Selasa, 20 Mei 2014

Pelajaran dalam angkot, dari Bapak Penjual es lilin



Kapan terakhir kali kita merasa cukup?

Tadi malam, Emak memarahi adik saya yang baru kelas tiga SD karena makan dengan terburu-buru seperti orang yang berminggu-minggu baru melihat makanan. Emak pasti sudah tahu alasan kenapa adik saya yang berkulit hitam manis itu makan mie goreng yang dibuatnya dengan terburu-buru, yaitu takut kehabisan atau takut diminta oleh adik kecil saya Najmi yang barus berusia 2 tahun lebih. Emak memang sangat tidak suka jika ada dari anak-anaknya yang tidak mau berbagi dengan adik atau kakaknya baik berbagi dalam hal makanan ataupun mainan. Emak tidak pernah mengajarkan bersikap pelit pada orang lain terutama pada sodara sendiri. Emak selalu mendidik kami, anak-anaknya untuk selalu merasa cukup dengan apa yang ada, tidak serakah dan tidak pelit. 

Kapan terakhir kali kita merasa cukup?
sayangnya, kita tidak bisa menjawabnya, karena bahkan kita tidak pernah benar-benar merasa cukup. dari sejak kita dilahirkan dan diperkenalkan dengan rasa lapar dan haus, sejatinya kita tidak pernah merasa benar-benar merasa cukup. Hawa nafsu, itulah bakat alami yang Tuhan titipkan pada kita, sekaligus yang menjadikan batas pembeda antara kita sebagai manusia dengan malaikat, mahlukNya yang paling suci, dan karena bakat alami itulah kita tidak pernah merasa benar-benar merasa cukup.

Kapan terakhir kali kita merasa cukup?
lagi-lagi kita tidak bisa menjawabnya. karena kita sudah terlanjur memupuk rasa malu setinggi gunung jika kita harus hidup sederhana,  dan merasa cukup dengan apa yang ada. kita juga terlanjur terkerangkeng dalam jala ketakutan akan hidup yang miskin jika kita terus menerus merasa cukup dan tidak punya ambisi untuk hidup lebih kaya, lebih mapan. maka kitapun berjuang keras, berpeluh, berkeringat, bekerja mati-matian demi kehidupan yang terlihat mapan dan mewah, terkadang dengan cara yang lurus dan baik, tetapi tidak jarang pula dengan cara-cara di luar batas "trotoar" naruni kita.

Kapan terakhir kali kita merasa cukup?
Siang itu, di dalam angkot yang penuh sesak oleh penumpang, saya belajar satu hal dari bapak penjual es lilin. bapak itu sungguh sederhana, kemeja dan celananya lusuh, kulitanya hitam, namun tangan-tanganya masih terlihat kekar mengepal, lewat gigi-giginya yang sudah ompong, saya tidak akan melupakan siang yang panas itu. 

Bapak itu bercerita tanpa diminta, bahwa hari itu es lilinnya yang ia buat sendiri tidak laku dan masih bersisa banyak sekali. hari itu memang hari pembukaan O2SN tingkat Kabupaten, para guru dan dan atlet O2SN sekabupaten lebak melakukan pawai atau long march di alun-alun Rangkas demi memeriahkan acara yang dibuka langsung oleh Bupati baru yang terpilih. lalu kenapa dagangannya si Bapak tidak laku? menurut analisinya, karena acara pembukaan O2SN tersebut selesai lebih awal yaitu sekitar jam 10an dari yang diperkirakannya, jadi orang-orang belum merasa haus pada jam segitu, makanya kenapa es lilinnya masih tersisa banyak.  

Tapi, si Bapak kemudian melanjutkan ceritanya lagi, bahwa mungkin ini pelajaran baginya karena sudah merasa serakah dan tidak merasa cukup. ia yang biasanya hanya membuat es lilin 40 buah, hari itu memutuskan untuk membuat es lilin dua kali lipat yaitu 70 buah, karena acara pembukaan O2SN, insting bisnis yang wajar. tapi akhirnya Bapak penjual es lilin itu menyadari 1 hal, bahwa ia telah merasa serakah dan tidak merasa cukup hari itu, dan ia menyesalinya. saya hanya tersenyum dan terenyuh mendengarkan curhatannya, namun ada sesuatu yang menyantak saya, ah, betapa saya juga tidak pernah merasa cukup akan rizki dan karunia Tuhan dan jauh dari rasa syukur padaNya, dan saya tidak pernah merasa bersalah apalagi menyesalinya seperti halnya Bapak penjual es lilin itu.  

Saya melihat ke dalam bola mata bapak penjual es lilin itu, ada semangat yang masih berkobar disana. semangat yang untuk terus mencari karunia Tuhan dengan cara yang begitu bersahaja, menjual es lilin sebanyak 40 buah ke kampung-kampung seharga 1000 rupiah. 

Dan siang itu, dalam sebuah angkot, saya belajar dua hal sekaligus, tentang merasa cukup dan semangat menjemput karunia Tuhan. jika Bapak tua itu saja merasa bahagia dan merasa cukup dengan profesinya menjadi penjual es lilin ke kampung-kampung, kenapa saya tidak??


*foto itu bukan foto bapak tua yg saya ceritakan. foto itu diambil dari sini http://nyanyianphoenix.blogspot.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar