“Sebesar apa cintamu padaku?”
“Selebar daun kelor” jawabnya
sambil tersenyum
Aku mendelik heran, “kenapa daun kelor? kenapa tidak seluas samudra?”
“Justru karena seluas daun kelor, makanya Cuma cinta kamu saja yang
muat di dalamnya”
Aku yang sedang menyedot lemon tea terbatuk mendengar penjelasannya,
kemudian tertawa dan setengah berteriak. “gombal sekali!” namun aku sangat
tahu, wajahku pasti terlihat sangat merah di depannya.
Itu potongan percakapan satu bulan lalu yang masih sering berputar di otakku. Seperti alunan musik mellow yang tidak ingin aku dengar saat ini, tapi tetap saja tanpa diputar pun alunan musik yang semakin menyengsarakan hatiku itu terdengar di mana-mana, di minimarket saat aku membeli softdrink, di kosan teman yang juga sedang patah hati, bahkan di dalam angkot saat aku pergi ke kampus. Andai saja aku punya alat penghancur kenangan, aku sudah melenyapkan kenangan-kenangan itu dari sejak aku mendengar bahwa bualannya tentang cinta selebar daun kelor itu Cuma bullshit, omong kosong yang tidak ada artinya.
Langit masih mendung, awan kelabu masih juga tidak mau beranjak ke langit kota lain. Aku memandangi jalanan yang basah oleh hujan dua jam lalu dan tinggal menyisakan gerimis menggantung satu-satu di ujung atap café ini.
“El, masih mau bengong melototin tuh butik? Yuk pulang, hujannya udah reda tuh” Mirna membuyarkan lamunanku.
“Eh, tapi kok aneh ya? Bagaimana bisa kebaya merah marun itu masih tetap terpajang di sana lebih dari tiga minggu?” Mirna kembali duduk di tempatnya sambil memandang ke arah butik di sebrang jalan yang juga sedang aku pandangi.
“Karena belum ada yang tertarik saja, makanya belum ada yang beli” jawabku datar.
“Great answer! Berarti selera Elsa Mayangsari itu nggak kayak selera kebanyakan orang ya, atau siapa tahu besok lusa kebaya merah marun itu memang berjodoh denganmu”
“Cukup, Mir, aku sedang tidak ingin bercanda hari ini” aku berdiri dan berjalan ke pintu keluar.
# # #
Tiga bulan yang lalu, saat langit
menurunkan titik hujan yang sama, jalanan basah dan sebuah kendaraan roda empat
hampir saja merenggut nyawaku. Beruntung pengemudi sedan itu berhasil mengerem
tepat sejengkal sebelum ia menabrak tubuhku.
Aku yang kaget, limbung, terjatuh dan mencium aspal, lutut dan sikuku berdarah, lalu pengemudi sialan itu keluar dari mobilnya, memohon maaf dan mengajakku ke klinik terdekat. aku menurut dan dipapahnya ke dalam mobil.
Di dalam mobil aku hanya terdiam tidak mengucap sepatah katapun, begitu juga dengan pengemudi itu, matanya tetap tertuju lurus ke depan jalan, berkonsentrasi menyetir sampai kami tiba di depan klinik yang tidak jauh dari kosanku. Dengan sigap ia langsung membukakan pintu mobil untukku, dan bersiap memapahku, kalau saja aku tidak menghindar dan bilang bahwa aku bisa jalan sendiri.
Sambil menunggu antrian periksa,
ia mencoba mencairkan kebekuan di antara kami, “Kenalkan nama saya Adi Nugraha”
ia menjulurkan tangan hendak bersalaman.
Aku yang entah masih marah, kesal, capek, hanya menjawab pendek “Elsa” dan sama sekali tidak merasa perlu menjabat tangannya. Tidak lama perawat memanggil namaku. Akupun masuk ruang dokter, dan lima belas menit kemudian keluar kembali karena memang tidak ada luka yang serius pada tubuhku.
“Terimakasih sudah mengantar saya ke sini,” aku berkata datar dan tanpa intonasi.
“Tidak perlu berterima kasih, ini semua salah saya yang tidak hati-hati, mari saya antar pulang”
“Tidak perlu, terima kasih, saya sudah dijemput teman saya” untunglah satu detik kemudian, Mirna berteriak di lorong klinik dan berlari ke arah kami berdiri.
