“Kenalkan namaku Senja” ia memperkenalkan
diri di depan kelas sambil menyunggingkan senyumnya. Dua buah lesung pipit
menyembul di kedua belah pipinya. Membuat murid-murid perempuan terpaku sejenak
memandanginya tak berkedip.
“Ta…senyumnya…gak nahan…!maniiiss
banget!” bisik Via teman sebangkuku.
“Apa? Senja? Ha…ha…ha… pasti nama
emak bapak lu Siang dan Malam, terus nama adik atau kakak lu Bulan, kalau gak
Matahari kalau gak Bintang ha…ha…ha…” Erik mengolok-olok murid baru itu. Seisi kelas
kontan ikut-ikutan tertawa termasuk aku dan Via walaupun kami berdua menahannya
sekuat mungkin.
“Sudah….sudah…! cukup anak-anak!”
teriak bu Ika memperingatkan
“Senja, ada yang mau disampaikan
lagi?” Tanya bu Ika
Ia menggeleng pelan dan tersenyum.
“Kalau begitu, silahkan bagi murid
yang lain untuk bertanya pada Senja” Ibu Ika memberi kesempatan pada kami untuk
bertanya pada anggota kelas kami yang baru itu.
Beberapa menit berlalu, tidak ada
satupun yang bertanya apa pada Senja, tapi tiba-tiba Erik berdiri dengan wajah
yang serius. Tidak seperti biasanya.
“Baiklah Senja, karena teman-teman
sedang tidak berminat untuk bertanya, maka aku yang akan bertanya padamu.
Hmmmm….by the way…. nomor ukuran bajumu berapa ya?”
Serentak, teman-temannku tertawa
mendengar pertanyaan Erik yang konyol itu. konyol sekaligus sangat menjatuhkan.
Betapa tidak, Senja memang memiliki postur tubuh yang tidak tinggi seperti
kebanyakan murid laki-laki di kelasku, bahkan hampir semua teman-teman
perempuanku, kecuali aku tentunya, memiliki postur yang lebih tinggi darinya.
“Erik benar-benar keterlaluan!” rutukku dalam hati. Tapi sejujurnya aku juga
tidak bisa menahan untuk tidak tertawa waktu tadi mendengar pertanyaan konyol
itu.
“Erik, kenapa bertanya seperti itu
pada Senja?” Tanya bu Ika.
“Yah…ibu gimana seh? Tadi ibu
sendiri yang menyuruh kami untuk bertanya apapun tentang Senja. Masa saya bertanya
seperti itu saja diomelin,” jawab Erik sekenanya.
“Iya, tapi seharusnya kamu tahu
mana pertanyaan yang boleh ditanyakan dan mana yang tidak. Paham?”
“Tidak apa-apa bu, saya tidak
tersinggung sama sekali oleh pertanyaan Erik tadi,” Senja yang dari tadi hanya
berdiam diri, kini membuka suara. Ajaib, seisi kelas langsung mengheningkan
cipta, suaranya yang memang ngebas, seperti memiliki kekuatan untuk meredam,
sangat berwibawa.
“Baiklah, ibu bersyukur jika kamu
tidak mengambil hati olok-olokkan teman-teman barumu ini Senja. Dan kamu Erik,
lain kali kamu harus menjaga kata-katamu.
“Sekarang, kita akan mulai
pelajaran hari ini. Senja, silahkan kembali ke bangkumu.” Bu Ika berkata dengan tegas dan ringkas
seperti biasanya. Tanpa ba bi bu, semua murid langsung membuka buku fisika yang
berisi tentang rumus-rumus yang membuat kepalaku langsung terasa pening itu.
“DOOORRRR…..!!!”
seseorang mengagetkanku dari arah belakang sambil menepuk pundakku dengan keras.
Membuyarkan lamunanku tentang Senja. Nama yang sampai saat ini masih terukir
dengan indah di hatiku.
“Astagfirulllah…!!
Via… bikin kaget aja, hampir saja jantungku copot gara-gara kamu” kataku kesal.
“Lagian
masih pagi, udah ngelamun, ngelamunin apa seh neng geulis?” Tanya Via, ia kemudian duduk di hadapanku sambil
membuka buku grammarnya Betty Azzar yang berwarna biru.
“Ta,
kamu udah selesai ngerjain tugas yang dikasih Mr. Fahri kemarin lusa?” Tanyanya
kemudian
“Apa?
memang ada tugas? YA ALLAH…VIA! Aku kok bisa lupa, aduh gimana neh? Mana
setengah jam lagi kita masuk” kataku panik.
“Ah…dasar!emang
nenek pikun, ya udah cepet buka bukunya dan kerjain sekarang!”
“Di
kertas selembar apa di bukunya Vi?”
“DI
KERTAS SELEMBAR, TATA”
“Aku
nggak punya kertasnya, Vi, minta ya?” aku memasang wajah memelas
“Nih…ambil,
nenek pikun!”
“Vi,…”
“Apa
lagi?” tanyanya kesal
“Pulpennya
sekalian yah?”
“KAMU
NIAT KULIAH APA NGGAK SEH, TATA?” katanya dengan dongkol sambil menyerahkan
pulpen padaku.
“Vi…”
“APA
LAGI???” tanyanya
“Kamu
udah ngerjain sebagian kan?”
“OH…BAGUS!!!
GOOD STUDENT!! KAMU PANTAS MENDAPATKAN GELAR MAHASISWA PALING RAJIN SEJURUSAN,
TA”
“Maksudnya?”
tanyaku innocent.
“Maksudnya,
aku harus buru-buru pergi dan menjauh dari kamu sekarang juga” Via menjawab
dengan tegas sambil merapikan buku-bukunya dan alat tulisnya.
“Yah…Via,
kok aku ditinggal seh?” ayo dong… masa kamu tega, melihat sahabatmu yang imut ini,
kena hukuman Mr. Fahri gara-gara nggak ngerjain tugas?” aku memelas pada Via.
“Sudah…sudah!
Bosen aku melihat wajah memelasmu itu, nih…ambil! Nanti siang kamu harus
traktir ice ceram keusukaanku ya! Via menyerahkan kertas tugasnya dan beralalu
pergi,
“Uh,
dasar matre!!” kataku pelan
“Apa
kamu bilang?” ia berbalik
“Nggak,
aku bilang, kamu adalah sahabatku yang paliiing…baik sedunia!” jawabku sambil
tersenyum berbohong memujinya.
“Aduh…buku pr matematikaku di mana
yah? Kok bisa gak ada seh?” aku mengobrak-abrik isi tasku, mencari buku tulis
bersampul kado Winnie the pooh and the gank. Tapi nihil, buku pr matematika itu
entah nyasar dimana.
“Uh…dasar pikun!” rutuku pada diri
sendiri
“Hai, masih pagi kok udah suntuk
begitu mukanya!”sapa sesorang. Aku menoleh, dan ternyata senja sudah tersenyum
manis tepat di depanku.
“Oh, kamu Nja, ini neh aku lagi
nyari-nyari buku PR matematikaku, tapi kok gak ada, padahal isi tas udah aku
bongkar semua. Mana jam pelajaran pertama nanti, PRnya harus udah dikumpulkan
lagi, tau sendiri Bu Nafisah, killer abis! Bisa-bisa dicincang kalau buku itu
nggak ketemu juga”
“Mungkin memang ketinggalan di
rumah kali, kalau kamu mau, kamu ngerjain aja lagi sekarang di buku lain,
mumpung masih ada waktu setengah jam lagi” sarannya
“Yah…mana cukup ngerjain soal
sebegitu njelimetnya dalam waktu setengah jam?”
“Ya sudah, kamu copy paste punya
aku saja! Gampang kan?”
“Bener neh?” tanyaku. Ia hanya
mengangguk sambil tersenyum…maniiis sekali. Aku jadi teringat kata-kata Via.
“Ternyata Via bener, senyumnya Senja…nggak nahaan banget, maniiss kayak madu,
madunya si Pooh…he…he…” kataku dalam hati.
Aku
tersenyum-senyum sendiri setiap mengingat kenangan itu. bukan apa-apa, ternyata
actingku berhasil juga. Rajin banget kalau aku ngerjain PR matematika yang
susahnya sejagat itu, ha….ha….! aku memang sengaja berpura-pura kehilangan buku
PRku, memasang wajah memelas, supaya Senja meminjamkan buku PR nya padaku.
“Ah…Senja,
gimana kabarmu sekarang?” kataku dalam hati.
“Oh..no…!sepuluh
menit lagi masuk, kenapa aku ngelamunin orang itu lagi?” aku langsung menekuri
bukunya Via dan kembali mengerjakan tugas dari Mr. Fahri.
“Cinta Pramesti, Senja Gilang
Ramadhan, istirahat nanti, silahkan menghadap ibu ke ruangan!”kata bu Nafisah dengan
mata yang hampir loncat keluar. Aku bingung, kenapa aku masih harus menghadap
ke ruangannya? Bukankah tadi aku sudah mengumpulkan tugas? Ah..peduli amat,
liat saja nanti, tapi kenapa Senja juga dipanggil ya?” aku bertanya-tanya dalam
hati.
Di dalam ruangan bu Nafisah yang
seperti di ruang persidangan”jadi, siapa diantara kalian yang nyontek?” Tanya
bu nafisah tanpa basa basi. Kami hanya diam seribu bahasa, tidak berani
bersuara sedikitpun.
“Sial…kenapa bisa ketahuan? Kalau
aku nyontek? Tapi, nggak mungkin juga kalau aku ngaku, bisa dihukum gantung neh
ma bu Nafisah” kataku dalam hati. Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin dan tidak menunjukkan
rasa takut sedikitpun.
Masih hening, “JAWAB!!!” teriak bu
Nafisah sambil memukul meja kerjanya. Semua guru yang dan beberapa siswa yang
ada di ruangan yang sama serentak menoleh pada kami.
Aku tetap, bersikap sesaantai
mungkin, seolah-seolah tidak bersalah. Begitu juga dengan Senja. Tapi sejenak
kemudian,“maafkan saya, bu. Saya sudah melakukan kesalahan besar, saya siap
menerima hukuman apapun” Senja berkata dengan gentlenya.
“Oh…bagus sekali Senja, akhirnya
kamu mengaku juga, tapi ibu harus bersikap adil, karena Cinta juga telah dengan
sukarela memberikan buku tugasnya untuk dicontek, maka ibu tetap akan menghukum
kalian berdua.” Kata bu Nafisah dengan tajam dan menusuk sampai ke ulu hati.
“Senja, kenapa dia mengakui
perbuatan yang tidak dilkukakannya”aku bertanya-tanya dalam hati, ah…aku malu!
Malu sekali padanya, dan mulai saat itu, aku berusaha menjauh dan menghindar
darinya. Tapi, entah kenapa semakin aku menjauhinya, aku malah semakin tertekan
dan sakit. Apalagi, ketika aku melihat dia sedang ngobrol dan bercanda ria
dengan teman-teman perempuanku yang lain. Aku, nggak tahu, kenapa aku bisa bersikap
seperti itu padanya. Pernah suatu hari Via bertanya padaku, kenapa aku terlihat begitu membenci Senja, aku hanya
menjawabnya dengan diam plus mendiamkan Via selama tiga hari. Dan Via tidak
pernah menanyakan hal yang itu lagi.
“Hei…nona
manis, sudah menconteknya?” Tanya Via. Seketika kenangan tentang Senja langsung
buyar.
“Oh,
belum neh…dikit lagi” jawabku.
“Vi,
kamu suka sms an nggak sama Senja?” tanyaku tiba-tiba.
“Apa?
S-E-N-J-A? nggak salah neh? Kamu nanyain dia? Halo..!sejak kapan seorang Cinta
Pramesti menanyakan musuh yang dibencinya setengah mati, ups…apa jangan-jangan
musuh yang dicintainya setengah mati? ha…ha..ha….” Via malah mengolok-ngolokku.
“Vi,
aku serius, sudah tiga malam ini, aku bermimpi tentang dia, dan sudah tiga hari
ini pula aku terus teringat padanya” jawabku dengan tampang serius.
“Oh,
so sweet!!!” jawab Via semakin mengolok-olokku
“Vi,
kamu bisa bedain nggak seh, kapan kalau aku serius dan kapan kalau lagi
bercanda” aku mulai kesal
“Tenang,
Tata manis, jangan langsung emosi gitu dong! Jelek tahu!” balasnya.
“Ok,
aku memang pernah SMSan sama Senja, tapi itu sudah dua tahun yang lalu, kalau
nggak salah, waktu kita OSPEK dulu, Ta.
Setelah itu, dia entah ngilang kemana lagi, hijrah ke bulan kali, he…he…” Via
masih tersenyum-senyum kecil memandangiku geli.
“Memang
ada yang lucu ya?kok kamu senyum-senyum gitu” tanyaku
“Nggak,
nggak ada yang lucu kok, memang sejak kapan senyum itu dilarang?”
“Sejak
detik ini,” jawabku kesal.
“Ta,
ke Perpus yuk,”
“Lho,
bukannya sekarang Mr. Fahri masuk?” tanyaku heran
“Ha…ha…ha…tumben
rajin anak satu ini, Mr. Fahri nggak masuk hari ini, Tata!” jawabnya sambil
nyengir
“Kenapa
nggak ngasih tahu dari tadi? Tahu dia nggak masuk, ngapain juga aku capek-capek
ngerjain tugas ampe ngebut kayak gini”
“Ha…ha…ha…”
Via tertawa puas sambil berlari ke luar kelas.
“Awas
kamu ya, Vi, tunggu pembalasanku!” akupun menyusulnya di belakang.
“Ta, kenapa seh, kamu selalu
menghindari aku? Kamu benci aku?” Tanya Senja suatu hari. Aku tidak
menjawabnya.
“Kalau kamu benci aku, bilang
alasannya, Ta. Biar aku tahu” katanya lagi. Aku tetap diam dan membelakanginya. Hening menyelimuti kami.
“Baiklah, aku nyerah, aku Cuma mau
minta maaf, kalau memang ada sikapku atau kata-kataku yang membuatmu
tersinggung dan membenciku.” Iapun pergi meninggalkanku di dalam kelas
sendirian. Tidak lama, ia berbalik “oh, ya aku lupa, met ulang tahun ya Ta, ini
kado dariku, aku harap walaupun kamu membenciku, kamu nggak membuang hadiah
ini, maaf aku Cuma bisa ngasih ini”ia
menaruh kado yang dibungkus kertas bergambar winni the pooh kesukaanku dan
berlalu.
Sejak
saat itu, aku resmi puasa ngomong pada Senja, bahkan sampai kami lulus dari es
em a itu. namun, sikapku yang cuek dan acuh tak acuh itu, hanya di luar saja,
diam-diam selama dua tahun ini, aku selalu mengikuti perkembangannya, menjadi secret admirornya dan mencintainya
dalam diam. Jam weker oval hadiah darinya benar-benar aku jaga dengan baik. Sampai,
pada suatu sore, satu minggu sebelum kelulusan, aku melihatnya membonceng adik
kelasku yang belakangan aku tahu, kalau adik kelasku itu adalah perempuan yang
disukai Senja. Aku seperti lilin yang meleleh terbakar api cemburu. Dan cinta
ini benar-benar membunuhku. Aku bersumpah untuk tidak pernah mengingatnya lagi.
“Ta,
kamu kemarin pinjem novel Ronggeng Dukuh Paruk itu di rak sebelah mana?” Tanya
Via membuyarkan ingatanku tentang Senja.
“Oh,
itu di sebelah sana, Vi,” jawabku sambil menunjuk ke arah rak tumpukan
buku-buku sastra.
“Eh…baca
tuh novel bahasa inggris, status seh mahasiswa pendidikan bahasa inggris,
bacanya novel bahasa Indonesia” kataku
“Ye…suka-suka
dong!” jawabnya cuek sambil berjalan ke arah rak buku-buku sastra.
“Vi,
menurut kamu Senja orangnya kayak gimana seh? Di baik nggak?” tanyaku pada Via
setelah Via sudah ada di sampingku sambil menekuri novel yang tadi dicarinya.
“Apa,
Ta? Sorry beibeh” jawabnya
“Ah
males deh! Gini neh kalau udah baca novel,”
“Yah,
maaf, Ta, tadi kamu nyanya apa emang?”
“Apa
Senja baik-baik aja ya, Vi?” tanyaku pelan.
“Kamu
masih mikirin dia, Ta?” Via nanya balik. Aku tidak menjawabnya.
“Aku
boleh nanya sesuatu nggak sama kamu?”
“Nanya
apa?” tanyaku
“Sebenarnya,
perasaan kamu pada Senja gimana seh, Ta? Jujur, kamu suka dan sayang kan sama
dia?” Tanya Via ssmenohokku.
“Iya,
Vi, aku sayang banget sama dia, tapi aku terlanjur malu padanya sejak dia
mengaku kalau dialah yang mencontek dariku, dan bukan sebaliknya.” Aku terdiam
menarik nafas.
“Dan
selama ini aku berpura-pura membencinya dan tidak mengacuhkannya itu karena aku
nggak mau dia tahu kalau aku menyukainya diam-diam.”
“Tapi,
setelah aku tahu, kalau dia menyukai adik kelas
kita si Vita, aku bersumpah untuk tidak mengingatnya lagi,”
“Terus,
kamu berhasil melupakannya?” Tanya Via. Aku menggeleng.
“Dari
dulu aku udah tahu tentang persaanmu pada Senja, Ta, tapi sebagai sahabat aku
nunggu kamu menceritakannya padaku secara langsung, tapi, setelah hampir empat
tahun lamanya, kamu bahkan baru detik ini jujur sama aku.”
“Maafin
aku ya, Vi”
“It’s ok
beibeh,” jawabnya sambil tersenyum. Aku menghirup udara dalam-dalam. Melepaskan
semua beban yang selama ini hanya aku tanggung sendiri, dan rasanya seperti
burung yang terbang bebas di angkasa.
# # #
What’s on your mind?
Aku
menulis:
Seperti ombak pada
Karang,
Rinduku padamu,
Dalam deburnya
Segala luka terserak.
Aku
memindahkan kursor ke kotak share,
dan dalam hitungan detik statusku itu sudah terpajang di akun home page facebookku, menyatu dengan
berpuluh bahkan berjuta status yang lain yang di update dalam detik yang sama.
Aku
meninggalkan lap top yang masih menyala di atas meja belajarku. Menghampiri jam
weker oval yang berdiri manis di atas meja lampu, aku menyentuhnya dan air
mataku jatuh seketika.
Kudengar
lagu Indonesia raya mengalun berapi-api dari handphoneku, ada sms masuk. Dengan malas aku meraih tubuh mungilnya
yang tergeletak di atas kasur, melihat siapa yang mengirim pesan di dini hari
ini, nomor tak dikenal. Aku mengernyitkan dahi, dan ketika aku membukanya ada
empat buah kata tertulis dengan huruf kapital di sana.
“PUISINYA
BAGUS. AKU SUKA.”
Aku
semakin penasaran. Lalu aku balas
"MAAF
SIAPA INI?”
Satu
menit, dua menit, tiga menit, setengah jam, tidak ada sms balasan. “Ah paling
juga orang iseng yang nggak ada kerjaan, tengah malem buka fb juga dan melihat
statusku” pikirku dan aku merebahkan tubuhku di kasur. “tapi, kok dia bisa tahu
nomor handphone ku ya?” aku kembali
bertanya-tanya. “dan kenapa dia nggak comment
di fb aja? Kenapa repot-repot harus lewat sms segala? Ah, paling juga
temen-temen kampus yang pake nomor baru” jawabku sendiri, aku menguap, dan mulai
memejamkan mata, tenggelam dalam buaian mimpi kalau saja lagu Indonesia raya
tidak berdengung keras tepat di bawah telingaku. Ada sms masuk. Dengan cepat
aku langsung membacanya.
“SILVERQUEEN,
LAPANGAN BOLA SEKOLAH, MATAHARI NGANDANG,”
Tak
perlu berfikir berjam-jam, sekejap saja wajah bulatnya, dahinya yang
berkeringat karena sehabis main bola tersenyum manis ketika aku memberikan
silverqueen dengan malu-malu di pinggir lapangan tepat saat matahari ngandang langsung menyerbu ingatanku.
Membuat jantungku bermaraton cepat. Lagu Indonesia raya kembali berdengung
mengagetkanku yang selama lima detik yang lalu terbuai oleh ingatan tentangnya.
“BESOK
SAAT MATAHARI NGANDANG AKU MENUNGGUMU
DI BAWAH POHON RANDU LAPANGAN SEKOLAH”
Aku
seperti tidak menginjak bumi membacanya. Benarkah? Aku mencubiti pipiku dan
lenganku berkali-kali hanya untuk memastikan kalau ini semua bukan mimpi. Dan
sampai ayam berkokok aku tidak bisa memejamkan mata.
# # #
“Ta,
maafin aku udah membuatmu menunggu begitu lama, hingga kamu harus terluka,
hingga rindu itu harus menjelma ombak pada karang, hingga…”
“Cukup!
Kamu nggak salah, akulah yang salah, berpura-pura benci padahal mencintai” aku
memotong kata-katanya, menelan ludah, tak bisa berkata-kata lagi, menununduk
menekuri tanah.
“Dan
aku gak akan membuatmu berpura-pura lagi, Ta.janji, mulai saat ini” jawabnya
tersenyum sambil memandang mataku.
“Tuhan,
aku benar-benar mencintai senyumnya, suaranya, kerjap matanya, dan… cintanya
yang tidak pernah terterka. Sungguh aku cintaaa!!!” teriakku dalam hati.
Di
bawah pohon randu, di saat matahari ngandang,
sungguh aku ingin waktu berhenti berputar.
Ciputat,
22:54/ 9-02-2011.
Catatan
Ngandang
(sunda) : masuk ke sarang
Neng
geulis (sunda) : nona cantik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar