Jumat, 16 Mei 2014

SAAT MATAHARI “NGANDANG”





“Kenalkan namaku Senja” ia memperkenalkan diri di depan kelas sambil menyunggingkan senyumnya. Dua buah lesung pipit menyembul di kedua belah pipinya. Membuat murid-murid perempuan terpaku sejenak memandanginya tak berkedip.
“Ta…senyumnya…gak nahan…!maniiiss banget!” bisik Via teman sebangkuku.
“Apa? Senja? Ha…ha…ha… pasti nama emak bapak lu Siang dan Malam, terus nama adik atau kakak lu Bulan, kalau gak Matahari kalau gak Bintang ha…ha…ha…” Erik mengolok-olok murid baru itu. Seisi kelas kontan ikut-ikutan tertawa termasuk aku dan Via walaupun kami berdua menahannya sekuat mungkin.
“Sudah….sudah…! cukup anak-anak!” teriak bu Ika memperingatkan
“Senja, ada yang mau disampaikan lagi?” Tanya bu Ika
Ia menggeleng pelan dan tersenyum.
“Kalau begitu, silahkan bagi murid yang lain untuk bertanya pada Senja” Ibu Ika memberi kesempatan pada kami untuk bertanya pada anggota kelas kami yang baru itu.
Beberapa menit berlalu, tidak ada satupun yang bertanya apa pada Senja, tapi tiba-tiba Erik berdiri dengan wajah yang serius. Tidak seperti biasanya.
“Baiklah Senja, karena teman-teman sedang tidak berminat untuk bertanya, maka aku yang akan bertanya padamu. Hmmmm….by the way…. nomor ukuran bajumu berapa ya?”
Serentak, teman-temannku tertawa mendengar pertanyaan Erik yang konyol itu. konyol sekaligus sangat menjatuhkan. Betapa tidak, Senja memang memiliki postur tubuh yang tidak tinggi seperti kebanyakan murid laki-laki di kelasku, bahkan hampir semua teman-teman perempuanku, kecuali aku tentunya, memiliki postur yang lebih tinggi darinya. “Erik benar-benar keterlaluan!” rutukku dalam hati. Tapi sejujurnya aku juga tidak bisa menahan untuk tidak tertawa waktu tadi mendengar pertanyaan konyol itu.
“Erik, kenapa bertanya seperti itu pada Senja?” Tanya bu Ika.
“Yah…ibu gimana seh? Tadi ibu sendiri yang menyuruh kami untuk bertanya apapun tentang Senja. Masa saya bertanya seperti itu saja diomelin,” jawab Erik sekenanya.
“Iya, tapi seharusnya kamu tahu mana pertanyaan yang boleh ditanyakan dan mana yang tidak. Paham?”
“Tidak apa-apa bu, saya tidak tersinggung sama sekali oleh pertanyaan Erik tadi,” Senja yang dari tadi hanya berdiam diri, kini membuka suara. Ajaib, seisi kelas langsung mengheningkan cipta, suaranya yang memang ngebas, seperti memiliki kekuatan untuk meredam, sangat berwibawa.
“Baiklah, ibu bersyukur jika kamu tidak mengambil hati olok-olokkan teman-teman barumu ini Senja. Dan kamu Erik, lain kali kamu harus menjaga kata-katamu.
“Sekarang, kita akan mulai pelajaran hari ini. Senja, silahkan kembali ke bangkumu.”  Bu Ika berkata dengan tegas dan ringkas seperti biasanya. Tanpa ba bi bu, semua murid langsung membuka buku fisika yang berisi tentang rumus-rumus yang membuat kepalaku langsung terasa pening itu.
“DOOORRRR…..!!!” seseorang mengagetkanku dari arah belakang sambil menepuk pundakku dengan keras. Membuyarkan lamunanku tentang Senja. Nama yang sampai saat ini masih terukir dengan indah di hatiku.
“Astagfirulllah…!! Via… bikin kaget aja, hampir saja jantungku copot gara-gara kamu” kataku kesal.
“Lagian masih pagi, udah ngelamun, ngelamunin apa seh neng geulis?” Tanya Via, ia kemudian duduk di hadapanku sambil membuka buku grammarnya Betty Azzar yang berwarna biru.
“Ta, kamu udah selesai ngerjain tugas yang dikasih Mr. Fahri kemarin lusa?” Tanyanya kemudian
“Apa? memang ada tugas? YA ALLAH…VIA! Aku kok bisa lupa, aduh gimana neh? Mana setengah jam lagi kita masuk” kataku panik.
“Ah…dasar!emang nenek pikun, ya udah cepet buka bukunya dan kerjain sekarang!”
“Di kertas selembar apa di bukunya Vi?”
“DI KERTAS SELEMBAR, TATA”
“Aku nggak punya kertasnya, Vi, minta ya?” aku memasang wajah memelas
“Nih…ambil, nenek pikun!”
“Vi,…”
“Apa lagi?” tanyanya kesal
“Pulpennya sekalian yah?”
“KAMU NIAT KULIAH APA NGGAK SEH, TATA?” katanya dengan dongkol sambil menyerahkan pulpen padaku.
“Vi…”
“APA LAGI???” tanyanya
“Kamu udah ngerjain sebagian kan?”
“OH…BAGUS!!! GOOD STUDENT!! KAMU PANTAS MENDAPATKAN GELAR MAHASISWA PALING RAJIN SEJURUSAN, TA”
“Maksudnya?” tanyaku innocent.
“Maksudnya, aku harus buru-buru pergi dan menjauh dari kamu sekarang juga” Via menjawab dengan tegas sambil merapikan buku-bukunya dan alat tulisnya.
“Yah…Via, kok aku ditinggal seh?” ayo dong… masa kamu tega, melihat sahabatmu yang imut ini, kena hukuman Mr. Fahri gara-gara nggak ngerjain tugas?” aku memelas pada Via.
“Sudah…sudah! Bosen aku melihat wajah memelasmu itu, nih…ambil! Nanti siang kamu harus traktir ice ceram keusukaanku ya! Via menyerahkan kertas tugasnya dan beralalu pergi,
“Uh, dasar matre!!” kataku pelan
“Apa kamu bilang?” ia berbalik
“Nggak, aku bilang, kamu adalah sahabatku yang paliiing…baik sedunia!” jawabku sambil tersenyum berbohong memujinya.
“Aduh…buku pr matematikaku di mana yah? Kok bisa gak ada seh?” aku mengobrak-abrik isi tasku, mencari buku tulis bersampul kado Winnie the pooh and the gank. Tapi nihil, buku pr matematika itu entah nyasar dimana.
“Uh…dasar pikun!” rutuku pada diri sendiri
“Hai, masih pagi kok udah suntuk begitu mukanya!”sapa sesorang. Aku menoleh, dan ternyata senja sudah tersenyum manis tepat di depanku.
“Oh, kamu Nja, ini neh aku lagi nyari-nyari buku PR matematikaku, tapi kok gak ada, padahal isi tas udah aku bongkar semua. Mana jam pelajaran pertama nanti, PRnya harus udah dikumpulkan lagi, tau sendiri Bu Nafisah, killer abis! Bisa-bisa dicincang kalau buku itu nggak ketemu juga”
“Mungkin memang ketinggalan di rumah kali, kalau kamu mau, kamu ngerjain aja lagi sekarang di buku lain, mumpung masih ada waktu setengah jam lagi” sarannya
“Yah…mana cukup ngerjain soal sebegitu njelimetnya dalam waktu setengah jam?”
“Ya sudah, kamu copy paste punya aku saja! Gampang kan?”
“Bener neh?” tanyaku. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum…maniiis sekali. Aku jadi teringat kata-kata Via. “Ternyata Via bener, senyumnya Senja…nggak nahaan banget, maniiss kayak madu, madunya si Pooh…he…he…” kataku dalam hati.
            Aku tersenyum-senyum sendiri setiap mengingat kenangan itu. bukan apa-apa, ternyata actingku berhasil juga. Rajin banget kalau aku ngerjain PR matematika yang susahnya sejagat itu, ha….ha….! aku memang sengaja berpura-pura kehilangan buku PRku, memasang wajah memelas, supaya Senja meminjamkan buku PR nya padaku.
“Ah…Senja, gimana kabarmu sekarang?” kataku dalam hati.
“Oh..no…!sepuluh menit lagi masuk, kenapa aku ngelamunin orang itu lagi?” aku langsung menekuri bukunya Via dan kembali mengerjakan tugas dari Mr. Fahri.
“Cinta Pramesti, Senja Gilang Ramadhan, istirahat nanti, silahkan menghadap ibu ke ruangan!”kata bu Nafisah dengan mata yang hampir loncat keluar. Aku bingung, kenapa aku masih harus menghadap ke ruangannya? Bukankah tadi aku sudah mengumpulkan tugas? Ah..peduli amat, liat saja nanti, tapi kenapa Senja juga dipanggil ya?” aku bertanya-tanya dalam hati.
Di dalam ruangan bu Nafisah yang seperti di ruang persidangan”jadi, siapa diantara kalian yang nyontek?” Tanya bu nafisah tanpa basa basi. Kami hanya diam seribu bahasa, tidak berani bersuara sedikitpun.
“Sial…kenapa bisa ketahuan? Kalau aku nyontek? Tapi, nggak mungkin juga kalau aku ngaku, bisa dihukum gantung neh ma bu Nafisah” kataku dalam hati. Aku berusaha  bersikap sebiasa mungkin dan tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun.
Masih hening, “JAWAB!!!” teriak bu Nafisah sambil memukul meja kerjanya. Semua guru yang dan beberapa siswa yang ada di ruangan yang sama serentak menoleh pada kami.
Aku tetap, bersikap sesaantai mungkin, seolah-seolah tidak bersalah. Begitu juga dengan Senja. Tapi sejenak kemudian,“maafkan saya, bu. Saya sudah melakukan kesalahan besar, saya siap menerima hukuman apapun” Senja berkata dengan gentlenya.
“Oh…bagus sekali Senja, akhirnya kamu mengaku juga, tapi ibu harus bersikap adil, karena Cinta juga telah dengan sukarela memberikan buku tugasnya untuk dicontek, maka ibu tetap akan menghukum kalian berdua.” Kata bu Nafisah dengan tajam dan menusuk sampai ke ulu hati.
“Senja, kenapa dia mengakui perbuatan yang tidak dilkukakannya”aku bertanya-tanya dalam hati, ah…aku malu! Malu sekali padanya, dan mulai saat itu, aku berusaha menjauh dan menghindar darinya. Tapi, entah kenapa semakin aku menjauhinya, aku malah semakin tertekan dan sakit. Apalagi, ketika aku melihat dia sedang ngobrol dan bercanda ria dengan teman-teman perempuanku yang lain. Aku, nggak tahu, kenapa aku bisa bersikap seperti itu padanya. Pernah suatu hari Via bertanya padaku, kenapa  aku terlihat begitu membenci Senja, aku hanya menjawabnya dengan diam plus mendiamkan Via selama tiga hari. Dan Via tidak pernah menanyakan hal yang itu lagi.
“Hei…nona manis, sudah menconteknya?” Tanya Via. Seketika kenangan tentang Senja langsung buyar.
“Oh, belum neh…dikit lagi” jawabku.
“Vi, kamu suka sms an nggak sama Senja?” tanyaku tiba-tiba.
“Apa? S-E-N-J-A? nggak salah neh? Kamu nanyain dia? Halo..!sejak kapan seorang Cinta Pramesti menanyakan musuh yang dibencinya setengah mati, ups…apa jangan-jangan musuh yang dicintainya setengah mati? ha…ha..ha….” Via malah mengolok-ngolokku.
“Vi, aku serius, sudah tiga malam ini, aku bermimpi tentang dia, dan sudah tiga hari ini pula aku terus teringat padanya” jawabku dengan tampang serius.
“Oh, so sweet!!!” jawab Via semakin mengolok-olokku
“Vi, kamu bisa bedain nggak seh, kapan kalau aku serius dan kapan kalau lagi bercanda” aku mulai kesal
“Tenang, Tata manis, jangan langsung emosi gitu dong! Jelek tahu!” balasnya.
“Ok, aku memang pernah SMSan sama Senja, tapi itu sudah dua tahun yang lalu, kalau nggak salah, waktu kita  OSPEK dulu, Ta. Setelah itu, dia entah ngilang kemana lagi, hijrah ke bulan kali, he…he…” Via masih tersenyum-senyum kecil memandangiku geli.
“Memang ada yang lucu ya?kok kamu senyum-senyum gitu” tanyaku
“Nggak, nggak ada yang lucu kok, memang sejak kapan senyum itu dilarang?”
“Sejak detik ini,” jawabku kesal.
“Ta, ke Perpus yuk,”
“Lho, bukannya sekarang Mr. Fahri masuk?” tanyaku heran
“Ha…ha…ha…tumben rajin anak satu ini, Mr. Fahri nggak masuk hari ini, Tata!” jawabnya sambil nyengir
“Kenapa nggak ngasih tahu dari tadi? Tahu dia nggak masuk, ngapain juga aku capek-capek ngerjain tugas ampe ngebut kayak gini”
“Ha…ha…ha…” Via tertawa puas sambil berlari ke luar kelas.
“Awas kamu ya, Vi, tunggu pembalasanku!” akupun menyusulnya di belakang.
“Ta, kenapa seh, kamu selalu menghindari aku? Kamu benci aku?” Tanya Senja suatu hari. Aku tidak menjawabnya.
“Kalau kamu benci aku, bilang alasannya, Ta. Biar aku tahu” katanya lagi. Aku tetap diam dan  membelakanginya. Hening menyelimuti kami.
“Baiklah, aku nyerah, aku Cuma mau minta maaf, kalau memang ada sikapku atau kata-kataku yang membuatmu tersinggung dan membenciku.” Iapun pergi meninggalkanku di dalam kelas sendirian. Tidak lama, ia berbalik “oh, ya aku lupa, met ulang tahun ya Ta, ini kado dariku, aku harap walaupun kamu membenciku, kamu nggak membuang hadiah ini, maaf  aku Cuma bisa ngasih ini”ia menaruh kado yang dibungkus kertas bergambar winni the pooh kesukaanku dan berlalu.
            Sejak saat itu, aku resmi puasa ngomong pada Senja, bahkan sampai kami lulus dari es em a itu. namun, sikapku yang cuek dan acuh tak acuh itu, hanya di luar saja, diam-diam selama dua tahun ini, aku selalu mengikuti perkembangannya,  menjadi secret admirornya dan mencintainya dalam diam. Jam weker oval hadiah darinya benar-benar aku jaga dengan baik. Sampai, pada suatu sore, satu minggu sebelum kelulusan, aku melihatnya membonceng adik kelasku yang belakangan aku tahu, kalau adik kelasku itu adalah perempuan yang disukai Senja. Aku seperti lilin yang meleleh terbakar api cemburu. Dan cinta ini benar-benar membunuhku. Aku bersumpah untuk tidak pernah mengingatnya lagi.
“Ta, kamu kemarin pinjem novel Ronggeng Dukuh Paruk itu di rak sebelah mana?” Tanya Via membuyarkan ingatanku tentang Senja.
“Oh, itu di sebelah sana, Vi,” jawabku sambil menunjuk ke arah rak tumpukan buku-buku sastra.
“Eh…baca tuh novel bahasa inggris, status seh mahasiswa pendidikan bahasa inggris, bacanya novel bahasa Indonesia” kataku
“Ye…suka-suka dong!” jawabnya cuek sambil berjalan ke arah rak buku-buku sastra.
“Vi, menurut kamu Senja orangnya kayak gimana seh? Di baik nggak?” tanyaku pada Via setelah Via sudah ada di sampingku sambil menekuri novel yang tadi dicarinya.
“Apa, Ta? Sorry beibeh” jawabnya
“Ah males deh! Gini neh kalau udah baca novel,”
“Yah, maaf, Ta, tadi kamu nyanya apa emang?”
“Apa Senja baik-baik aja ya, Vi?” tanyaku pelan.
“Kamu masih mikirin dia, Ta?” Via nanya balik. Aku tidak menjawabnya.
“Aku boleh nanya sesuatu nggak sama kamu?”
“Nanya apa?” tanyaku
“Sebenarnya, perasaan kamu pada Senja gimana seh, Ta? Jujur, kamu suka dan sayang kan sama dia?” Tanya Via ssmenohokku.
“Iya, Vi, aku sayang banget sama dia, tapi aku terlanjur malu padanya sejak dia mengaku kalau dialah yang mencontek dariku, dan bukan sebaliknya.” Aku terdiam menarik nafas.
“Dan selama ini aku berpura-pura membencinya dan tidak mengacuhkannya itu karena aku nggak mau dia tahu kalau aku menyukainya diam-diam.”
“Tapi, setelah aku tahu, kalau dia menyukai adik kelas  kita si Vita, aku bersumpah untuk tidak mengingatnya lagi,”
“Terus, kamu berhasil melupakannya?” Tanya Via. Aku menggeleng.
“Dari dulu aku udah tahu tentang persaanmu pada Senja, Ta, tapi sebagai sahabat aku nunggu kamu menceritakannya padaku secara langsung, tapi, setelah hampir empat tahun lamanya, kamu bahkan baru detik ini jujur sama aku.”
“Maafin aku ya, Vi”
“It’s ok beibeh,” jawabnya sambil tersenyum. Aku menghirup udara dalam-dalam. Melepaskan semua beban yang selama ini hanya aku tanggung sendiri, dan rasanya seperti burung yang terbang bebas di angkasa.
# # #
What’s on your mind?
Aku menulis:
Seperti ombak pada
Karang,
Rinduku padamu,
Dalam deburnya
Segala luka terserak.
Aku memindahkan kursor ke kotak share, dan dalam hitungan detik statusku itu sudah terpajang di akun home page facebookku, menyatu dengan berpuluh bahkan berjuta status yang lain yang di update dalam detik yang sama. 
Aku meninggalkan lap top yang masih menyala di atas meja belajarku. Menghampiri jam weker oval yang berdiri manis di atas meja lampu, aku menyentuhnya dan air mataku jatuh seketika.
Kudengar lagu Indonesia raya mengalun berapi-api dari handphoneku, ada sms masuk. Dengan malas aku meraih tubuh mungilnya yang tergeletak di atas kasur, melihat siapa yang mengirim pesan di dini hari ini, nomor tak dikenal. Aku mengernyitkan dahi, dan ketika aku membukanya ada empat buah kata tertulis dengan huruf kapital di sana.
“PUISINYA BAGUS. AKU SUKA.”
Aku semakin penasaran. Lalu aku balas
"MAAF SIAPA INI?”
Satu menit, dua menit, tiga menit, setengah jam, tidak ada sms balasan. “Ah paling juga orang iseng yang nggak ada kerjaan, tengah malem buka fb juga dan melihat statusku” pikirku dan aku merebahkan tubuhku di kasur. “tapi, kok dia bisa tahu nomor handphone ku ya?” aku kembali bertanya-tanya. “dan kenapa dia nggak comment di fb aja? Kenapa repot-repot harus lewat sms segala? Ah, paling juga temen-temen kampus yang pake nomor baru” jawabku sendiri, aku menguap, dan mulai memejamkan mata, tenggelam dalam buaian mimpi kalau saja lagu Indonesia raya tidak berdengung keras tepat di bawah telingaku. Ada sms masuk. Dengan cepat aku langsung membacanya.
“SILVERQUEEN, LAPANGAN BOLA SEKOLAH, MATAHARI NGANDANG,
Tak perlu berfikir berjam-jam, sekejap saja wajah bulatnya, dahinya yang berkeringat karena sehabis main bola tersenyum manis ketika aku memberikan silverqueen dengan malu-malu di pinggir lapangan tepat saat matahari ngandang langsung menyerbu ingatanku. Membuat jantungku bermaraton cepat. Lagu Indonesia raya kembali berdengung mengagetkanku yang selama lima detik yang lalu terbuai oleh ingatan tentangnya.
“BESOK SAAT MATAHARI NGANDANG AKU MENUNGGUMU DI BAWAH POHON RANDU LAPANGAN SEKOLAH”
Aku seperti tidak menginjak bumi membacanya. Benarkah? Aku mencubiti pipiku dan lenganku berkali-kali hanya untuk memastikan kalau ini semua bukan mimpi. Dan sampai ayam berkokok aku tidak bisa memejamkan mata.
# # #
“Ta, maafin aku udah membuatmu menunggu begitu lama, hingga kamu harus terluka, hingga rindu itu harus menjelma ombak pada karang, hingga…”
“Cukup! Kamu nggak salah, akulah yang salah, berpura-pura benci padahal mencintai” aku memotong kata-katanya, menelan ludah, tak bisa berkata-kata lagi, menununduk menekuri tanah.
“Dan aku gak akan membuatmu berpura-pura lagi, Ta.janji, mulai saat ini” jawabnya tersenyum sambil memandang mataku.
“Tuhan, aku benar-benar mencintai senyumnya, suaranya, kerjap matanya, dan… cintanya yang tidak pernah terterka. Sungguh aku cintaaa!!!” teriakku dalam hati.
Di bawah pohon randu, di saat matahari ngandang, sungguh aku ingin waktu berhenti berputar.

                                                                                                Ciputat, 22:54/ 9-02-2011.
 

Catatan
Ngandang (sunda)      : masuk ke sarang
Neng geulis (sunda)    : nona cantik




  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar