Sabtu, 09 Februari 2019

Cerita Rakyat Dari Sajira "Buaya Buntung Ciberang"


Alkisah, menurut cerita, pada zaman dahulu, hiduplah seorang kakek di sebuah gubug bambu di tepian sungai ciberang yang bernama Ki Sabrang.

Dipanggil Ki Sabrang, karena pekerjaan sehari-harinya sering menolong orang yang hendak menyebrangi sungai dengan bantuan rakit bambu yang dimilikinya tanpa mau dibayar dengan uang atau imbalan apapun.

Diceritakan, pada suatu pagi yang masih mendung, matahari belum bersinar terang seperti biasanya, karena hujan badai kemarin sore yang turun di seluruh kampung membuat suasana pagi itu tidak secerah biasanya.

Air sungai masih meluap tinggi dengan ombak yang besar, warnanya coklat pekat sekali. Ki Sabrang yang biasanya mencari ikan dengan jalanya, hari itu terpaksa tidak bisa mencari, maka ia memutuskan mengumpulkan kayu-kayu dan barang-barang  lain yang biasanya ikut terbawa hanyut saat sungai sedang banjir besar.

Ki Sabrang mulai menyisir tepian sungai dari dekat rumahnya sampai ke hilir. Ia mengumpulkan kayu-kayu dan barang-barang lain yang tersangkut dengan hati riang, sesekali mendendangkan lagu untuk menghibur dirinya.

"Endeuk-endeukan lagoni menang peucang sahiji, leupas deui ku Nini, beunang deui ku Aki. "
"Haduuuh, kayu-kayu ini sudah banyak aku kumpulkan, istirahat dulu aaah…"
Tiba tiba dari arah sebuah pohon besar, terdengar suara mengaduh dan minta tolong.
" Aduuuh….. sakit! Aduuh…. Tolong! Hei! Siapa saja yang lewat tolong aku! Aku mohon! Aduuuh sakit sekali….. !"

Ki Sabrang menegakkan telinganya dan mencari dari mana suara itu berasal. Ia berjalan pelan-pelan menuju sumber suara, ketika ia samapi di bawah pohon besar, ia terbelalak kaget, mulutnya menganga melihat makhluk besar di depannya yang tidak berdaya. Makhluk apakah itu???

"Wahai kakek yang baik hati, syukurlah kau datang kemari, apakah kau mendengar rintihan minta tolongku tadi?"

"Ya buaya, aku mendengar ada sebuah suara yang meminta tolong lalu aku mencari-cari sumber suara dan aku menemukanmu di sini, apakah benar kau yang meminta tolong?" Tanya Ki Sabrang.

"Benar Kek, malang benar nasibku ini, kemarin sore saat Ciberang banjir meluap, aku ingin bersenang-senang berenang ke hilir untuk mengunjungi saudaraku, tapi ternyata, sebuah kayu besar beruntun mnghalangi jalanku dan aku terjepit kemudian terseret sampai ke tepian ini."

"Tolonglah aku Kek, semalaman aku kesakitan, dan berdoa agar ada yang menolongku, dan ternyata doaku terkabul, aku mohon tolong aku Kek!"

Buaya besar itu memohon dengan sangat kepada Ki Sabrang.
"Hmmmmm, apakah kau tidak sedang menipuku buaya? Ki Sabrang ragu,
"Mana mungkin aku menipumu Kek, lihatlah! Aku sudah tidak berdaya seperti ini!" jawab buaya.

"Hmmmmm, sepertinya kau memang benar-benar sedang membutuhkan pertolongan, baiklah aku akan menolongmu, tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya Kek? Aku berjanji, aku berjanji akan memenuhinya, yang penting kau menolongku dan membebaskanku dari kayu sialan ini" jawab buaya.

"Apa kau akan menepati janjimu?"

"Ya, aku bersungguh-sungguh akan memegang janjiku Kek, cepat katakan apa syaratnya?"

"Baiklah, syaratnya mudah, kau hanya tidak boleh memangsa anak keturunanku dalam keadaan apapun." Jawab Ki Sabrang dengan tegas.

"Baik, aku berjanji, aku tidak akan memangsa anak keturunanmu dalam keadaan apapun, bahkan aku berjanji akan menolong mereka jika aku mampu." Jawab buaya berapi-api.

Dengan mengucap sebuah doa, Ki Sabrang mengangkat kayu besar itu dari tubuh buaya, namun saat kayu besar itu berhasil diangkat dari tubuh buaya, malang nasib buaya karena, ekornya yang tadi terjepit tidak terselamatkan. Mungkin karena semalaman terjepit oleh kayu yang sangat besar, ekor sang buaya akhirnya terlepas atau buntung.

Buaya merintih kesakitan, tapi ia tetap berterimakasih karena nyawanya masih tertolong.
"aduuuh sakit! Haah? Ekorku mana Kek? Aku buntung ya? Tidak apa-apa Kek, terimakasih kau telah menolongku dengan susah payah. Aku akan memegang teguh janjiku padamu sampai kapanpun".

Byuuur , buayapun masuk ke dalam air dan berenang ke hilir.
Ki Sabrang tersenyum memperhatikan buaya yang kini tidak memiliki ekor itu, tak apalah ia tak mendapat ikan hari ini, ia bersyukur telah menolong makhluk lain yang sedang membutuhkan pertolongan.

"hehehehehe, lucu sekali buaya itu!" Dari kejauhan sebuah suara memanggil.

"Ki Sabrang! Kami hendak menumpang rakitmu ke sebrang".

Iapun berjalan menghampiri rakit dan orang yang memngggilnya tadi dengan senyum manis terlukis di bibirnya sambil mendayung iapun bergumam "aaaah, pagi yang cukup melelahkan".

Sejak saat itu, bahkan hingga kini jika Ciberang banjir meluap dan seekor buaya buntung tampak mengalun dari hulu ke hilir, masyarakat percaya bahwa buaya buntung itu sedang memberitahukan atau memberi tanda bahwa akan ada buaya jahat yng ingin memangsa, maka berhati-hatilah.



Pesan moral :
Kita harus saling tolong menolong terhadap sesama makhluk hidup dan memegang teguh janji yang telah diucapkan.

Ditulis kembali oleh: Eka Nurul Hayat, bersumber dari cerita masyarakat Sajira.

Cerita Rakyat ini pernah dibawakan oleh M. Fikri Sofa Ali dalam lomba dongeng tingkat  Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten tahun 2016. dan oleh Najwa pada tahun 2018.

catatan ; Ciberang adalah nama salah satu sungai di Kabupaten Lebak, yang membentang melintasi beberapa Kecamatan dari mulai Kecamatan Cipanas, kecamatan Sajira, dan bermuara di Ciujung Rangkasbitung.



sungai ciberang pada sore hari dari atas jembatan hirung


Kamis, 05 April 2018

Catatan Perjalanan Kata Teacher Supercamp KPK 2015



Karna kenangan tak bisa bicara, catatan kecil ini dibuat, untuk bercerita pada dunia, bahwa pena mampu menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh peluru dan anak panah.

Dari Sajira Hingga Gedung KPK

Kau tahu, kawan?
Selain Maha penyayang
Tuhan juga hobbi
Memberi  kejutan

Bagiku lolos seleksi pendaftaran teacher supercamp 2015 yang diadakan oleh KPK ini adalah sebuah hadiah, sebuah kejutan dari Tuhan tepat saat batang umurku menggapai angka 26. Maka saat malam minggu jam 10 malam aku menerima SMS dari panitia bahwa aku lolos sebagai peserta teacher supercamp yang diadakan di Jakarta dan lembang selama 5 hari, spontan aku berteriak kegirangan, ber yes ria sambil melompat-lompat di ruang tengah rumahku. “asyiik bisa jalan-jalan ke lembang “

Jalan-jalan, refreshing, senang-senang, itulah bayangan – bayangan yang muncul di benakku. Walau pun aku tahu ini  bukan sekedar jalan-jalan biasa, karna para peserta sendiri akan mengikuti semacam pelatihan workshop bersama para penulis keren seperti mas Golagong, Pidi Baiq penulis novel dilan, Ahmad Fuadi penulis novel negeri Lima menara, Beng Rahardian komikus terkenal, juga Pa Iman Sholeh (aku belum familiar mendengar namanya).

H-3 sebelum keberangkatan, aku dilanda kebingungan karna dua hal, pertama aku tidak punya laptop dan bingung harus pinjam ke siapa, kedua aku gak punya tas travel untuk mengangkut baju-baju dan keperluanku selama disana dan aku juga bingung mau pinjam ke siapa. Tapi untungnya hari juma’t aku dapat pinjaman tas travel warna hijau lumut dari sodara jauhku walaupun penarik resleting tasnya diganti dengan kawat oleh ibuku, karna memang sudah copot, aku tetap bersyukur, setidaknya satu kendala telah terpecahkan.

Malam senin, aku menelpon adikku apakah laptop dia dipakai atau tidak, dia bilang dipakai, itu berarti mau tidak mau aku harus bawa laptop Bapak yang kondisi fisiknya cukup mengenaskan, sejujurnya aku sempat bersedih bahkan menangis memikirkan bahwa betapa miskinnya aku, bahkan laptop pun aku tidak punya, tidak mampu membeli, padahal sudah hampir 5 tahun aku mengajar, sampai kemudian ibuku masuk ke kamar dan menghiburku, dia bilang “ku emak didoakeun supaya eka menang kabagjaan diditu, ntos geura bawa bae nu aya

Saat aku mendengar doa sederhana itu, aku sungguh tidak berpikir atau membayangkan kebahagiaan macam apa yang akan aku dapat disana, bertemu dengan pangeran belahan jiwa? Haduuuh itu malah terlalu di awang-awang, jadi aku segera menghapus air mata dan bergegas berkemas memasukan baju-baju dan barang-barang keperluanku ke dalam tas travel pinjaman itu, dan ajaib, hatiku kemudian menjadi ringan dan aku bersiap berangkat dengan tas, baju, dan laptop seadanya.

Pukul 6 pagi aku sudah sampai di Jakarta,  udara  masih bersih dan belum ternoda oleh asap kendaraan yang  memadati jalan, aku numpang Mobil sodara jauhku dan diturunkan di halte busway UNJ karna rencana aku mau ke kosan adikku dulu untung numpang Mandi, sarapan, dan mencari  keperluan yang belum sempat terbawa.

Aku menyeret tas travelku melewati jembatan penyebrangan, tersuruk-suruk saat menaiki tangganya, dan terengah-engah saat menuruninya kembali. Beberapa pedagang dan orang-orang tua yan mengantarkan anak-anaknya ke sekolah labschool UNJ mungkin terheran menatapku yang pagi-pagi sekali sudah menyeret-nyeret koper, berpakaian lusuh, dengan wajah bangun tidur, tapi aku tidak peduli, sampai akhirnya aku melihat bemo yang melintas dari arah gedung fakultas bahasa dan seni, aku menyetopnya dan langsung memintanya mengantarkanku ke kosan adikku yang berada di komplek PJKA.

Alhamdulillah sampailah aku di kosan adikku dan langsung menyuruhnya membawakan tas koperku, disana aku mandi, sarapan, dan ke pasar mencari keperluan yang masih kurang. Pulang dari pasar kami mencegat taksi untuk mengantarkanku ke gedung KPK. Saat itu adalah pukul 9, taksi yang aku tumpangi mulai keluar dari komplek kosan adikku dan membelah jalanan kota menuju gedung KPK yang sedang menungguku.

Aku bersyukur untuk dua hal, pertama jalanan yang tidak macet, kedua ongkos taksi yang terbilang cukup murah dikarnakan tidak macet itu. Aku sampai di gedung yang hampir tiap hari masuk TV ini sekitar jam setengah 10 pagi, debu Jakarta menyambutku, dan aku mulai menaiki tangga yang sangat terkenal itu, tangga loby gedung KPK tempat para tersangka dan terdakwa koruptor memasang muka pura2 bersedih dan menyesal di depan kamera TV, tangga yang juga pernah dijejaki oleh mantan gubernurku yang jelita dengan memakai rompi orange namun tetap fashionable dengan sepatu boots yang dibelinya di luar negeri.

Aku terdiam beberapa saat di atas anak tangga yang sama, menarik nafas panjang, dalam hati aku berbisik “ah, ibu ratu, hari ini aku datang jauh-jauh dari Sajira kampungku dan bisa berdiri di atas anak  tangga lobi  KPK yang pernah ibu jejaki juga , karena puisi yang aku tulis tentangmu, ya tentangmu, ibu”.

Aku tidak pernah menyangka, dari Sajira kampungku di Lebak sana, bisa menjejakkan kaki di gedung ini, gedung KPK, hanya dengan bermodalkan puisi, bermodalkan kata-kata. Maka perjalananku dari Sajira hingga KPK adalah perjalanan kata-kata, dan aku tak sabar menemukan hal-hal baru, teman baru, keluarga baru dalam perjalanan istimewa ini.

 👘 Another Surprise ; actually my roommate is …

Jika Shakespeare pernah berkata “what’s in a name?” atau apalah arti sebuah nama? maka aku ingin meneriakan keras-keras quote itu saat pertama Kali bertemu dengan teman sekamarku di lembang ini. Ya, apalah arti sebuah nama?

Saat pertama Kali membaca daftar peserta yg lolos dan teman yang sekamarku yang sudah ditentukan oleh panitia, hal pertama yg muncul dalam bayanganku adalah seorang perempuan sebaya, berambut lurus panjang, berkaki jenjang, berkulit putih menawan, dan non muslim, karna dari nama yg tertera di list peserta, ia bernama Natalia Rumanti Hartono asal Jakarta. Tapi selang Lima menit aku membaca Email list peserta, ada SMS masuk dari orang yang mengaku teman sekamarku itu, dan perkenalanpun dimulai, tapi kemudian bayangan-bayangan yang tadi sudah muncul langsung blur dan hilang, digantikan oleh bayangan-bayangan baru yang jauh berbeda, karna ternyata teman sekamarku itu sudah menikah, berumur 42 tahun, dan sudah memiliki enam orang  anak. 

Dalam kepalaku langsung tergambar bayangan ibu-ibu gemuk berlemak, mulai keriput, rambutnya sebahu dan agak keriting, dan orangnya rame dan supel.  Hanya satu hal yang aku yakini, ia pasti adalah orang yang sangat baik karna ia cerita kalau ia juga pernah berkunjung ke Lebak untuk kondangan ke tempat orang yang pernah kerja di rumahnya waktu khitanan anaknya. Aku pikir, seseorang yang mau datang jauh-jauh dari Jakarta ke kampung Cuma untuk kondangan ke orang yang pernah kerja di rumahnya adalah sangat langka sekali hari ini, dan pastinya ia bukan orang yang biasa. 

Aku ingat sekali apa kata emak, saat aku bilang sepertinya teman sekamarku ini adalah non muslim, emak bilang “teu nanaon beda agama geh nu penting mah saling menghormati, urang teu ngaganggu, itu teu ngaganggu ka urang” yang artinya seperti ini, “tidak apa-apa beda agama juga, yang penting saling menghormati, kita tidak mengganggu mereka, dan mereka tidak mengganggu kita”. Aku mematri kuat-kuat kata-kata emak tersebut  bahwa perbedaan tidak bisa dijadikan alasan untuk bermusuhan. 😀

Pukul 11. 30,  peserta yang sudah datang dipersilakan untuk makan siang oleh panitia, saat sedang menyantap makan siang itulah, seorang ibu muda yang cantik, dan BERJILBAB rapih, tiba-tiba masuk ke ruangan dan langsung bersay hello menyapa semuanya, ternyata itu adalah Bu Natalia, orang yang yang akan menjadi teman sekamarku selama di Lembang. Ternyata aku lalai satu hal, aku tidak membaca dengan rinci di daftar peserta bahwa teman sekamarku ini mengajar di MAN 9 Jakarta, jadi sudah pastilah ia seorang muslim walaupun namanya Natalia. So, what's in a name? Apalah arti sebuah nama?


me and my best roommate, Bu Natalia

 👑 SanGria, a little peace of paradise

Kami sampai di lembang sekitar pukul delapan, aku hanya tertidur sebentar di bis karna sisanya aku asyik mengobrol dengan Bu Natalia, ia memberiku sebuah hadiah yang memang sudah ia persiapkan sejak dari rumah untuk orang yang menjadi teman sekamarnya di Lembang, yaitu sebuah alquran hafalan. Aku langsung terharu menerimanya, dan malu karna pastinya aku tidak bisa membalasnya, aku tidak menyiapkan hadiah atau cindramata apapun untuk teman sekamarku.

Saat bis mulai memasuki jalan masuk atau gang menuju resort yang kami tuju, dari kejauhan sebuah nama yang terukir dengan rumput di dinding dan diterangi lampu sorot bagai menyambut kami dengan seulas senyum, SanGria Spa and Resort. Bus pun berhenti di pekarangan resort yang remang, tapi spanduk yang digantung di salah satu ranting pohon, menyambut kami seakan kami adalah para pahlawan atau pejuang, bagaimana tidak? Spanduk itu berbunyi “selamat datang  para pejuang peradaban, peserta teacher supercamp 2015”. Saat kakiku turun dari Mobil aku seolah merasa berada di negeri dongeng, dan benar-benar merasa menjadi seorang pahlawan yang baru pulang dari Medan perang.

Kami langsung dipersilahkan menuju ruang makan untuk makan malam. Ruangan itu berada di bawah, cukup luas dengan kursi-kursi dari rotan yang ditata sedemikian rupa, penerangan ruangan yang sengaja ditata temaram sehingga menimbulkan kesan eksotis dan romantis, sangat cocok untuk pasangan yang ingin candlelight dinner. Kaca jendela yang memagari hampir setengah ruangan yang menghadap ke luar, benar-benar membuat kita betah berlama-lama untuk sekedar memanjakan mata melihat pemandangan pegunungan dan bukit di kejauhan sana.

Selesai makan, panitia membagikan tablet dan kunci kamar pada masing-masing peserta. Pemberian tablet ini sesuai dengan apa yang tertera di brosur teacher supercamp bahwa 25 peserta yang lolos seleksi pendaftaran akan mendapatkan sebuah tablet.

Aku dan ibu Natalia mendapatkan kamar Nomor 115, yang letaknya paling dekat dengan lobby dan meeting room, dan yang paling penting adalah berada di lantai atas, jadi saat kami keluar balkon, kami langsung bisa melihat gunung, perbukitan, pepohonan, dan lampu-lampu yang seperti kunang-kunang di kejauhan pada malam hari. Karna lelah, kami langsung istirahat dan membaringkan tubuh di atas kasur dan bantal yang empuk sekali, satu hal, ternyata lembang sekarang tidak sedingin apa yang kubayangkan, entahlah mungkin karna berkurangnya pepohonan, atau juga karna global warming.

Akupun memejamkan mata, berharap mimpi yang indah segera muncul, namun entah kenapa, baru pukul dua pagi aku bisa terlelap dan beristirahat, entah karena euforia yang berlebih, ataukah karna takut, karna baru menempati tempat asing, aku tidak peduli.
Saat hari berganti, dan matahari datang dengan wajah lebih cerah,  aku bisa melihat keseluruhan pemandangan SanGria, aku hanya bisa bersyukur bahwa aku diberi kesempatan oleh tuhan untuk menjejakkan kaki dan menghirup udara di tempat indah seperti ini, a liitle peace of paradise.

 👒 The First Amazing Day in Lembang

Hari kedua teacher supercamp dan hari pertama di lembang, adalah hari yang hebat, the amazing day for me. Hari itu kegiatan TSC ini adalah workshop dengan para pemateri hebat dan keren.
Pemateri pertama adalah Ahmad Fuadi penulis novel negeri Lima menara yang sudah difilmkan itu loh. Novel yang membahas tentang kehidupan di pondok modern. Ada banyak hal menginspirasi juga pelajaran yang berharga dari penulis alumnus gontor ini, bahwa  tulisan, bisa membawa kita kemana saja dan yang paling penting adalah membuat kita abadi, bukan berarti kita akan awet muda atau panjang umur sampai 1000 tahun, tapi karna tulisan yang bisa menginspirasi, bisa membuat nama kita terus abadi dan dibaca orang bahkan melampui jatah umur kita yang diberikan tuhan. Maka aku membuat kesimpulan bahwa guru yang menulis adalah guru yang abadi. Jadi, jika ingin hidup abadi, menulislah. 

Berbeda dengan pemateri yang pertama, yang lebih terstruktur dan runut, juga bergaya seorang motivator, pemateri kedua yaitu Pidi Baiq, memiliki gayanya tersendiri, ia adalah bukti nyata seorang manusia yang out of the box, mulai dari cara berpikir, berbicara, menjalani hidup, dan berkarya. Jika orang kebanyakan berbondong-bondong pergi ke pantai untuk melihat sunset, maka ia cukup naik ke atas pohon yang tinggi untuk melihat sunset, sederhana, tidak neko-neko, tidak banyak berpatokan pada teori walaupun jalan yang ia pilih kebanyakan juga di luar kebiasaan orang pada umumnya. Itulah pidi baiq. 

Bagi ayah Pidi , sapaan akrabnya,  kreatif itu adalah selalu berusaha menjadi lebih baik dari kemarin, dan satu hal yang akan selalu kukenang adalah saat ia bercerita pada anaknya “nak, tidak ada di dunia ini orang yang suka sekolah, tapi walaupun demikian kau harus tetap sekolah, untuk apa? Bukan untuk belajar rumus matematika atau belajar mengeja, tapi untuk mencari teman, berkawan, dan belajar bagaimana kau marah, kesal sekaligus juga bagaimana cara menghadapi kawanmu yang marah, benci ataupun kesal pada kau” 

Ya, sekolah hanya sesederhana itu bagi Pidi Baiq. Karna alasan dia, jika ia ingin anaknya itu pintar matematika atau bahasa inggris , bukan hal yang sulit mengajarinya sendiri di rumah tanpa harus menyuruhnya bersekolah. 

Materi selanjutnya diberikan oleh komunitas SPAK bandung yaitu kepanjangan dari saya perempuan anti korupsi, jadi pematerinya perempuan semua. Inti dari materi ini adalah, bahwa perempuan punya peranan penting dalam mencegah dan memberantas korupsi, terutama para ibu rumah tangga sebagai seorang istri juga sebagai pendidik pertama anak-anak di rumah. 

Pada sesi ini, tidak banyak materi yang disampaikan, tetapi lebih kepada praktik bagaimana nilai-nilai anti korupsi  disosialisasikan pada lingkungan keluarga, tetangga, dan masyarakat pada umumnya melalui pendekatan yang menarik dan tidak berkesan menggurui yaitu melalui permainan atau games. SPAK bekerja sama dengan KPK merancang berbagai jenis permainan tentang nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Selepas ashar, materi berikutnya yaitu tentang kurikulum berbasis literasi yang disampaikan oleh Bapak zulfikri anas staf ahli kemendikbud. Walaupun bagiku materi yang terakhir inilah yang agak membuat otak mulai bosan, atau mungkin juga karena aku tidak terlalu suka pada pembahasan menyangkut kurikulum, tapi tetap ada yang bisa kudapat, bahwa kurikulum adalah janji, janji pada anak-anak didik kita bahwa mereka akan bisa memiliki kompetensi-kompetensi yang mereka harapkan dan inginkan untuk menunjang masa depan mereka kelak. Ternyata, hanya sesederhana itu, pengertian dan makna kurikulum  yang sebenarnya, tidak peduli itu kurikulum tingkat satuan pendidikan, ataupun kurikulum 2013, kurikulum adalah janji yang dipenuhi oleh guru, kepala sekolah, juga pemerintah pada anak-anak kita, penerus generasi Indonesia mendatang. 

Malamnya setelah isya, alhamdulillah tidak ada lagi materi, hanya sesi perkenalan dengan para mentor yang akan membimbing kita 3 hari kedepan. Kami membuat lingkaran sambil duduk lesehan di atas lantai dan satu persatu mentor pun memperkenalkan dirinya. 

Yang pertama dan tidak biasa adalah Pak Iman Sholeh, berpakaian serba hitam dengan ikat kepala badui, ia membacakan sebuah puisi yang sangat panjang, intonasi yang jelas, mimik wajah dan ekspresi yang kuat, juga sorot atau tatapan mata yang tajam, membuat seisi ruangan terdiam, terhipnotis oleh penampilan beliau, sampai beliau selesai membacakan puisinya tentang anak burung itu, tepuk tangan penuh kekaguman berderai dari semua orang. baru kemudian ia memperjenalkan dirinya, bahwa ia asli bandung, enam belas bersaudara, seorang dosen, dan memiliki taman kesenian yang diberi nama CCL celah-celah langit di halaman rumahnya. Dan beliau lah yang  akan menjadi mentor kami, kelompok puisi dan naskah drama selama tiga hari kedepan. 

Perkenalan yang kedua adalah dari mentor cerpen dan esai yaitu mas Golagong, aku sendiri sudah lama mengenalnya karena aku alumni kelas menulis rumah dunia angkatan 22 yang diasuh beliau di serang. Mas gong mengawali perkenalannya dengan cerita kronologis kecelakaaan yang menimpanya waktu kecil hingga membuat lengan kirinya harus diamputasi. Tapi, karna ia memiliki seorang Bapak yang hebat, yang membentuknya menjadi seorang atlet buku tangkis, juga membelikannya banyak buku bacaan, dengan begitu Mas Gong tumbuh menjadi seorang atlet, dan juga penulis terkenal dan lupa bahwa ia hanya punya satu tangan. Menurut beliau, menulis membuatnya lupa bahwa ia hanya memiliki satu tangan. 

Perkenalan yang ketiga, yaitu dari mentor yang seorang komikus, Beng Rahardian, ia juga bercerita bahwa waktu kuliah di Institute Kesenian Yogyakarta, ia rela menunda kelulusannya sampai enam tahun hanya untuk bisa mengikuti mata kuliah komik yang baru dibuka saat ia semester terakhir. Pengorbanan yang luar biasa demi sebuah cita-cita yang pada zaman itu, masih jarang sekali diminati, karna pasar komik di Indonesia saat itu masih  didominasi oleh komik-komik luar negeri. 

Di kamar yang nyaman malam itu, aku menutup mata untuk istirahat dengan perasaan penuh rasa syukur, terimakasih Tuhan atas hari yang menakjubkan ini.

 👠 Day Two at Lembang ; saat cinta menjadi puisi

Hari kedua, aku mengenaskan blouse kuning andalan yang dibeli waktu lebaran kemarin, dan tanpa tanpa sengaja bu Lia pun memakai baju batik warna senada, maka jadilah hari kedua kami di SanGria mengenakan warna baju yang mirip setelah kemarin warna merah. Saat turun ke ruang makan untuk sarapan, sukseslah kami berdua membuat peserta perempuan lain berdecak heran kenapa dari kemarin kami berdua selalu kompak dalam hal pakaian.

Setelah sarapan, kelompok puisi dan naskah drama tidak lagi menggunakan meeting room utama, tetapi pindah ke ruang di sebelahnya, yaitu ruang rapat yang ukurannya  lebih kecil namun tetap nyaman, dan yang terpenting memiliki balkon yang jika malam langsung tergambar pemandangan lampu kota bandung di kejauhan seperti barisan kunang-kunang yang beterbangan.

Pa Iman mendahulukan kelompok puisi dalam memberi penjelasan dan pengarahan, yang intinya hari ini tugas kami adalah memperbaiki puisi yang waktu itu sudah dikirimkan ke KPK, juga kami diminta untuk menulis atau membuat puisi lagi, minimal dua buah puisi, supaya setiap orang nantinya menghasilkan Lima buah puisi, Begitu kata pak Iman. Selesai pengarahan, kami dipersilakan untuk memisahkan diri keluar ruangan, bahkan kami boleh menempati saung-saung yang ada di taman bawah dekat dengan kolam renang.

Jadilah kami berlima, aku, bu Natalia, bu Rizyanti dari lampung, Bara Pattyradja dari NTT Flores, dan Khoirul Umam dari sumenep Madura, ‘turun gunung' menuju saung-saung di taman bawah yang asri itu hanya untuk menulis puisi.

Bagi Bara dan Khoirul Umam, mungkin hari ketiga ini tidaklah terlalu sulit, karna bagi mereka kata-kata dan diksi yang indah tinggal memungut seenak mereka saja di benak-benak mereka, ya mereka memang sudah disebut sebagai penyair, Bara Pattyradja sendiri sudah menerbitkan 3 buah buku puisi karyanya sendiri, Belum puisi –puisi yang tersebar di media-media bergengsi seperti kompas, tempo dan lain-lain. Khoirul Umam juga tidak jauh berbeda, puisi-puisinya telah tergabung di antologi-antologi puisi bergengsi seperti Negeri Poci, juga di berbagai media nasional.  

Sedangkan kami bertiga, para ibu-ibu, termasuk aku, harus melipat dahi, berpikir keras, hanya untuk mencari kata yang tepat atau sepenggal kalimat di bait puisi kami. Saking seriusnya, kami bahkan terlambat untuk makan siang, pokoknya hari itu sungguh-sungguh melelahkan. Hari itu, Kami benar-benar turun gunung dalam arti yang sebenarnya. Saat petang, kami diminta berkumpul kembali di ruangan rapat untuk menyetor puisi yang sudah direvisi dan puisi yang baru.

Mendung nampak bergelayut di sisa sore itu, disertai gerimis yang jatuh dengan enggan dari awan. Tiba giliranku menyetorkan karyaku pada pada pa Iman. Aku membuka laptop Bapak yang usang, dan memperlihatkan puisi yang sudah aku tulis dengan penuh perjuangan itu. Beliau membacanya dengan takjim, dan mulai memberikan masukan-masukan padaku. Untuk puisi lamaku, aku tidak banyak merevisi, hanya membuang beberapa kata sambung yang tidak perlu, sesuai yang dijelaskan pa Iman tadi pagi. Dan tarraaa!!😁 ternyata aku menulis sampai empat buah puisi yang baru selama tadi siang. Entah inspirasi atau kekuatan dari mana, aku juga tidak tahu, yang jelas aku hanya ingin menumpahkan apa yang ada di hati dan pikiranku saat itu.  

keempat puisi baruku itu, semuanya berbicara tentang daerahku, Banten, tentang korupsi yang bagaikan kurap menutupi tubuhnya yang kini ringkih dan berdebu. Dan alhamdulillah, menurut pa Iman, puisi-puisiku bagus, beliau bilang, kenapa tidak coba mengirim ke media? Aku hanya tersipu malu dan tak bisa berkata-kata. Ah, pak, dalam lamunan paling liarpun, aku bahkan tidak pernah membayangkan puisiku akan bisa terpampang di media. Aku sungguh masih buta bagaimana caranya menulis puisi yang indah, tapi aku menyukai setiap proses belajar itu, aku sungguh suka belajar menulis puisi. 

Magrib mulai jatuh ke bumi, dan sisa sore yang langka itu, aku merasa bukan bertemu dengan seorang mentor, tapi seorang guru yang sangat tulus, lewat kata-kata dan sikapnya aku bisa merasakan ketulusan yang damai yang terpatri kuat di hatinya dan terpancar indah lewat laku dan sikapnya. 

Setelah makan malam, mentoring dilanjutkan dengan sesi latihan baca puisi yang tadi sore sudah disetorkan, Karna malam besok, kami akan tampil di CCL. Mendengar kabar itu, hatiku langsung berdegup dengan keras, dari dulu, dari sejak masa sekolah, aku paling alergi pada yang namanya baca puisi di depan orang banyak. Karna aku memang tidak bisa tampil baca puisi, sejauh ini aku hanya suka belajar menulis puisi, tapi tidak untuk membacakannya di depan orang. Tapi, aku sadar, justru sekaranglah kesempatan itu datang, kesempatan untuk belajar membacakan puisi Dan aku tidak boleh menyia-nyiakannya hanya karena malu atau tidak bisa. 

Akhirnya tiba giliranku untuk maju ke depan dan membacakan puisiku. Kutepis malu dan Kuteriakan kata-kata, dan rasanya sungguh bagai melompat dari cadas dan terjun bebas ke permukaan sungai yang dingin. Satu hal yang aku ingat malam itu, kata –kata pa Iman yang terus mendengung di hatiku. Saat ia memanggil namaku untuk maju, ia berseloroh ‘eka namamu eka sajira saja ya! Biar suatu saat kamu menjadi seseorang, nama daerah kamu menjadi penting, jadi mari kita panggil eka sajira’. Saat aku mendengar nya, aku mengamininya dalam hati. Karna Aku menganggapnya sebagai doa dari seorang guru yang tulus, doa sederhana yang juga tulus untukku yang sungguh bukan siapa-siapa ini. 

Selesai mentoring di ruang rapat, kami melanjutkan latihan baca puisi di kamarnya Bara dan Umam, disana kami habis-habisan dikomentari, diberi masukan, dan diberi contoh oleh mereka berdua bagaimana cara membaca puisi yang baik. Pelan tapi pasti, kami berlima jadi semakin dekat, seakan sudah kenal lebih lama dari ini. 

Di pembaringan malam ini, aku terpejam dengan perasaan haru dan bahagia, terimakasih tuhan telah mempertemukan aku dengan sahabat-sahabat baru yang hebat dan guru yang memiliki ketulusan sedalam samudra. 

 we are the green, perempuan-perempuan ketceh kelompok puisi (dari kiri; bu Natalia, me, and bu Rizyanti)
                                                   dengan Pak Iman Soleh, guru puisi kami



🎩 Day three at Lembang ; act, act, and act! don’t be afraid!

Pagi ini aku dan bu Lia kembali membuat para peserta perempuan yang lain bertambah cemburu karna kekompakan kami dalam hal pakaian, seperti pinang dibelah dua. Kemarin, panitia memberikan informasi bahwa dress code hari ini adalah kaos teacher supercamp warna Abu dengan lengan hijau toska, untungnya aku bawa berego ibuku yang warna senada dan bu lia juga bawa jilbab warna senada juga. Jadilah di ruang makan, peserta lain yang tidak membawa kerudung warna senada, mencandai kami bahwa kami telah diberitahu panitia dari jauh2 hari, bahwa panitia tidak adil, hahaha dan kami berdua hanya tertawa mendengarnya, karna memang semua yang kami pakai dari hari pertama sampai sekarang itu pure karna kebetulan dan bukan janjian apalagi main smsan sama panitia, hahaha😁

Setelah sarapan, kami di ajak panitia ke taman bawah dekat kolam renang. Pagi ini kami akan belajar olah tubuh, olah suara, dan oleh sukma dengan pa Iman. 

Sesi pertama, kami diminta berjalan bebas kemana saja yang penting tidak ke luar lapangan futsal, kami mulai berjalan tegap bersama, sendiri-sendiri, ke arah yang yang kami suka, kemudian pa Iman memberikan aba-aba berhenti, kami seketika berhenti di tempat kami berdiri masing2, pa Iman memberi perintah kepada kami untuk sedikit menurunkan badan kami, seperapat, jadilah kami berjalan dengan lutut sedikit ditekuk. Tidak lama, pa Iman memberi aba-aba lagi untuk berhenti dan memintanya kami untk menurunkan kembali ketegapan, jadilah kami berjalan dengan lutut yang semakin ditekuk, seperti jalannya kera. Dan begitu seterusnya hingga kami harus jalan jongkok. 😂

Sesi kedua kami diminta berjalan normal kembali, dan jika mendengar aba-aba ‘2’ atau ‘3’ atau berapa saja, kami diminta untuk membentuk kelompok sesuai aba-aba, tapi dengan satu syarat yaitu tidak boleh bersuara, harus senyap, karna kata pa Iman, kerja KPK kan seperti itu, dengan cara diam-diam. 

Permainan pun dimulai, kami berjalan normal, dan tiba-tiba aba-aba diteriakan, kami mulai sibuk kesana lemari mencari teman untuk membuat kelompok tapi sambil menahan diri untuk tidak berteriak-teriak, tapi yang ada kami malah ingin tertawa. Begitu seterusnya, kemudian divariasikan, jika kelompok yang diminta berjumlah ganjil, maka satu orang di kelompok itu harus duduk juga menyebutkan nama-nama teman satu kelompoknya dengan cepat tanpa melihat wajahnya. 

Sesi ketiga, permainan dilanjutkan dengan permainan menyebutkan huruf vokal tapi sambil diperagakan, huruf A gerakannya tangan dan kaki ke bawah tapi agak direnggangkan, seolah-olah huruf A, huruf I tangan di gerakan lurus ke atas seperti mau bertepuk tangan, huruf U kedua tangan masih di atas tapi dibentukkan seperti huruf U, huruf E gerakannya tangan masih di atas tapi tidak lagi tegak lurus melainkan membentuk siku2, kemudian huruf O gerakannya tangan masih di atas dan dibuat lingkaran seperti kita memberi aba2 membuat lingkaran besar. 

Peraturan permainan ini adalah, peserta dibagi dalam 3 kelompok besar membentuk lingkaran, orang yang pertama ditunjuk untuk memulai, dia menghadap teman di sampingnya mempergakan salah satu huruf vokal tadi, dan jika temannya SETUJU maka ia mengikuti gerakan teman yang pertama sambil menghadap teman di sampingnya. Tapi jika ia TIDAK SETUJU atau mau MELAWAN, ia harus mempergakan huruf vokal yang lain yang berbeda dengan teman yang pertama tadi memulai. Begitu seterusnya, jika orang yang salah memperagakan, ia harus keluar dari lingkaran, sampai tersisa hanya satu orang pemenang, dialah yang konsetrasinya bagus, karna sejatinya permainan ini adalah permainan konsentrasi. 

Setelah terpilih, pemenang dari tiap kelompok masing-masing  diadu kembali dengan pemenang dari kelompok lain. And finally, pemenang terakhir adalah dari kelompok puisi dan naskah drama yang diwakili oleh mba Farida Aini selalu panitia. 😍

Sesi keempat, yaitu permainan bunyi. Kami diminta berkelompok, dan masing-masing kelompok diminta untuk membunyikan bunyi atau suara yang yang natural atau alami, seperti suara batuk, berdehem, berdahak, dan lain-lain, kemudian pa Iman memimpin orkestra bunyi itu layaknya seorang konduktor musik, dan ajaib, bunyi-bunyi yang keluar dari mulut kami seperti sebuah pertunjukan orkestra musik yang ternyata rapih. 

Sesi kelima, ini adalah permainan terakhir, peraturannya sama seperti permainan huruf vokal tadi, tapi yang disambung pada teman bukan gerakan huruf vokal, melainkan kata atau kalimat, seperti ‘apa kabar?’ ‘sudah makan?’, ‘masih laper', atau ‘capek’ dan lain sebagainya, sambung kata atau kalimat ini seperti halnya pesan berantai tetapi jika kita tidak SETUJU kita bisa menggantinya dengan kata atau kalimat lain yang kita suka. 

Sesi keenam, kami diminta berpasangan kemudian diminta untuk saling mengoreksi apa yang kurang dari tampilan kita, misalnya baju yang kebesaran, kerudung yang tidak matching, dan lain-lain. Sehabis itu, kami diminta untuk saling bercerita tentang benda yang berada di tangan kami, atau yang kami pakai saat itu, bagaimana cerita tentang asal mula benda tersebut, atau kenangan tentang benda tersebut, apapun itu harus diceritakan ataupun ditanyakan pada teman kita. Setelah selesai, pa Iman kemudian memanggil dua pasangan untuk maju ke depan dan diminta meneriakan kembali cerita tentang benda milik temannya masing-masing. Inti dari permainan yang ini adalah, bahwa ternyata ide kreatif untuk membuat sebuah karya tidak harus dicari jauh-jauh, karna sebenarnya benda-benda yang kita miliki, yang kita pakai sehari-hari memiliki ceritanya masing-masing yang bisa kita jadikan ide untuk membuat sebuah karya.

Sesi ketujuh, pa Iman memanggil salah satu panitia, kemudian beliau memintanya untuk melihat ke perbukitan dan membayangkan bahwa di sana ada sebuah gubug dengan penghuninya seseorang laki-laki. Beliau kemudian meminta panitia tersebut untuk bercerita tentang benda milik temannya dengan cara berteriak. Permainan ini bertujuan untuk melatih imajinasi dalam berkarya. 

Sesi kedelapan, pa Iman meminta dua orang untuk maju, kemudian kepada yang satunya ia meminta untuk bercerita sambil marah, atau dengan intonasi marah, lalu pa Iman meminta orang kedua untuk bercerita mengikuti intonasi yang sama dengan orang pertama. Permainan ini bertujuan untuk melatih intonasi bicara. 

Selesai sesi olah tubuh suara dan sukma bersama pa Iman, kami berpencar kembali sesuai dengan kelompok masing-masing. Kelompok cerpen, esai dan naskah drama kembali lagi ke meeting room utama di atas, sedangkan kelompok puisi dan drama tetap di bawah dan berlatih untuk pentas nanti malam bersama pa Iman dan asistennya Feri Sandi.

Kami, kelompok puisi segera menuju saung kecil bersama pa Iman untuk belajar membaca puisi. Pa Iman tidak memberi contoh bagaimana membaca puisi yang bagus, beliau hanya memberi pengarahan dengan tehnik pendekatan sesuai gaya bahasa dari masing-masing daerah. Agar ketika tampil baca puisi, kekhasan daerah darimana kita berasal itu menonjol di telinga para pendengar. Jadi, yang dari madura, pakailah logat bahasa madura, yang dari Flores, pakailah logat bahasa Flores atau minimal masukan ciri khas dialek bahasa daerah masing-masing saat kita membaca puisi. 

Setelah itu,setiap orang membaca puisinya, dan setelah selesai, pa Iman memberi masukan, apa yang kurang, dan harus bagaimana cara mengatasinya. Tapi lebih dari sekedar latihan, kami juga berdiskusi tentang banyak hal, tentang penyair, tentang pembacaan puisi, tentang kultur agama, sosial kemasyaràkatan, bahkan tentang latar belakang keluarga kami. Pa Iman membaca ibu Riz yang dari lampung adalah orang pramuka, dan ternyata benar, kemudian ia beralih kepadaku, ia bilang bahwa aku dekat selalu dengan orang tua, dan aku membenarkannya, kemudian pa Iman menoleh ke bu Lia, bu Lia orangnya banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial kemasyaràkatan.

Awalnya aku kaget, darimana beliau bisa tahu itu semua, tapi setelah kupikir, mungkin beliau melihat dari puisi-puisi yang kami tulis. Aku membaca kembali puisi-puisi yang aku tulis, dan beliau benar, bahwa puisi yang aku tulis diwarnai oleh tema keluarga, ayah, ibu, rumah, pulang dll. Tidak heran jika pa Iman bilang, lewat puisi aku ingin membangun home , sebuah rumah dalam artian psikologis atau hubungan emotional antara anggota keluarga. Sedangkan bu Riz, ia membangun house, sebuah rumah dalam arti fisik atau bangunannnya lewat karya puisi yang ditulisnya. 

Selepas dhuhur, kelompok puisi  dan drama tidak latihan lagi, karna pa Iman harus pulang ke rumahnya untuk mengechek persiapan di CCL nanti malam. Sejujurnya aku sendiri masih belum merasa puas dan pede pada kemampuan membaca puisiku, apalagi kalau membayangkan pementasan nanti malam, semakin membuat jantungku tidak karuan.

Karena kelompok kami punya waktu luang, panitia mengijinkan kami untuk berjalan-jalan ke luar resort untuk berbelanja oleh-oleh. Dan kamipun pergi menuju komplek tahu susu lembang yang jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari Resort. Kami hanya tinggal keluar gerbang dan berjalan lurus, belok Kiri dan berjalan sedikit di pinggir jalan raya, sampailah kami di Komplek Tahu Susu Lembang yang terkenal itu. Aku sendiri penasaran, tahu yang seperti apa yang disebut dengan tahu susu ini? Tapi untungnya bu Lia beli, dan aku bisa mencicipinya. Dan rasanya… memang enak sekali, teksturnya sangat lembut di lidah. Tapi sayangnya kami tidak bisa membelinya untuk dijadikan oleh-oleh, karna tahu susu yang mentahnya hanya tahan 24 jam. Sedangkan kami baru pulang besok sore ke Jakarta, dan  Sampai rumah mungkin hari sabtu bagi yang luar Jakarta, jadi kami hanya membeli penganan-penganan seperti selai pisang, kripik tempe, kripik bayam, dan lain-lain. Pukul 4 sore, kami sudah berada lagi di resort, karna kata panitia akan ada reimbursement atau penggantian uang  transport. 

Malamnya, kira- kira pukul setengah delapan, kami berangkat ke CCL yang berlokasi dekat terminal Ledeng di jalan Setiabudhi Bandung. Kami berangkat kesana dengan naik angkot, tidak sampai satu jam, kami sudah sampai di lokasi. Angkot berhenti di depan alfamart, dan kami masuk ke gang kecil di samping alfamart tersebut, di kanan kiri gang tersebut, nampak kontrakan atau kos-kosan, dan saat kami mulai memasuki jalan gelap tanpa penerangan, dua orang pemuda menyambut kami sambil mempersilahkan untuk terus berjalan, saat aku melihat ke bawah, di kiri dan kanan, lilin yang ditempatkan di kertas bungkus gorengan yang sudah diisi pasir menyambut kami dengan senyuman romantic. Jalan gang yang sempit dan gelap dengan penerangan lilin di dalam bungkus gorengan di sepanjang kanan kiri jalan, membuat kita seakan hendak memasuki sebuah dunia lain, dan bagiku ide pemandangan lilin dengan menggunakan bungkus gorengan itu adalah ide yang brillian sekali. Sederhana, tetapi berkesan elegan. Aku jadi tidak sabar, untuk segera melihat, seperti apakah wajah CCL sebenarnya. 

Tidak lama, kamipun sampai di CCL, rerimbunan pohon menyambut kami, dan sebuah taman kesenian yang asri berada tepat di tengah-tengah bangunan kos-kosan, dipayungi pohon-pohon rindang, tempat duduk dari semen dibangun berundak setengah lingkaran layaknya kursi-kursi di teater menghadap panggung berlantai semen dengan background kain hitam dan merah tempat pementasan kesenian, tempat yang juga akan menjadi saksi aku pertama kalinya tampil membacakan puisi di depan banyak orang. 

Setelah beramah taman dengan pa Iman, bu lia memilih tempat duduk paling depan di barisan pertama, aku tadinya tidak mau, karna perasaan gugup mulai merayap di tubuhku, tapi akhirnya aku setuju, dan tidak menyesal duduk disana, karna bisa dengan jelas menyaksikan penampilan-penampilan keren tanpa terhalang oleh apapun. 

Pa Iman langsung membuka acara karna beliau sendiri adalah Mcnya. Tapi sebelum memulai, pa Iman memanggil salah satu anak untuk mengajarkan kami yel-yel CCL. Kemudian pa Iman memanggil pa RT untuk memimpin menyanyikan lagu Indonesia raya. Setelah itu baru penampilan-penampilan. 

Penampilanlan pertama yaitu, pembacaan puisi oleh mas gong, dilanjutkan pembacaan puisi oleh gusjur, dosen teater di bandung, pembacaan puisi yang menurutku out of the box, karena tidak seperti pembacaan puisi pada umumnya. Baru kemudian penampilan kelompok cerpen dan kelompok esai. Penampilan kelompok cerpen, diwakili oleh bu istiqomah dengan membacakan cerpennya dengan cara dramatic Reading seperti halnya monolog. Sedangkan kelompok esai hanya menceritakan tentang judul dan kata kunci esay yang dibuat oleh peserta.

Penampilan berikutnya, yaitu dari kelompok komik, sama seperti esay, para peserta juga hanya menjelaskan tentang karya yang mereka buat dan ditampilkan di layar infocus. Saat melihatnya, aku berdecak kagum, komik-komik anti korupsi itu bagus-bagus sekali, bertema remaja, lucu, tapi tetap mengandung nilai-nilai anti korupsi yang ingin ditanamkan kepada para pelajar SMP dan SMA. 

Dan tibalah saatnya penampilan pembacaan puisi dari kelompok puisi. Debar jantungku mulai berpacu, dan pa Iman memanggil namaku sebagai pembaca puisi pertama dari kelompok puisi, “…. Marilah kita panggilkan seorang penyair yang berasal dari tempat yang tidak ada di Peta, yaitu Eka sajira!!! “  seketika itu juga, kakiku mulai bergetar dan degup jantungku seperti berlari bahkan jumpalitan, aku maju dengan berusaha sekeras mungkin untuk tidak gugup, tapi usahaku sia-sia, karna selama membaca puisi, kedua tungkai kakiku tidak berhenti bergetar karna gugup atau demam panggung. Untunglah puisi Ku tidak panjang, jadi aku tidak perlu berdiri sampai setengah jam dengan lutut yang bergetar hebat. 😧

Satu hal yang akan selalu kukenang, ternyata pa Iman benar-benar memanggilku dengan nama Eka Sajira seperti yang ia berikan kepadaku kemarin sore. 

Setelah aku, adalah penampilan bu lia yang membacakan puisinya tentang curahan hati anak seorang koruptor, pa Iman memberikan prolog yang cukup panjang sebelum beliau memanggil bu lia, yaitu dikaitkan dengan hari-hari libur dan hari raya.  kemudian Khoirul umam yang puisinya tentang Fuad, salah satu tokoh politik dari daerahnya yang menjadi tersangka korupsi migas, disusul  bara pattyradja, penyair dari Flores, ia membacakan puisi berjudul ‘aku merindukan lirih pidato politikmu’ dan ‘korupsi kuda kata’ yang disambut tepuk tangan cukup meriah dari para penonton. Terakhir baru bu riz, tapi sebelum pa Iman memanggilnya ke panggung, pa Iman mengajar audience untuk tepuk pramuka dahulu untuk menyambut ibu Riz, bu riz  membacakan puisi karya bu Natalia. baru disusul oleh pa hamzah dari kelompok drama yang membacakan puisi karya Khoirul Umam berjudul ‘karna kau bernama Indonesia’.

Baru kemudian, penampilan dari kelompok naskah drama, naskah drama yang ditampilkan adalah naskah karya pa Asmudin dari Kendari yang berjudul ‘Amplop-amplop laknat’. Ada cerita lucu disini, jadi ternyata yang terkena demam panggung itu bukan hanya aku, tetapi juga pa As, ketika tiba giliranku masuk panggung dan berakting, pa As tiba-tiba blank dan lupa semua dialog yang sudah dihapalnya, akhirnya ia hanya meneriakan kata-kata ‘rakyat bersatu! Tak bisa dikalahkan’ lebih dari Lima kali dan mengajak audience untuk mengikutinya. tadinya kami menganggap itu memang sesuai dengan skenario, tetapi besoknya teman satu kelompoknya bercerita bahwa pa As tiba-tiba blank dan berimprovisasi seperti itu. Kalau ingat kejadian itu, aku selalu tidak tahan untuk tertawa.😁

Setelah penampilan kelompok naskah drama, ada pembacaan puisi dari pak Sandri orang KPK, ia membacakan puisi karyaku, juga puisi yang tadi sudah aku baca yaitu ‘ini sandiwara apa?’ tapi dengan gaya dan khas yang berbeda sekali denganku.

Dan kemudian, sampailah di puncak acara yang ditunggu-tunggu yaitu penampilan teater berjudul TUYUL yang dimainkan oleh anak anak asuhan pa iman, siswa dan siswi SMKI Bandung. Tapi sayangnya, aku tidak bisa mendeskripsikan penampilan teater mereka, karna saking hebatnya, saking kerennya, penampilan mereka. Maka begitu penampilan mereka selesai, aku, juga para audience yang lain, langsung memberikan standing applause yang meriah kepada anak-anak muda berbakat itu. Dan ajaib, hujanpun turun mengguyur CCL sesaat mereka selesai menutup penampilannya.

                Akhirnya, dengan sisa-sisa hujan, kami pulang ke resort dengan membawa oleh-oleh yang lebih berharga dari penganan, atau cindramata apapun, kami pulang dengan sebentuk hati yang lain, hati yang semakin mencintai literasi, seni, dan tentu saja bangsa ini. 

Di luar, gerimis masih membasahi kaca Mobil angkot yang membawa kami pulang, membelah jalan Setiabudhi Bandung menerobos serdadu hujan, ah, ini malam, malam terakhir di Lembang yang begitu berkesan di hati dan perasaan.

🎒 The Last Day in Lembang; Saat lagu ‘leaving on a jet plane’ mengudara di kepala

And I’m leaving on a jet plane
Don't know when I’ll be back again
Oh, beib
I hate to go

Ini hari terakhir aku di lembang dan hari terakhir kegiatan teacher supercamp KPK 2015. Sebelum acara penutupan, ada permainan outbound yang dipandu oleh team outbound sanGria. Kami bermain outbound dengan semangat. Ada beberapa permainan yang kami mainkan, dan semuanya dimainkan secara berkelompok sesuai kelompok masing-masing. 

Permainan pertama yaitu permainan menginjak angka. Peraturannya, setiap perwaki!an kelompok akan beradu cepat dengan anggota kelompok lain, yaitu menginjak karpet-karpet Nomor dari Nomor 1 sampai 20, tetapi karpet-karpet itu ditaruh secara acak dan tidak beraturan. Dan kelompok puisi, keluar sebagai pemenang melawan kelompok naskah drama. 

Permainan kedua, yaitu permainan memasukan air ke dalam jantungku plastik. Kelompok mana yang berhasil mengumpulkan kantung yang terbanyak, merekalah pemenangnya, dan kelompok puisi menang lagi dari semua kelompok karna berhasil memasukan air sampai 33 bungkus. 

Permainan selanjutnya yaitu permainan suit antar kelompok, dan kelompok yang kalah harus rela dibasahi oleh kelompok yang menang, sayangnya kelompok kami kalah Kali ini. 😦
Permainan terakhir yaitu permainan lomba jalan dengan bakiak kayu. Tapi sayangnya pada permainan Kali ini juga kelompok kami terpaksa harus menerima kekalahan. 😦

Tapi ternyata point yang kami kumpulkan lumayan juga, karna kami berada di urutan kedua dan mendapatkan hadiah coklat dari panitia. 😁

Selesai permainan, kami coffee break, baru kemudian acara penutupan yang dipandu oleh mba Amanda dari Provisi. kami menyanyikan lagu padamu negeri, disusul prakata-prakata dari pihak KPK, Mentor, dan perwakilan peserta, yang diwakili oleh maruntung sihombing dari Papua, dan ria utami dari madiun. Setelah itu baru sesi foto bersama dan penutup.

Selesai foto bersama, aku dan bu Riz, menemui pa Iman, aku berpamitan dan tanpa bisa kubendung, air mataku sudah menganak sungai di pipi. Entahlah, aku begitu bersedih berpisah dengan beliau. Guruku yang tulus, yang telah memberiku banyak pelajaran berharga disini. 

Pukul 12 siang, aku dan bu lia, selesai mengepak barang-barang kami dan langsung chek out di lobby. Pukul satu , bis yang membawa kami ke Jakarta keluar dari resort, dan tiba-tiba saja lagu leaving on a jet plane berdenging di kepalaku. Yaaa, walaupun aku sendiri pulangnya bukan naik pesawat tetapi naik kereta.
And I’m leaving on a jet plane
Inilah saatnya aku/kami, pergi, menaiki pesawat, kereta, atau juga bis kota
I don’t know when I’ll be back again
Aku/kami, sungguh tidak tahu kapan akan kembali bertemu dan berkumpul kembali, untuk berdiskusi, atau sekedar merentangkan mimpi-mimpi.
Oh, beib, I hate to go
Oh, sayang, aku/kami benci untuk pergi

Dan sampailah aku di sini, di ujung perjalanan kata-kata dengan sejuta rasa, sejuta inspirasi menggelora.

“When you leave your home to see the world,
You will be surprised by something wonderful
You find in the road “ ~ Eka Sajira

Terimakasih KPK, terimakasih para mentor, terimakasih panitia dari Provisi,
Dan pada sahabat-sahabat guru-guru Indonesia yang hebat, terkhusus kelompok puisi dan teristimewa bu Natalia, the best and kindest roommate in the world. You're also give many inspiration through the story of your life that you told me. 😊

 
Sajira, mid November yang mulai basah 2015






                                                                            foto bersama


                                                Buku kumpulan karya peserta TSC 2015