Judul
: Hafalan Shalat Delisa
Penulis :
Darwis Tere-Liye
Penerbit : Republika Publishing
Tebal : 308 halaman
Siapa yang tidak kenal
dengan Baim? Artis cilik yang sedang naik daun, dan membuat setiap orang yang
melihatnya merasa gemas dan ingin mencubit pipinya yang tembem itu. Siapapun
tentu kenal dengan artis cilik yang baru-baru ini membintangi sinetron
“baim anak sholeh” di salah satu stasiun TV swasta. Dan hari selasa kemarin,
seperti yang diberitakan dalam sebuah infotainment, Baim akan kedatangan
seorang fans beratnya, seorang gadis berjilbab yang namanya juga sedang naik
daun karena memerankan tokoh utama wanita dalam film KCB (Ketika Cinta
Bertasbih). Tidak seperti fans-fans Baim yang lain yang ketika bertemu
dengannya langsung menjawil pipinya, dan langsung meminta foto bareng, gadis
berlengsung pipit kelahiran Batam yang akrab di sapa dengan Oki itu, tidak hanya
meminta foto bareng dengan Baim, tetapi juga ingin mengajarkan shalat dan wudhu
pada Baim. Maka siang yang cukup panas itu, dihabiskan Baim untuk belajar
shalat pada Oki.
Apa yang terbersit
dalam benak kita ketika membaca kisah Baim yang belajar shalat pada Oki diatas?
Sebuah oase ditengah-tengah dunia selebritis yang glamour. Karena seperti kita
ketahui, tidak banyak para artis muslim yang mengajarkan shalat pada
anak-anaknya. Padahal, seperti yang dikatakan dalam sebuah hadis bahwa shalat
adalah tiangnya agama.
Maka, seperti halnya
oase, novel ini sungguh sangat menyegarkan, menumbuhkan kembali spirit
mengajarkan shalat pada anak-anak kita, generasi penerus islam, yang mungkin
saat ini telah banyak hilang dari ruh keluarga muslim negeri ini.
Shalat memang
menempati posisi paling penting dalam tingkatan ibadah umat islam. Ia menempati
urutan kedua dalam rukun islam. Shalat juga merupakan “hadiah” istimewa yang
diberikan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW pada
perjalanan isro’mi’raj sebagai “oleh-oleh” terbaik bagi ummat islam.
Shalat berfungsi
sebagai sarana bagi setiap hamba untuk berkomunikasi dengan Rabbnya. Maka
tidak heran jika shalat dianjurkan oleh Rosulullah untuk diajarkan kepada
kita ketika kita masih kecil, bahkan ketika kita masih belum bisa melafalkan
bacaanya dengan benar. Seperti halnya yang dilakukan Oki pada Baim di atas,
juga yang dilakukan para orang tua muslim yang lain pada anak-anaknya, termasuk
juga oleh Ummi salamah pada anak bungsunya Delisa dalam novel ini. Ia mengajarkan
shalat ketika Delisa masih berumur enam tahun. Karena seperti yang telah
disabdakan Rosulullah dalam hadisnya : “ajarilah anak-anakmu shalat sebelum
umur tujuh tahun…..”
Betapa pentingnya arti shalat bagi seorang muslim. Karena
selain sebagai tiangnya agama, shalat juga sebagai pencegah perbuatan-perbuatan
buruk dan munkar, serta sebagai problem solver.
Dan dengan sangat cantik, serta bahasa yang menyentuh, novel
ini bercerita tentang kisah seorang gadis kecil bernama Delisa yang harus
menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Tetapi malang, sebelum ia menyelesaikan
hafalan bacaan shalatya itu dengan sempurna, gelombang Tsunami yang
memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004 lalu, telah memotong hafalan
bacaan shalatnya. Bahkan lebih dari itu, gelombang maut itu juga telah
merenggut Ummi dan ketiga kakaknya yang sangat meyayanginya.
Walaupun tema dasar yang melatarbelakangi novel ini adalah
bencana Tsunami yang melanda Aceh lima tahun yang silam, tetapi benang merah
yang menyambungkan setiap plotnya adalah tentang keikhlasan dalam beribadah
kepada Allah SWT, terutama dalam shalat.
Sebagai tokoh sentral dalam novel ini, Delisa, dengan segala
kepolosan sikap, tingkah laku, dan pola fikirnya yang kanak-kanak, justru
seakan mengajari kita tentang makna keikhlasan, menampar kita tentang bagaimana
seharusnya memaknai kehialangan orang-orang yang dicintai, dan menegur kita
agar senantiasa berusaha menemukan “kalung” keikhlasan. Hal itu tercermin
dari percakapannya dengan Abinya di Rumah sakit kapal induk tentara Amerika.