Malam sempurna sudah membungkus kota ini, aku dan Mirna naik becak menuju kosan kami meninggalkan laki-laki bergaris wajah tegas itu sendirian termanggu di lorong klinik.
# # #
Dua minggu setelah kecelakaan kecil itu, saat langit sedang berbaik hati tidak menurunkan hujan dan membiarkan para pedagang kaki lima di tepi jalan berseru senang melayani pembeli dan tidak sibuk terkena tampas air hujan. Aku sedang asyik menghadap layar laptopku, terseyum-senyum sendiri, kalau saja tidak ada Mirna yang datang mengganggu.
“Hayo! Pasti lagi chatingan!”
“Ah, sial! Sang pengganggu tiba-tiba datang,” pura-pura cemberut dan aku spontan menutup layar laptopku.
“Beuh segitunya! Awas ya!” Mirna beranjak lagi , entah kemana. Aku kembali menegakkan layar laptop dan melihat kotak nama Adi Nugroho mengerjap-ngerjap merah, tanda ada balasan baru di kotak pesannya.
“Jadi, selama ini laki-laki yang berprofesi seorang polisi dan
sejenisnya itu selalu jual mahal, tinggi hati, dan sombong, di mata kamu? Hanya
karena banyak teman-teman atau kenalan kamu yang polisi atau TNI menikah dengan
Bidan atau perawat?”
“Ya seperti itulah faktanya. Kami yang Cuma seorang guru apalagi guru taman kanak-kanak, jangan pernah bermimpi untuk menikah dengan seorang polisi atau TNI! Karena mereka sudah pasti tidak sejengkalpun melirik kami, yang mereka incar pastilah seorang bidan atau paling tidak perawat.” balasku di kotak pesan.
Lama tidak ada balasan. Aku membaca kembali kalimat yang aku tulis tadi, terdengar sarkastik memang, tapi memang demikianlah tren yang sekarang sedang menjamur di masyarakat, terutama di kampungku. Sudah tidak berbilang, setiap kali aku mendapat undangan dari teman atau kenalan yang kebetulan sudah menjadi polisi atau bidan, maka sudah bisa dipastikan calon mempelai prianya bergelar Briptu atau Bripda dan mempelai wanitanya bergelar A.M,Keb atau S.Kep di belakang nama mereka. Tidak ketinggalan foto-foto prewedding dengan menggunakan seragam kebanggaan mereka terlihat menawan sekaligus angkuh menghiasi surat undangan yang disebar pada seluruh kolega dan kerabat. Maka sudah pasti pula, orang-orang yang membaca surat undangan itu berdecak kagum, alangkah serasinya, alangkah sepadannya.
“El, maaf yah, lama balesnya, tadi dimintain tolong dulu sama ibu buat masang lampu kamar mandi yang mati”
“oh, iya nggak apa-apa, kok, aku kira kamu tersinggung dengan kata-kataku
tadi,” jawabku dengan cepat.
“Tersinggung? Nggak lah. Kalau tersungging baru, he…he…, emang sih teman-temanku juga banyak yang seperti itu, entah alasannya apa, aku tidak pernah menanyakannya. Nah, pertanyaannya, kalau misalnya suatu saat nanti, ada seorang laki-laki yang suka sama kamu, mencintai kamu, dan mau melamar kamu menjadi istrinya, sedangkan dia seorang polisi atau TNI, apakah kamu akan menolaknya?”
Entah kenapa, pertanyaan Adi barusan membuat jantungku berdegup lebih cepat, padahal aku tahu dengan jelas, pertanyaan itu pastilah tidak bermaksud apa-apa. Apa tadi dia bilang? Misalnya, seandainya, jikalau.
“ Tergantung” akhirnya aku hanya mampu mengetik kata itu.
“Tergantung apa?” balasnya cepat.
“Tergantung, apakah aku juga menyukainya atau tidak” aku bersyukur percakapan ini tidak sedang berlangsung di dunia real tapi di dunia maya lewat media online yang sudah tren saat ini. Kalau tidak, entahlah, aku yakin, Adi pasti tahu perubahan air mukaku saat ia menyodorkan pertanyaan tadi.
Hei, apa yang sedang aku
pikirkan? Kenapa tiba-tiba aku jadi harap-harap cemas dan nervous tidak karuan seperti ini, pertanyaan Adi tadi, pastilah
hanya pertanyaan biasa tanpa ada maksud lebih jauh, bukan? Come on Elsa, segera bangun dari rasa geermu yang overdosis itu. Rutukku dalam hati.
“Baiklah, Ibu Elsa Mayangsari yang aku kagumi, jika demikian, bisakah kita bertemu besok malam di Café dekat klinik itu?”
Satu detik, dua detik, aku tidak
tahu harus menulis apa di kotak chatku,
tapi akhirnya aku menulis,
“Ok, I’ll see you there”
Dan malam itu, entah kenapa aku
jadi tidak sabaran menunggu pagi datang.
# # #
“Cie… yang
sedang falling in love dengerinnya
lagu-lagu ABG terus neh” komentar
Mirna sambil tersenyum dan langsung rebahan
di kasur lipatnya. ia baru pulang
dari rumah dosen pembimbing thesisnya, dan wajahnya selalu terlihat dua kali
lipat lebih lelah dari biasanya.
Mirna, sahabat satu kosanku itu
memang selalu saja punya persediaan kata-kata yang tepat untuk mengomentari
perkembangan hubunganku dengan Adi. seperti barusan, apa katanya tadi?
Lagu-lagu ABG? Aku sontak tertawa geli mendengarnya, tapi juga tidak mungkir,
bagi gadis seusia kami yang sudah tidak cocok lagi disebut ABG, mendengarkan
lagu-lagu ngepink bernuansa merah
jambu, mungkin saja terkesan agak aneh dan lucu, tapi, apakah cinta juga
seperti itu? Hanya mengenal dan dikenal oleh anak-anak ABG berseragam putih
abu-abu? Tidak bukan? Dan tentu saja, aku juga masih berhak mengenal dan
dikenal oleh kata itu, “cinta”.
Ini adalah minggu kedelapan sejak Adi
menyatakan cintanya padaku di café dekat klinik itu, dan sejak saat itu,
seperti yang tadi Mirna bilang, aku tidak pernah bosan memutar lagu-lagu ABG di
HPku. Walaupun selama ini aku selalu
berpikir negative pada laki-laki single
yang berprofesi sebagai polisi atau TNI dan menganggap mereka semua tinggi
hati, namun entah kenapa, laki-laki yang tidak sengaja pernah menabrakku itu,
begitu berbeda, ia manis dan gagah, cerdas, humoris, dan tentu saja rendah
hati. Andaikan ia bukan seorang perwirapun aku pasti tidak akan menolak
cintanya. Bagiku ia sudah cukup sempurna untuk melengkapi ketidaksempurnaanku.
Maka aku sama sekali tidak keberatan saat ia bilang ingin bersilaturahim ke
rumahku dan mengenal kedua orang tuaku. Begitu juga sebaliknya, saat ia suatu
sore mengajakku bertandang ke rumahnya untuk diperkenalkan pada keluarga
besarnya, aku tidak punya alasan untuk menolak.
“Mir, aku punya kejutan,”
“Kejutan apa?” Tanya Mirna yang
masih rebahan sambil memeluk guling kesayangannya.
“Minggu depan Adi akan melamarku”
jawabku dengan mata berbinar.
“Serius, El? Wah… selamat yah!
Akhirnya!” Mirna memelukku erat, matanya juga berbinar bahagia.
“Terus kapan neh kita hunting pakaian
buat momen spesialmu itu? Nggak mungkin kan pas lamaran kamu pakai batik buluk
kesayanganmu itu?” Mirna menunjuk batik merah ati andalanku yang menggantung di
balik pintu kosan.
“Kamu tahu butik yang
bersebrangan dengan café langganan kita itu nggak?” tanyaku
“Iya, memang kenapa?”
Tadi pagi, aku melihat penjaganya
memajang kebaya merah marun yang manis banget di sana” jawabku antusias.
“Jadi, maksudnya, kamu mau
membeli kebaya itu?”
Aku tidak menjawab, namun menganggukan
kepala sambil tersenyum penuh arti.
“Nggak, nggak, kamu nggak boleh
membelinya dulu sebelum aku memberi penilaian” teriak Mirna serius.
Tiba-tiba Hpku berdering, ada
panggilan masuk dari nomor yang tidak aku kenal.
“Hallo, ini Elsa Mayangsari?”
“Ya saya sendiri, maaf ini dengan
siapa? Tanyaku.
“Ini Melin, Meliandara Putri”
Aku terlanjur senang ditelpon
teman lama dan sejenak melupakan Mirna dan kabar bahagia yang tadi aku
sampaikan padanya, Mirna mengerti dan ia pergi ke kamar mandi.
“Ya ampun, Melin, kemana saja? sudah
berapa tahun ya kita nggak ketemu,
terakhir ketemu, pas acara perpisahan sekolah, gimana kabarnya? Sehat? Kok bisa
tahu nomorku? Ini kan nomor baru. Duh kangen banget pingin ketemu Melin”
“Sama aku juga kangen, eh,
denger-denger kamu mau nikah yah?”
“Ya mau dong, aku kan belum.
He…he…”
“Nggak maksudku, aku denger kamu
mau nikah dalam waktu deket ini? Bener nggak?” tanyanya dengan nada serius.
“Lho, kamu tahu darimana? orang
lamaran aja belum,” jawabku agak heran.
“Dari Adi” jawabnya pendek.
“Maksudnya Adi Nugraha?” tanyaku
penasaran.
“Iya, Adi Nugraha anggota TNI AD
yang dari Bogor, Adi Nugraha mana lagi?” jawabnya terdengar agak ketus.
“Memang kamu kenal Adi?”
“Aku mengenalnya jauh lebih baik
dari kamu”
“Kamu sahabatnya Adi?” tanyaku
ramah.
“Bukan, aku adalah mantan
pacarnya” jawabnya datar.
Ada yang tiba-tiba bergemuruh
dalam dadaku. Sesaat aku mendengar ia agak berbisik pelan, namun jelas
kutangkap kata-katanya yang seketika itu juga membuat tsunami besar di hatiku.
“Dan sekaligus calon istrinya,
hanya sekedar memberi tahu kalau besok malam keluarganya akan datang ke rumah
untuk meminangku”
Aku langsung mematikan telpon.
Dan duduk limbung di depan lemari. Mirna yang baru keluar dari kamar mandi
bingung melihat perubahan sikapku. Ia bertanya ada apa, tapi aku tidak mampu
menjawabnya.
# # #
Seminggu berikutnya, tepat pada malam dimana
seharusnya Adi dan keluarga besarnya datang ke rumahku dan aku memakai kebaya
merah marun itu menyambut mereka, aku malah dengan bodohnya duduk di sini, di
café tempat dua bulan lalu Adi meluluhkan hatiku dan menerima cintanya, duduk
tanpa berkata-kata di depan laki-laki gagah yang saat ini justru sedang memelas
memohon maaf padaku.
Dengan terbata, ia menjelaskan
semuanya, dari awal sampai akhir sesuai permintaanku sebagai syarat atas
sekeping maaf yang ia pinta dariku. Dan Melin benar, ia memang mantan kekasih
sekaligus calon istri laki-laki yang ada di hadapanku saat ini, entah alasan
apa yang membuat Melin dengan mudah memutuskan pertunangannya dengan laki-laki
lain dan kembali pada Adi, dan entah alasan apa pula yang membuat Adi
memutuskan untuk tidak meminangku dan kembali pada Melin, aku sungguh tidak
mengerti.
Apakah karena status Melin yang
seorang Bidan? Dan ia seorang perwira? Entahlah, aku sungguh sungguh tidak
mengerti. Betapa sempitnya dunia ini. hanya selebar daun kelor, aku dan Melin
adalah teman lama, teman satu angkatan selama enam tahun di SMP dan SMA,
seingatku kami tidak pernah berselisih saat bersekolah dulu, bisa dibilang
cukup dekat malah. Saat kami lulus, kami terpisah ratusan bahkan ribuan
kilometer, melanjutkan kuliah di jurusan berbeda untuk kemudian dipertemukan
kembali lewat seorang laki-laki yang menurutku tidak punya pendirian dan harga
diri.
Aku sungguh-sungguh tidak ingin
mengeluarkan sepatah katapun, tidak pula mengisak. Air mata ini terlalu
berharga untuk menangisi apa yang kini terjadi. tapi tetap saja seperti air
mancur yang tenang, kata-kata dari mulutku akhirnya keluar tanpa bisa
kubendung,
“Apakah saat ini cintamu masih
selebar daun kelor?” aku memandang bola mata hitamnya.
Tidak ada jawaban. Maka aku
beranjak menuju pintu keluar, titik-titik gerimis berjatuhan, membasuh titik-titik gerimis yang
lebih dahulu berjatuhan menganak sungai di pipiku.
gambar dari sini http://www.drzpost.com/
Sajira, 24 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar