Kamis, 25 Desember 2014

SEPOTONG CERITA TENTANG PEMUDA SEDERHANA





Ini bukan cerita tentang seorang pemuda sederhana atau miskin yang menolong putri cantik yang tersesat di hutan, yang kemudian saling  jatuh cinta dan menikah dengan bahagia.

Bukan juga tentang pemuda miskin atau sederhana yang menyaru atau dikutuk oleh dewa tapi sebenarnya ia adalah pangeran tampan dari kerajaan sebrang.

Ini hanya sepotong cerita, yang aku lalui dalam episode hidup yang tidak pernah terterka skenarionya. Jangan,  jangan bayangkan ini adalah cerita romance ala drama Korea, ini hanya benar-benar sepotong cerita tentang pemuda sederhana yang istimewa. 

            -----------------------------------------------------------------------------

Di dunia yang semakin dikuasai oleh materialisme ini, apa batas yang membedakan antara manusia dan hewan?

Bagiku, kejujuran dan kepedulian adalah dua hal yang menjadi penanda bahwa hewan berakal  yang berjalan dengan dua kaki itu disebut sebagai manusia seutuhnya. 

Ya, bukan hanya akal yang membedakan manusia dan hewan, seperti yang selama ini didengungkan di ruang-ruang kelas, karena sejatinya manusia berintelegensi paling tinggipun, jika ia tidak jujur dan dan tidak memiliki kepedulian ia hanya akan menjadi hewan berakal yang berjalan dengan dua kaki. Bukankah label “tikus” untuk koruptor atau”buaya” untuk para penegak hukum yang tidak amanah adalah bukti bahwa saat manusia tidak lagi memiliki kejujuran dan kepedulian, sejatinya ia tidaklah berbeda dengan hewan-hewan yang selama ini dianggap tidak berharga.

Tapi sayangnya,  di zaman yang mendewakan materialisme dan kepentingan pribadi menjadi kompas kebanyakan orang, hanya segelintir  orang atau bahkan satu berbanding seribu yang tetap menjadi berlian di tengah pusaran lumpur materialisme dengan tetap memegang teguh kejujuran dan kepedulian di dalam dirinya.  

Dan hari ini, aku menemukan sebongkah berlian itu, seorang pemuda sederhana yang tidak bermobil apalagi memiliki jabatan dan kekuasaan, ia hanya pemuda kebanyakan yang mungkin bekerja serabutan. Tapi kejujuran dan kepeduliannya telah menempatkan dirinya di kursi mulia dan terhormat seperti apa yang dituturkan Ali bin Thalib r.a. 


Dan sepotong cerita ini, dimulai dari sini,

Pagi kemarin, tiba-tiba saja menjadi pagi yang rusuh bagiku, betapa tidak, dompet polkadot putihku yang berisi KTP, ATM, dan surat-surat berharga lainnya, juga uang sebanyak dua ratus ribu, ternyata tidak ada di dalam tasku. Aku mencari di kantong-kantong plastik yang semalam aku bawa, bertanya pada emak juga adikku yang memang suka iseng, dan menelpon bapak, siapa tahu dompetku itu jatuh atau tertinggal di dalam mobil yang mengantarkan kami pulang dari acara wisudaan pamanku. Tapi hasilnya, NIHIL. Dompetku raib entah dimana.

Aku mencoba mengingat-ingat, dimana terakhir kali aku membuka dompet tersebut, dan ingatanku melayang ke tempat kaki lima penjual buah yang kami singgahi pulang dari Monas dan acara wisuda itu.

Ya, tidak salah lagi, dompetku pasti tertinggal atau mungkin terjatuh di tempat kami membeli buah-buahan untuk sekedar buah tangan orang rumah. Tapi, malangnya, tempat jual buah itu sangat jauh dari sini yaitu di perempatan Cikande Serang, lewat Jayanti Balaraja. Aku juga sangsi, jika memang dompetku tertinggal disana, apakah dompet itu masih selamat? Atau masih ada di tempatnya? atau sebaliknya, ditemukan oleh orang yang lewat yang tidak jujur, diambil uangnya dan dompetnya  dibuang di sembarang tempat. 
 
Namun, aku tetap akan menyusulnya kesana, apapun yang terjadi, tidak peduli apakah dompetku itu sudah hilang ataukah masih ada. Aku bergegas mandi dan menghubungi pamanku untuk minta diantar ke tempat penjual buah itu. 

Tapi, ketika aku sedang bersiap-siap berangkat, Hp ku berdering, ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Aku mengangkatnya, bercampur dengan suara kresek-kresek karena sinyal yang kurang bagus mungkin, samar aku mendengar bahwa laki-laki yang menelpon itu mengaku bahwa ia telah menemukan dompetku. Spontan aku berteriak girang dan mengucapkan terimakasih padanya. Maka pagi itu juga, aku segera meluncur ke Cikande Serang, mengambil kembali dompet polkadotku. 
 
Di perjalanan, aku terus memikirkan laki-laki bernama Asep itu. Betapa jujurnya, betapa pedulinya ia, susah payah menelponku, merelakan pulsanya hanya untuk berusaha mengembalikan dompetku. Padahal, kalaupun ia mau tidak peduli atau bahkan berlaku tidak jujur, ia bisa saja mengambil uang yang ada di dompet tersebut, kemudian membuang dompetnya jauh-jauh tanpa harus repot menelpon pemiliknya, bisa saja bukan? Dan tentu saja tidak akan ada yang tahu, kecuali yang Maha Mengetahui. Tapi ternyata, ia memilih untuk menjadi berlian dengan kejujuran dan kepeduliannya itu.


Saat aku sampai di tempat penjual buah dan bertemu dengannya, di luar dugaanku, ia adalah seorang pemuda sebaya murid-muridku kelas XII atau mungkin yang baru lulus SMA. Badannya tidak terlalu tinggi, dengan rambut sedikit ikal yang terlihat jarang disisir. Tapi, walau demikian, aku sungguh-sungguh menghormatinya atas kejujuran dan kepeduliannya. Sejak di perjalanan, aku sudah merangkai beberapa kata betapa kejujuran dan kepeduliannya tidak bisa terbalas dengan uang berapapun, tetapi, kata-kata itu hanya menggantung di benak tanpa sempat keluar melewati mulutku, maka yang aku ucapkan hanya terima kasih yang berkali-kali padanya. Dan akupun pamit pulang. 

Lewat satu kilometer, aku bahkan sudah lupa pada wajahnya, namun, apa yang telah ia lakukan terpahat abadi di memori ingatan. 

 Ah, andai semua pemuda seperti Asep, kita tidak akan khawatir akan masa depan Indonesia.  

                                                                   ----------------------------------------------------------------------  
            

“Orang yang suka berkata jujur akan mendapatkan 3 hal, yaitu : KEPERCAYAN, CINTA dan RASA HORMAT”

(Sayidina Ali bin Abi Thalib)