“kaki….kaki Delisa dipotong Bi!” Delisa menyeringai,
Abi mengeluh.
“gigi…gigi Delisa juga lepas dua, Bi!” Delisa membuka
mulutnya, nyengir.
Abi mengeluh semakin dalam.
Ya Allah, sersan Ahmed sudah memberitahukannya, namun
pemandangan ini sungguh menyakitkan, teramat menusuk hatinya. Dan yang lebih
membuat hati Abi bagai diaduk aduk, lihatlah! Delisa ringan saja
menyampaikan semua berita itu, tidak berkeberatan sedikitpun dengan
keputusanNya.”
Kisah bermula dari perjuangan Delisa, anak bungsu di keluarga
Abi Usman, yang sedang menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya yang akan
diujikan pada ibu guru Nur di sekolah. Dan sudah menjadi kebiasaan Ummi
Salamah, ibunda Delisa untuk memeberikan kalung mas kepada anak-anaknya sebagai
hadiah karena telah menyesaikan hafalan bacaan shalat. Dan kini giliran si
bungsu Delisa, maka Ummi pun membelikannya seuntai kalung berbandul D_untuk
Delisa. Selain itu Abinya pun berjanji akan membelikannya sepeda ketika pulang
dari pelayaran nanti. Maka dengan semangat yang menggebu-gebu, Delisa pun
berusaha sekuat tenaga untuk mengahafal bacaan shalatnya, agar dapat memakai
kalung tersebut.
Waktu yang dinanti itu pun tiba, pagi yang cerah pada hari
minggu, Delisa diantar Ummi ke sekolah. Setelah beberapa anak dipanggil tibalah
giliran Delisa untuk menyetor bacaan shalatnya pada ibu guru Nur. Namun malang,
ketika Delisa hendak melakukan sujudnya yang pertama, gelombang Tsunami memutus
hafalan bacaan shalatnya. Menyeretnya keluar ruangan kelas dalam keadaan remuk
tidak berdaya. Beruntung ibu guru Nur yang juga ikut terseret oleh air bah itu
melihatnya dan menolongnya dengan merelakan sebilah papan yang dinaikinya untuk
Delisa. Dan akhirnya, Delisapun terdampar selama berhari-hari di perbukitan Lok
Nga, sampai salah satu tentara Amerika yang bertugas megevakuasi mayat di Lok
Nga menemukannya dengan kondisi tubuh yang sungguh mengenaskan, tetapi
bermandikan cahaya. Delisapun dibawa ke kapal induk mereka dan dirawat di sana.
Sampai akhirnya Abinya yang telah putus asa, menemukan namanya di daftar korban
yang selamat dan dirawat di kapal induk itu dan membawanya pulang.
Di tanah kelahirannya yang kini sudah rata seperti lapangan
bola, akibat terjangan Tsunami itu, Delisa dan Abinya harus menyambung hidup
berdua saja, di tengah-tengah kepingan-kepingan kenangan tentang Ummi dan
ketiga kakaknya, juga kerinduan yang amat sangat pada mereka. Tetapi itu semua
tidak membuatnya trauma dan berlarut dalam kesedihan. Sebaliknya, menjadikannya
tegar dan lebih dewasa. Ia tetap menjadi Delisa yang dulu, yang selalu ceria
dan polos, yang masih suka bermain bola dengan teman laki-laki, walaupun kini
sepasang kruk menghiasi kakinya yang tidak utuh lagi. Delisa juga masih
berusaha mengahafal kembali bacaan shalatnya ynag tiba-tiba hilang dari memori
ingatannya pasca tsunami itu.
Tapi, setegar apaun Delisa, ia tetaplah seorang anak kecil
yang merindukan kasih sayang dari ibunya dan saudara-saudaranya. Sampai
akhirnya ia jatuh sakit dan harus di rawat dirumah sakit darurat Lok Nga.
Ketika ia dirawat itulah ia bermimpi bertemu dengan Umminya yang menyuruhnya
menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Dan terakhir ia bermimpi dengan umminya
yang sedang memegang hadiah kalung hafalan bacaan shalatnya. Dan ketika
terbangun, ia sadar bahwa selama ini ia sudah tidak ikhlas dalam menghafal
bacaan shalat itu. Ia mengaharpakan kalung itu. Maka Delisa pun kini kembali
bisa menghafal bacaan shalat yang pernah hilang dari ingatannya.
Sampai suatu sore yang cerah, ka Ubay guru ngajinya yang
seorang relawan dari Jakarta, mengajaknya dan murid-murid yang lain untuk ngaji
di alam bebas. Mereka pergi ke salah satu bukit yang ada di Lok Nga. Ketika
ashar tiba, Delisa dan teman-temannya shalat berjama’ah di sana. Dan Delisapun
akhirnya dapat menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya dengan sempurna. Selesai
shalat, mereka bersiap-siap untuk pulang, tapi Delisa meminta izin untuk
mencuci kaki terlebih dahulu di sungai kecil yang ada d situ. Dan betapa
terperanjatnya ia, ketika tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kalung
berbandul D yang tidak asing baginya, tersangkut di tangan yang telah menjadi
kerangka. Delisa seketika roboh ke tanah, lunglai dan mendesis pelan memanggil
nama orang yang dikasihinya itu.”U-M-M-I”.
Sebuah ending yang tidak terbayangkan. Tere liye telah
berhasil mengaduk-aduk emosi pembacanya. Hingga ada kalanya pembaca
tersenyum-senyum geli bahkan tertawa karena tingkah laku Delisa yang
polos dan apa adanya, juga adakalanya meneteskan air mata tidak henti-hentinya
karena merasa malu pada kedewasaan delisa dalam mengahadapi setiap ujian hidup
yang menerpanya pada usianya yang masih sangat muda.
Merekam kisah perjalanan Delisa menyelesaikan hafalan bacaan
shalatnya, serta perjalanannya dalam menemukan arti “kalung” keikhlasan, tidak
berlebihan jika kita menyebut novel ini sebagai “novel yang sangat humanis”.
Karena, selain menceritakan kisah Delisa yang dengan kepolosannya dan
kesederhanaan berfikirnya, yang justru menjadikannya lebih dewasa dari usianya,
novel ini juga menceritakan tentang banyak tokoh-tokoh lain seperti suster
Shofi, sersan Ahmed, Koh Acan, Ka Ubay, Ibu Guru Nur, murid-murid kelas 1 SD di
Inggris, dan lain sebagainya, yang tidak jarang menyentil sisi kemanusiaan kita
yang selama ini hanya berkutat sibuk memikirkan diri sendiri.
Secara keseluruhan, novel ini bisa dikatakan sempurna sebagai
novel penggugah jiwa, tetapi “kesempurnaan” itu tidak berarti mutlak
benar-benar tidak memiliki kekurangan. Hanya saja, kekurangan dalam novel ini
tidak berpengaruh besar dalam penyajian plotnya yang menyentuh, hingga membius
para pembacanya dengan perenungan yang dalam akan makna kehidupan.
Secuil kekurangan itu terletak pada kata-kata penulis yang
berada di dalam kurung. Hal itu tidak jarang mengganggu konsentrasi dan
imajinasi pembaca tentang penggambaran suatu peristiwa yang telah dibacanya.
Karena, mata kita tentu akan berhenti dahulu dan membaca juga kata-kata yang
ada di dalam kurung tersebut, dan hal itu akan sedikit membuyarkan konsentrasi
yang telah terbangun sebelumnya. Salah satu contohnya yaitu, seperti pada
paragraf di bawah ini.
“hari-hari juga di isi dengan
pertengkaran-pertengkaran Delisa dengan Aisyah (benar kata Zahra ; mereka
berdua memang seperti itu ; akur satu jam, bertengkar sehari semalam). Bermain
bola di pantai bersama geng Teuku Umam (yang selalu terpotong setiap Tiur
datang; Delisa sudah lancer bersepeda; tinggal praktek di jalan.) mengaji
dengan Ustadz Rahman (“Ustadz katanya calon istri ustadz cacat, ya?” itu Tanya
Delisa sehari setelah libur ngaji……)”
Tetapi, kekurangan-kekurangan itu, tentu saja dapat tertutupi
oleh kata-kata penulis yang hidup yang memberikan “ruh” pencerahan tentang
makna keikhlasan, kehilangan, dan pengorbanan lewat “kacamata” kesederhanaan
dan kepolosan dunia Delisa, dunia anak-anak. Sebuah dunia yang setiap
kita pasti pernah memilikinya.
Ciputat, 19 November 2009
*Resensi ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis resensi novel karya Tere Liye yang diadakan oleh Panitia UI Book Fair 2009 dan tidak mendapat juara, hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar