Kamis, 15 Mei 2014

Perjalanan Seorang Gadis Kecil Mencari “Kalung” Keikhlasan




Judul                : Hafalan Shalat Delisa
Penulis             : Darwis Tere-Liye
Penerbit           : Republika Publishing
Tebal               : 308 halaman

Siapa yang tidak kenal dengan Baim? Artis cilik yang sedang naik daun, dan membuat setiap orang yang melihatnya merasa gemas dan ingin mencubit pipinya yang tembem itu. Siapapun tentu kenal dengan artis cilik yang baru-baru ini membintangi  sinetron “baim anak sholeh” di salah satu stasiun TV swasta. Dan hari selasa kemarin, seperti yang diberitakan dalam sebuah infotainment, Baim akan kedatangan seorang fans beratnya, seorang gadis berjilbab yang namanya juga sedang naik daun karena memerankan tokoh utama wanita dalam film KCB (Ketika Cinta Bertasbih). Tidak seperti fans-fans Baim yang lain yang ketika bertemu dengannya langsung menjawil pipinya, dan langsung meminta foto bareng, gadis berlengsung pipit kelahiran Batam yang akrab di sapa dengan Oki itu, tidak hanya meminta foto bareng dengan Baim, tetapi juga ingin mengajarkan shalat dan wudhu pada Baim. Maka siang yang cukup panas itu, dihabiskan Baim untuk belajar shalat pada Oki.
Apa yang terbersit dalam benak kita ketika membaca kisah Baim yang belajar shalat pada Oki diatas? Sebuah oase ditengah-tengah dunia selebritis yang glamour. Karena seperti kita ketahui, tidak banyak para artis muslim yang mengajarkan shalat pada anak-anaknya. Padahal, seperti yang dikatakan dalam sebuah hadis bahwa shalat adalah tiangnya agama.
Maka, seperti halnya oase, novel ini sungguh sangat menyegarkan, menumbuhkan kembali spirit mengajarkan shalat pada anak-anak kita, generasi penerus islam, yang mungkin saat ini telah banyak hilang dari ruh keluarga muslim negeri ini.
Shalat memang menempati posisi paling penting dalam tingkatan ibadah umat islam. Ia menempati urutan kedua dalam rukun islam. Shalat juga merupakan “hadiah” istimewa yang diberikan langsung oleh  Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW pada perjalanan isro’mi’raj sebagai “oleh-oleh” terbaik bagi ummat islam.
 Shalat berfungsi sebagai sarana bagi setiap hamba untuk  berkomunikasi dengan Rabbnya. Maka tidak heran jika shalat dianjurkan oleh Rosulullah  untuk diajarkan kepada kita ketika kita masih kecil, bahkan ketika kita masih belum bisa melafalkan bacaanya dengan benar. Seperti halnya yang dilakukan Oki pada Baim di atas, juga yang dilakukan para orang tua muslim yang lain pada anak-anaknya, termasuk juga oleh Ummi salamah pada anak bungsunya Delisa dalam novel ini. Ia mengajarkan shalat ketika Delisa masih berumur enam tahun. Karena seperti yang telah disabdakan Rosulullah dalam hadisnya : “ajarilah anak-anakmu shalat sebelum umur tujuh tahun…..”
Betapa pentingnya arti shalat bagi seorang muslim. Karena selain sebagai tiangnya agama, shalat juga sebagai pencegah perbuatan-perbuatan buruk dan munkar, serta sebagai problem solver.
Dan dengan sangat cantik, serta bahasa yang menyentuh, novel ini bercerita tentang kisah seorang gadis kecil bernama Delisa yang harus menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Tetapi malang, sebelum ia menyelesaikan hafalan bacaan shalatya itu dengan sempurna, gelombang Tsunami yang memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004 lalu, telah memotong hafalan bacaan shalatnya. Bahkan lebih dari itu, gelombang maut itu juga telah merenggut Ummi dan ketiga kakaknya yang sangat meyayanginya.
Walaupun tema dasar yang melatarbelakangi novel ini adalah bencana Tsunami yang melanda Aceh lima tahun yang silam, tetapi benang merah yang menyambungkan setiap plotnya adalah tentang keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT, terutama dalam shalat.
Sebagai tokoh sentral dalam novel ini, Delisa, dengan segala kepolosan sikap, tingkah laku, dan pola fikirnya yang kanak-kanak, justru seakan mengajari kita tentang makna keikhlasan, menampar kita tentang bagaimana seharusnya memaknai kehialangan orang-orang yang dicintai, dan menegur kita agar senantiasa berusaha menemukan “kalung” keikhlasan.  Hal itu tercermin dari percakapannya dengan Abinya di Rumah sakit kapal induk tentara Amerika.
“kaki….kaki Delisa dipotong Bi!” Delisa menyeringai,
Abi mengeluh.
“gigi…gigi Delisa juga lepas dua, Bi!” Delisa membuka mulutnya, nyengir.
Abi mengeluh  semakin dalam.
Ya Allah, sersan Ahmed sudah memberitahukannya, namun pemandangan ini sungguh menyakitkan, teramat menusuk hatinya. Dan yang lebih membuat hati Abi bagai diaduk aduk, lihatlah! Delisa ringan saja  menyampaikan semua berita itu, tidak berkeberatan sedikitpun dengan keputusanNya.”
Kisah bermula dari perjuangan Delisa, anak bungsu di keluarga Abi Usman, yang sedang menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya yang akan diujikan pada ibu guru Nur di sekolah. Dan sudah menjadi kebiasaan Ummi Salamah, ibunda Delisa untuk memeberikan kalung mas kepada anak-anaknya sebagai hadiah karena telah menyesaikan hafalan bacaan shalat. Dan kini giliran si bungsu Delisa, maka Ummi pun membelikannya seuntai kalung berbandul D_untuk Delisa. Selain itu Abinya pun berjanji akan membelikannya sepeda ketika pulang dari pelayaran nanti. Maka dengan semangat yang menggebu-gebu, Delisa pun berusaha sekuat tenaga untuk mengahafal bacaan shalatnya, agar dapat memakai kalung tersebut.
Waktu yang dinanti itu pun tiba, pagi yang cerah pada hari minggu, Delisa diantar Ummi ke sekolah. Setelah beberapa anak dipanggil tibalah giliran Delisa untuk menyetor bacaan shalatnya pada ibu guru Nur. Namun malang, ketika Delisa hendak melakukan sujudnya yang pertama, gelombang Tsunami memutus hafalan bacaan shalatnya. Menyeretnya keluar ruangan kelas dalam keadaan remuk tidak berdaya. Beruntung ibu guru Nur yang juga ikut terseret oleh air bah itu melihatnya dan menolongnya dengan merelakan sebilah papan yang dinaikinya untuk Delisa. Dan akhirnya, Delisapun terdampar selama berhari-hari di perbukitan Lok Nga, sampai salah satu tentara Amerika yang bertugas megevakuasi mayat di Lok Nga menemukannya dengan kondisi tubuh yang sungguh mengenaskan, tetapi bermandikan cahaya. Delisapun dibawa ke kapal induk mereka dan dirawat di sana. Sampai akhirnya Abinya yang telah putus asa, menemukan namanya di daftar korban yang selamat dan dirawat di kapal induk itu dan membawanya pulang.
Di tanah kelahirannya yang kini sudah rata seperti lapangan bola, akibat terjangan Tsunami itu, Delisa dan Abinya harus menyambung hidup berdua saja, di tengah-tengah kepingan-kepingan kenangan tentang Ummi dan ketiga kakaknya, juga kerinduan yang amat sangat pada mereka. Tetapi itu semua tidak membuatnya trauma dan berlarut dalam kesedihan. Sebaliknya, menjadikannya tegar dan lebih dewasa. Ia tetap menjadi Delisa yang dulu, yang selalu ceria dan polos, yang masih suka bermain bola dengan teman laki-laki, walaupun kini sepasang kruk menghiasi kakinya yang tidak utuh lagi. Delisa juga masih berusaha mengahafal kembali bacaan shalatnya ynag tiba-tiba hilang dari memori ingatannya pasca tsunami itu.
Tapi, setegar apaun Delisa, ia tetaplah seorang anak kecil yang merindukan kasih sayang dari ibunya dan saudara-saudaranya. Sampai akhirnya ia jatuh sakit dan harus di rawat dirumah sakit darurat Lok Nga. Ketika ia dirawat itulah ia bermimpi bertemu dengan Umminya yang menyuruhnya menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Dan terakhir ia bermimpi dengan umminya yang sedang memegang  hadiah kalung hafalan bacaan shalatnya. Dan ketika terbangun, ia sadar bahwa selama ini ia sudah tidak ikhlas dalam menghafal bacaan shalat itu. Ia mengaharpakan kalung itu. Maka Delisa pun kini kembali bisa menghafal bacaan shalat yang pernah hilang dari ingatannya.
Sampai suatu sore yang cerah, ka Ubay guru ngajinya yang seorang relawan dari Jakarta, mengajaknya dan murid-murid yang lain untuk ngaji di alam bebas. Mereka pergi ke salah satu bukit yang ada di Lok Nga. Ketika ashar tiba, Delisa dan teman-temannya shalat berjama’ah di sana. Dan Delisapun akhirnya dapat menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya dengan sempurna. Selesai shalat, mereka bersiap-siap untuk pulang, tapi Delisa meminta izin untuk mencuci kaki terlebih dahulu di sungai kecil yang ada d situ. Dan betapa terperanjatnya ia, ketika tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kalung berbandul D yang tidak asing baginya, tersangkut di tangan yang telah menjadi kerangka. Delisa seketika roboh ke tanah, lunglai dan mendesis pelan memanggil nama orang yang dikasihinya itu.”U-M-M-I”.
Sebuah ending yang tidak terbayangkan. Tere liye telah berhasil mengaduk-aduk emosi pembacanya. Hingga ada kalanya pembaca tersenyum-senyum geli bahkan tertawa karena tingkah laku  Delisa yang polos dan apa adanya, juga adakalanya meneteskan air mata tidak henti-hentinya karena merasa malu pada kedewasaan delisa dalam mengahadapi setiap ujian hidup yang menerpanya pada usianya yang masih sangat muda.
Merekam kisah perjalanan Delisa menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya, serta perjalanannya dalam menemukan arti “kalung” keikhlasan, tidak berlebihan jika kita menyebut novel ini sebagai “novel yang sangat humanis”. Karena, selain menceritakan kisah Delisa yang dengan kepolosannya dan kesederhanaan berfikirnya, yang justru menjadikannya lebih dewasa dari usianya, novel ini juga menceritakan tentang banyak tokoh-tokoh lain seperti suster Shofi, sersan Ahmed, Koh Acan, Ka Ubay, Ibu Guru Nur, murid-murid kelas 1 SD di Inggris, dan lain sebagainya, yang tidak jarang menyentil sisi kemanusiaan kita yang selama ini hanya berkutat sibuk memikirkan diri sendiri.
Secara keseluruhan, novel ini bisa dikatakan sempurna sebagai novel penggugah jiwa, tetapi “kesempurnaan” itu tidak berarti mutlak benar-benar tidak memiliki kekurangan. Hanya saja, kekurangan dalam novel ini tidak berpengaruh besar dalam penyajian plotnya yang menyentuh, hingga membius para pembacanya dengan perenungan yang dalam akan makna kehidupan.
Secuil kekurangan itu terletak pada kata-kata penulis yang berada di dalam kurung. Hal itu tidak jarang mengganggu konsentrasi dan imajinasi pembaca tentang penggambaran suatu peristiwa yang telah dibacanya. Karena, mata kita tentu akan berhenti dahulu dan membaca juga kata-kata yang ada di dalam kurung tersebut, dan hal itu akan sedikit membuyarkan konsentrasi yang telah terbangun sebelumnya. Salah satu contohnya yaitu, seperti pada paragraf di bawah ini.
“hari-hari juga di isi dengan pertengkaran-pertengkaran Delisa dengan Aisyah (benar kata Zahra ; mereka berdua memang seperti itu ; akur satu jam, bertengkar sehari semalam). Bermain bola di pantai bersama geng Teuku Umam (yang selalu terpotong setiap Tiur datang; Delisa sudah lancer bersepeda; tinggal praktek di jalan.) mengaji dengan Ustadz Rahman (“Ustadz katanya calon istri ustadz cacat, ya?” itu Tanya Delisa sehari setelah libur ngaji……)”
Tetapi, kekurangan-kekurangan itu, tentu saja dapat tertutupi oleh kata-kata penulis yang hidup yang memberikan “ruh” pencerahan tentang makna keikhlasan, kehilangan, dan pengorbanan lewat “kacamata” kesederhanaan dan kepolosan dunia Delisa, dunia  anak-anak. Sebuah dunia yang setiap kita pasti pernah memilikinya.   

                                                                          
                                                                                                   Ciputat, 19 November 2009


*Resensi ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis resensi novel karya Tere Liye yang diadakan oleh Panitia UI Book Fair 2009 dan tidak mendapat juara, hehehe 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar