
bukan tidak mengerti, tapi merasa heran, apa berharganya sepotong dada ayam ini
baginya? Bukankah ia mahasiswa kedokteran? dan setahu Tere Andra adalah anak
seorang pengusaha?. Ia bertanya – tanya dalam hati.
“Bagiku, sepotong dada ayam
ini, juga setiap butir nasi ini, adalah harta yang sangat berharga yang tidak
boleh disia-siakan”
Tere tahu makanan favorit
Andra adalah fried chicken, tapi apakah itu alasan
Andra menganggap sepotong dada ayam ini sebagai benda yang paling berharga?. Rasanya
bukan itu alasannya. Tere kembali bertanya dalam hati.
“Setelah ini, kamu akan tahu
jawabannya”. Andra berkata singkat sambil melahap potongan terakhir daging
kesukaannya.
Pukul lima sore, Tere dan
Andra sudah berada di dalam angkot yang menuju stasiun kereta listrik. Kata
Andra, ia akan mengajak Tere ke sebuah tempat yang penuh keajaiban. Tere makin
tidak mengerti pada Andra. Kenapa mereka harus naik angkot dan naik kereta?
Bukankah naik taksi lebih nyaman. Ia sebenarnya ingin sekali protes pada Andra,
tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu sekali. Dan ia hanya terdiam, saat tadi
Andra menyetop sebuah angkot untuk mereka naiki.
“Andra, kenapa kita harus
repot-repot naik kereta seh? Kan penuh
dan nggak terjamin keamanannya, lebih nyaman naik taksi, praktis nyaman dan
tentunya menghemat waktu juga.” ujar Tere akhirnya. Mengeluarkan uneg-unegnya
yang dari tadi dipendamnya. Saat itu mereka sudah berada di stasiun menunggu
kereta.
“Karena dengan naik kereta,
kita akan merasakan benar-benar hidup di dunia nyata, bukan dunia para peri.”
Jawab Andra.
“Maksudnya?” Tere semakin
bingung dengan jawaban Andra, iamenautkan sepasang alisnya ke atas.
Andra menatap Tere
lekat-lekat. “Tere, dunia kita, kehidupan kita, sangat berbeda jauh dengan
dunia mereka, “ Andra menunjuk anak-anak jalanan yang mengamen di stasiun itu.
“Kita berada di dunia peri,
di istana yang semua hal yang kita inginkan akan langsung ada tanpa harus
berusaha dan kerja keras dulu.”
“Kita ingin hp yang paling
canggih menit ini, menit berikutnya hp itu sudah ada di tangan. Kita ingin
punya mobil yang mewah hari ini, besoknya mobil tersebut sudah ada di bagasi
rumah kita,”
“Kehidupan seperti itu
memang sangat menyenangkan, tapi tidak menenangkan,”
“Karena seperti halnya
fatamorgana, ia terlihat indah tapi ternyata hanya ilusi belaka, kehidupan
seperti itu menipu kita” ujar Andra panjang lebar.
Tere berusaha mencerna apa
yang dikatakan Andra barusan. Dan itu menohok hatinya.
Kereta yang mereka tunggu
datang. Andra langsung menarik lengan Tere dan masuk ke dalam. Penumpang yang
naik ternyata lebih banyak dari pada yang turun, dan tempat duduk yang tersisa
hanya tinggal satu. Andra mempersilahkan Tere untuk duduk, sedangkan ia tetap
berdiri.
Di stasiun berikutnya,
penumpang yang duduk di samping Tere berdiri untuk turun. Andrapun langsung
duduk di samping Tere.
Tapi, di hadapan Andra, kini
berdiri seorang kakek tua yang telah berumur dengan sangat payah . Andra
langsung berdiri kembali dan mempersilahkan kakek itu untuk duduk di tempatnya.
Hati Tere berdesir melihat sikap gentleman Andra.
Pukul enam, kurang dua belas
detik.
Tere dan Andra berjalan
meyusuri sebuah gang sempit di antara himpitan rumah-rumah triplek dengan atap
seng yang sudah terlihat karatan. Bau menusuk yang berasal dari gunungan
sampah, dan selokan yang tidak terurus, menghinggapi hidung Tere yang bangir.
ia buru memencet hidungnya dan menahan nafas.
Akhirnya mereka sampai di
sebuah bangunan berdinding triplek yang di cat warna-warni dan digambari
kartun-kartun yang lucu, beratap seng, dan berlantai semen yang dialasi karpet
bergambar winni the pooh and the gang.
“Kak Andra!!!” beberapa anak
kecil berpakaian kumal berteriak menyambut kedatangan mereka.
“Kak Andra, datang sama
siapa?” tanya salah seorang gadis kecil yang memegang boneka barby yang sudah
rusak.
“Pasti sama pacarnya ya?”
tanya yang lain.
“Niken, gimana keadaan kamu?
Sudah baikan?” Andra menggendong gadis kecil
yang kurus itu tanpa merasa risih sedikitpun.
“Aku, sudah baikan Kak
Andra, karena aku tahu hari ini Kak Andra akan datang” jawabnya sambil
tersenyum, memamerkan giginya yang ompong di depan.
“Tere, kamu tunggu di sini
ya, sebentar, aku mau ke depan dulu membeli sesuatu, “ kata Andra.
“Aku ikut.”
“Lebih baik kamu di sini
saja ,Tere”
“Tapi, aku kan belum kenal
dengan mereka”
“Ya sudah, ayo!” merekapun
pergi ke restoran fastfood yang berada tidak jauh dari sana.
Ternyata Andra membeli dua
puluh potong ayam goreng beserta nasinya. “Hari ini ada anak yang berulang
tahun di rumah rumah singgah itu, jadi kita akan sedikit berpesta, Re,” kata
Andra.
Tere dengan sangat terpaksa
berusaha mengakrabkan diri pada anak-anak kumal itu. Mereka semua sudah
berkumpul di rumah singgah yang sempit itu.
“Baiklah sebelum kak Andra
bagikan makanannya, kita sebaiknya berdoa untuk Ridwan yang hari ini sedang
berulang tahun, semoga Ridwan diberikan umur yang panjang oleh Tuhan. berdoa di
mulai” Semua yang hadir di tempat itu nampak khusyu’ berdoa untuk Ridwan.
Selesai berdoa, Andra
membagikan boks-boks paket ayam goreng itu pada anak-anak yang hadir.
“Kak Andra, aku belum
dapat!” teriak Rasmi yang duduk di pojok.
Andra nampak kaget, “kenapa
bisa tidak cukup?” tanyanya dalam hati.
“Kak Andra, cepat dong! Mana
ayam gorengnya? Aku lapar sekali” teriak Rasmi lagi.
Andra memperhatikan
anak-anak yang lain. Mereka sudah melahap potongan daging itu dengan nikmat. Ia
melihat ke luar, hujan mulai turun dengan deras. Tapi ia tetap harus pergi
membeli satu paket ayam goreng lagi untuk
Rasmi.
“Ya sudah, Rasmi tunggu sebentar ya! Biar Kak Andra
belikan lagi”
“Kak Andra, tidak usah!
Punyaku saja kubagi dengan Rasmi,
soalnya di luar hujan deras, kalau kak Andra pergi, nanti kak Andra kehujanan, terus sakit, aku nggak mau kak Andra sakit” tanpa diduga, Niken, gadis kecil yang
ringkih itu berdiri dan berjalan ke arah dan menyerahkan boksnya makanannya pada Rasmi.
Rasmi tersenyum, begitu juga
Andra, walaupun diam-diam ia berusaha menahan buliran bening yang hendak
mencair dari pelupuk matanya.
Tere melihat adegan itu
dengan hati yang tidak berbentuk, ia merasa malu pada Niken, gadis kecil ingusan itu telah
mengalahkannya dengan telak. Kemana saja rasa pedulinya selama ini? ia mencoba
menerobos masuk ke dalam celah-celah hatinya, mencari rasa peduli itu, tapi
tidak ada, karena yang ia temukan hanya “sang egois” yang duduk dengan angkuh di
singggsana hatinya.
Tanpa ia sangka, setitik air
mata jatuh di pipinya dan disusul oleh titik-titik yang lain saling berkejaran.
Terepun keluar, berlari di antara derasnya hujan. Hanya untuk membeli sepotong
dada ayam untuk Niken. Gadis kecil yang kumal dan bergigi ompong itu.
Dua bulan yang lalu, setelah
Tere mengenal Andra.
Sejak kejadian di rumah
singgah itu, Tere berubah hampir seratus delapan puluh derajat, ia tidak lagi
bersikap sinis pada orang-orang yang secara ekonomi berada di bawahnya. Ia juga
tidak lagi berkata kasar pada pengemis dan juga
pengamen yang setiap hari ia temui di jalan.
Tere juga menjadwalkan
dirinya berkunjung ke rumah singgah “Hikari” setiap minggu. Hanya untuk
membacakan buku cerita, mengajari mereka membaca dan menulis, atau sesekali
menggambar dan belajar bahasa inggris. Dan tentu saja membelikan mereka
sepotong dada ayam untuk setiap anak.
Dan tanpa Andra
menjelaskanpun kepadanya, ia kini tahu alasan Andra kenapa ia mengannggap
sepotong dada ayam itu sangat berharga baginya. Karena ia telah merasakan
sendiri keajaiban itu. Keajaiban dari sepotong dada ayam yang telah mengubah
hidupnya menjadi lebih indah. Lebih bermakna.
Satu bulan lalu, setelah
Tere mengenal Andra.
Hari ini Kampus sedang ramai
oleh aksi kampanye dari tiap partai kampus yang mengusung calonnya untuk
menjadi ketua BEM Universitasnya. Tere melewati mading yang ada di lantai dua.
Dan matanya tidak sengaja menangkap foto seseorang yang sangat dikenalnya.
Andra. Ia dicalonkan menjadi presiden BEM Universitas oleh salah satu partai
kampus.
Tere kaget, sekaligus juga
semakin merasa bangga. Ia berjanji akan memilih Andra, kalau perlu ia juga
bersedia menjadi tim suksesnya Andra. Tere tersenyum- senyum sendiri.
Walaupun hubungan mereka
dekat, bahkan sudah lebih dari sekedar sahabat, tapi akhir-akhir ini Tere
memang jarang bertemu Andra, paling hanya sesekali bercakap-cakap di telpon,
dan itupun tidak membicarkan masalah pencalonan dirinya menjadi presiden BEM-U.
Andra memang seorang aktivis kampus, walaupun tugas-tugasnya di fakultas
kedokteran banyak menyita waktunya, tapi ia tetap berusaha untuk tetap exist di
organisasi.
Tere bergegas menuju toilet
yang berada di ujung koridor. Ia ingin buang air kecil. Setelah selesai, Tere
membasuh tangannya di wastafel. Dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan
sambil bercermin. Setelah itu ia bergegas keluar karena harus segera ke ruang
kelas. Ketika Tere membuka pintu Toilet, matanya tertuju pada sebuah pamflet
yang berisi foto Andra dengan seorang anak laki-laki kecil. Di foto itu, Andra
sedang memeluk anak laki-laki itu dengan mesra. Dan di bawah foto tersebut, ada
beberapa baris kalimat yang menyatakan bahwa Andra adalah seorang Phedofilia, atau penyuka anak-anak kecil di
bawah umur.
Tere merobek pamflet itu,
dan meremasnya. Dadanya bergemuruh, ia seperti ingin muntah, Tere berlari
menuju tempat parkir mobilnya. Di sana ia juga melihat beberapa pamflet yang
sama seperti yang ada di pintu kamar mandi. Tere ingin tidak mempercayai isi
pamflet itu. Tapi, pamflet itu beratasnamakan sebuah lembaga pers kampus yang
independent dan terpercaya kredibilitasnya.
Tere segera masuk ke dalam
mobil, dan langsung menghubungi ponsel Andra. Tapi, hp Andra sedang tidak
aktif.
Ia menjalankan mobilnya
keluar dari kampus, dan di lampu pertigaan jalan, mobilnya berhenti karena
lampu merah yang menghadang.
“Mbak, koran, mbak, ada
berita hangat, tentang seorang aktivis kampus yang berkedok penyayang anak-anak
tapi ternyata seorang phedofilia.”
Tukang koran cilik itu mengetuk-ngetuk kaca mobil Tere.
Tere membukanya, dan
langsung membelinya. Dan ketika ia membaca headline
koran itu, ia seperti tidak menginjak bumi. Sekali lagi, ia ingin tidak
mempercayai apa yang dilihatnya, tapi, entah kenapa perasaan jijik dan ingin
muntah membuatnya tidak bisa berfikir logis. dan Terepun memutuskan untuk
tidak menghubungi Andra lagi juga rumah
singgah itu.
Sepuluh hari yang lalu,
setelah Tere mengenal Andra.
Andra mencoba menghubungi
Tere untuk menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya, tapi tidak pernah
berhasil. Tere sukses menghindar dan menjauh dari Andra. Ia telah salah paham pada laki-laki yang
telah membawanya pada kehidupan penuh cahaya itu. Ia juga tidak pernah lagi
berkunjung ke rumah singgah Hikari.
Lima hari yang lalu, setelah
Tere mengenal Andra.
Tere membaca sebuah headline
koran lokal, tentang seorang aktivis muda yang mahasiswa fakultas kedokteran
tingkat akhir meninggal dunia tertabrak oleh sebuah truk karena menyelamatkan
seorang gadis kecil. Menurut saksi mata,
pemuda itu, tertabrak, ketika menyebrang sehabis membeli “sepotong dada ayam”
di restoran cepat saji.
Tere terkesiap, ia langsung
menghubungi rumah Andra. Dan ternyata berita itu benar adanya. Andra telah
pergi. Tere seperti tidak menginjak bumi.
Empat hari lalu, setelah
Tere mengenal Andra.
Dari teman-temannya Andra di
kampus, ia baru tahu, kalau berita bahwa Andra adalah seorang phedofilia adalah
fitnah. Itu adalah tak-tik lawan politik Andra yang ingin menjatuhkannya.
Hari ini, tepat lima bulan
lamanya ia mengenal Andra.
Hujan sudah mulai reda,
hanya tinggal gerimis yang jatuh mengiris hati Tere. Ia masih juga belum
beranjak dari kursinya, sejak tiga jam yang lalu ia duduk dan termenung di
sana.
Beberapa butir air mata,
jatuh berpencaran di atas pipinya, berselancar turun melewati dagunya. ia
membuka-buka tasnya, mencari tisu untuk mengelap air matanya. Dan berdiri untuk
beranjak pergi.
“Mbak, maaf, ada yang jatuh
dari tas, mbak!” sapa seorang wanita berkerudung biru muda.
“Tere mengambilnya, sebuah
lipatan kertas. Ia membukanya. Ternyata itu surat dari Andra yang diberikan
oleh teman Andra dan lupa ia baca.
“Dear Tere,
Aku harap kamu mau
mempercayaiku, bahwa semua berita itu adalah fitnah belaka. aku berusaha untuk
menghubungimu, untuk menjelaskan semuanya, tapi kamu seperti asap yang
menghilang di langit dan tidak pernah terlihat lagi. Aku titip anak-anak di
rumah singgah Hikari. Karena aku akan pergi sementara ke sebuah tempat yang tidak
bisa aku ceritakan padamu. Dan jangan lupa, untuk membelikan mereka “sepotong
dada ayam” untuk setiap anak, setiap ada yang berulang tahun.
Salam manis
Andra
Yang menyayangimu”
Tere tidak menyia-nyiakan
waktu lagi, ia langsung pergi ke rumah singgah itu dengan mobilnya.
Di rumah singgah “Hikari”
Tere kembali disergap
perasaan haru yang berderu di didalam hatinya. Ia menatap satu persatu anak-anak
yang sedang melahap ayam goreng yang dibawanya itu. Mereka terlihat tidak
memiliki beban hidup sama sekali.
“Kak Tere, kenapa kak Tere
tidak ikut makan?”
“Ini, kita makan berdua,
dada ayam ini tidak akan bisa aku habiskan sendiri, “ Niken mendekat dan
menyodorkan sepotong dada ayamnya pada Tere.
Tere tersenyum, “Ah, sepotong dada ayam, yang telah membuat
hidupku penuh cahaya,” katanya dalam hati.
Ciputat, 2010
*Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen yang diadakan oleh majalah Story bekerjasama dengan KFC dengan tema "Kepedulian" tapi tidak lolos. hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar