Kamis, 23 Juni 2011

ARTIKEL 'PARENTING2NGAN" (BELAJAR BEREMPATI DARI HALUSNYA JIWA ANAK2)

Siang yang panas dengan terik matahari membakar ubun2, membawa saya ke saung kayu di belakang rumah sodara untuk berteduh, kebetulan di bawah saung kayu itu ada sebuah kolam tepatnya empang ikan lele yang tidak besar dan juga tidak terlalu dalam dan airnya berwarna hijau muda. hari itu, di rumah uyut (neneknya ibu) memang sedang ada acara masak2 untuk haulan kakek uyut yang udah meninggal 22 tahun lalu. karena nenek uyut dan kakek uyut saya adalah keluarga besar beranak dan bercucu banyak, maka acara haulan ini bisa dibilang juga sebagai acara reunian keluarga. karena dari mulai anak2nya (generasi pertama) yang s,udah hampir semua menyandang gelar 'kakek n nenek',  cucu2nya (generasi ke2) yang rata2 sudah dipanggil emak n bapak', cicit2nya (generasi ke3) yang juga sudah ada yang menikah dan punya anak, semuanya berkumpul di sana ,terutama anak2, cucu2nya dan juga cicit2nya  yang perempuan dan masih anak2 seperti saya dan dua sepupu saya (Resti n Ndes) juga tentu saja adik bungsu saya opa.

ketika saya melihat saung kayu dan empang  itu, otak imajinatif saya langsung bekerja membayangkan sebuah rakit yang ada atapnya dan kursi2 kayunya sedang berlayar di sebuah danau yang hijau dengan angin sepoi2 melambai menerpa wajahku. maka serta merta saya pun mengajak adk saya dan temannya juga dua sepupu saya ke saung kayu itu. dan naluri saya sbg guru ngaji langsung menyala saat itu juga. "ini adalah momen yang tepat untuk mengajarkan pada anak2 itu tentang pengetahuan islam dan juga huruf hijaiyah setelah beberapa minggu lamanya saya 'cuti' mengajari mereka ngaji di rumah sejak kecelakaan 3 minggu yg lalu" dan merekapun langsung berteriak menyabut ajakan saya dengan semangat dan antusias.

maka siang yang panas itu saya habiskan mengajari mereka menyanyikan lagu huruf2 hijaiyah, lagu ttg sholat 5 waktu yang liriknya saya karang2 sendiri dan nadanya saya ambil dari lagunya lucky laki berjudul 'aku bukanlahlah superman
"aku adalah anak sholeh....
aku sholat 5 waktu...
shubuh, dhuhur, ashar,
magrib, isya,
sehari semalam"
setelah itu, saya lanjutkan dengan bermain games sampai mereka capek dan kehausan, baru kemudian kami beristirahat sambil memakan 'papais' dan menikmati sejuknya angin yang berhembus menerpa wajah kami.

 ketika sedang istirahat itu, sepupu saya Resti yang seumuran dengan Opa memperhatikan tangan kanan saya yang masih dibidai dan dibalut dengan perban kain. tanpa saya duga dia bertanya "teh Eka, leunngenna masih nyeuri? (tangannya masih sakit?)" saya jawab "iya" lalu dengan binar mata serius ia bertanya lagi "ntos bisa digerakkeun? (udah bisa digerakkin belum?)" saya jawab sambil tersenyum "ntos, tapi karak jari2na (udah, tapi baru jari2nya aja)" dan saya pun menggerak2kan jari2 saya di depannya. dan iapun tersenyum manis,  memperlihatkan gigi2 kecilnya yang ompong dan berwarana kuning...

dan siang yang terik itu... saya belajar satu hal, "anak sekecil itu, sudah bisa menunjukkan rasa empatinya pada saya, lalu bagaimana dengan saya???"
sebuah pertanyaan yang tidak mudah saya jawab.

Senin, 20 Juni 2011

the dreams of mine

Saya sering sekali membaca buku motivasi, novel tentang kekuatan mimpi, atau juga mendengar nasehat2 yang menginpirasi, bahkan novel 'sang pemimpinya' Andra Hirata dan '5 cm' nya Donny Dhirgantoro sudah lebih dari lima kali saya baca sejak saya membelinya. namun, entah kenapa kekuatan motivasi dan spirit yang terhisap kedalam diri saya setelah membaca novel2 itu, atau juga setelah saya mengikuti sebuah training motivasi, hanya bertahan paling lama 3 hari..., tidak lebih dari itu. dan setelah itu, saya akan kembali pada kebiasaan lama saya, selalu menunda2 pekerjaan, dan pemalas akut.
Tapi, ketika beberapa hari yang lalu, adik saya memberi tahu saya tentang sebuah video motivasi yang dibuat oleh seseorang yang menamakan dirinya 'sang Pembuat jejak', spirit yang telah lama hilang seakan pulang kembali dan entah kenapa sampai detik saya menulis catatan ini, spirit yang ditularkan 'si pembuat jejak' itu seakan2 mengejar2 saya, dan memaksa saya untuk berbuat hal yang sama dengan apa yang telah diperbuatnya "MENULISKAN 100 TARGET/MIMPI' dalam selembar kertas, dan menempelkannya di dinding kamar atau di tempat yang mudah kita lihat setiap waktu, agar target2 atau mimpi2 itu selalu tertanam dalam ingatan kita dan menjadi 'daily motivation' untuk kita menjalani hari2.
and so, here are the dreams of mine; (walaupun gak nyampe 100 spt SI PEMBUAT JEJAK dan sangat terlambat sekali untuk mrmulai)
  1.  punya tafsir al-quran 30 juz, supaya bisa lebih mendalami isi al-quran
  2.  menerbitkan buku/novel
  3. menjadi penulis yang menginspirasi
  4.  bisa maen gitar n nyiptain lagu islami untuk anak2
  5.  hafal al-quran 30 juz (minimal setengahnya)
  6. jadi guru yang menginspirasi
  7. menikah dengan laki2 yang sholeh, berakhlak mulia, baik agamanya, udah kerja alias tidak nganggur. he... 
  8. ngelanjuti study ke luar negeri pake beasiswa tentunya n lebih ok lagi bareng suami
  9. punya anak2 yang sholeh & sholehah, pinter2, berakhlak mulia, dan menjadi ulama/ilmuan
  10. mendirikan sekolah berbasis qur'an dan science dengan megedepankan akhlakul karimah
  11. mendirikan taman bacaan kayak rumah dunia
  12. punya usaha sendiri (entreupeneur)
  13. naik haji bareng my beloved husband n my parents
  14. meninggal husnul khotimah...
note: mungkin saya termasuk terlambat menuliskan mimpi2 saya, tapi saya percaya tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan. dan saya yakin Allah yang Maha penyayang akan memeluk mimpi2 saya. 



Senin, 06 Juni 2011

SEBUAH PELAJARAN DARI PASAR MALAM

Dari kejauhan, lampu-lampu itu terlihat seperti kunang-kunang yang terbang bergerombol, berkedip-kedip menghiasi hampir seluruh lapangan bola yang berada tepat di depan masjid Baiturrahim kecamatan Sajira. Senja memang baru saja turun ke bumi, adzan magrib juga baru selesai dikumandangkan oleh sang muadzin dari speaker masjid. Tetapi, orang-orang yang berdatangan menuju pasar malam itu, jauh lebih banyak dari pada yang memasuki masjid untuk melaksakan sholat.  ironis memang, mengingat kampung Sajira ini hampir seluruh warganya beragama islam, tetapi itulah realita yang terjadi sekarang. Tapi, baiklah, kita berhusnudzon saja, mungkin orang-orang yang menuju pasar malam itu sudah lebih dahulu menunaikan shalatnya di rumah masing-masing.
Pasar malam ini memang baru saja dibuka, setelah tiga hari yang lalu para pekerjanya yang mayoritas berdarah jawa, sibuk memasang peralatan-peralatan, tiang-tiang penyangga, juga lampu-lampu sebabagai penerang sekaligus penghiasnya.
Pasar malam yang diadakan oleh Sido Makmur ini, mambuka lima wahana atau permainan, yaitu; komedi putar yang biasanya diminati oleh anak-anak berusia sekitar tiga sampai tujuh tahun, kincir angin atau yang bernama populer bianglala. Ombak banyu, kereta-kerataan, dan sirkus motor cross yang berjalan di atas seutas tali sambil mengelilingi papan yang membatasinya.
 Satu lembar tiket untuk setiap wahana tersebut berharga empar ribu rupiah per orang. Lumayan ekonomis dan terjangkau oleh kocek masyarakat sekitar.walaupun ada beberapa orang tua yang mengeluh karena semua anaknya yang meminta untuk naik semua permainan yang ada di pasar malam itu. Tapi tentunya hal itu tidak terlalu menjadi ganjalan demi menyenangkan anak-anak tercinta,dan melihat tawa bahagia mereka keeeetika menaiki wahana.
Beranjak dari antusiasme masyarakat sekitar menyambut pasar malam itu, tidak ada salahnya jika kita “menengok”para pekerja yang menjalankan wahana-wahana tersebut.
Malam itu adalah malam minggu, dan tentu saja yang lebih banyak datang ke sana adalah para muda-mudi yang masih belia. Wahana faforit para remaja itu adalah ombak banyu yang diputar oleh tiga pekerja lelaki yang juga masih muda dengan cara memutarkannya layaknya ombak.
Setelah semua tempat duduk terisi penuh, seorang laki-laki berperawakan sedang  berbadan tegap dan atletis, mulai memutarkan ombak banyu itu, dibantu dengan dua temannya yang terlihat lebih muda darinya. Musik rapp dinyalakan, putaran ombak banyu itu semakin cepat, meliuk-meliuk seperti ombak, para  penumpang perempuan  mulai menjerit histeris, takut bercampur senang ketika jantung   mereka seperti diajak naik turun. Sedangkan para penumpang laki-laki, bahkan tertawa-tawa riang tanpa sedikitpun berpegangan.
 Pemuda berdada bidang yang memakai kaos putih itu mulai memperlihatkan aksinya. Ia  tiba-tiba melompat memegang salah satu tiang yang menggantung bangku kayu itu, dan dengan posisi kepala di bawah, ia menaikkan kakinya ke atas sambil menggerak-gerakkannya mengikuti alunan musik rapp yang menghentak-hentak. Beberapa  penumpang  sontak menjerit kaget dan histeris karena ngeri melihatnya, tapi ia sendiri malah tersenyum-senyum senang dengan mulut yang bergerak-gerak menyanyikan lagu rapp itu.
Beberapa detik kemudian, ia turun dan berdiri di tengah-tengah, dengan kedua kakinya yang masih dihentak-hentakkan mengikuti musik. Ia kemudian menenggak botol aqua yang berisi air yang ada di sampingnya, dan mengelap keringat yang bercucuran di pelipisnya dengan tangan kanannya. Setelah itu ia meminta para muda-mudi yang naik ombak banyu itu untuk berteriak senang, melepaskan semua beban yang terpendam.

Malam semakin larut, pera pengnujungpun satu demi satu mulai meninggalkan pasar malam tersebut dan pulang ke rumahnya masing-masing. Dan pemuda itupun juga mulai terlihat kelelahan karena harus memutar ombak banyu dengan kedua tangganya. Tetapi matanya yang terus berbinar dan senyumnya  yang terus mengembang, mengisyaratkan bahwa ia tidak mengeluh sedikitpun, tetapi sebaliknya ia malah sangat mencintai pekerjaannya itu, walupun mungkin di mata sebagian besar orang, profesinya sebagai pemutar wahana ombak banyu, tidak memiliki prestise apa-apa, apalagi mengahasilkan uang yang banyak untuk menebalkan dompetnya.
Tetapi, ia tetap menghayati profesinya itu,dan bekerja dengan hati yang terbuka, menghibur setiap orang dengan aksi sirkusnya dan membuat mereka senang hingga tersenyum dan tertawa bahagia.
Sudahkah kita mencintai pekerjaan kita seperti halnya pemuda itu???


                                                                                   
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              

ANTARA WAGINA DAN MAHASMARA

Ada yang pernah menonton ‘SINEMA WAJAH INDONESIA’ di SCTV? yang tayang satiap malam minggu pukul 22. 30? Itu memang bukan sekedar sinema atau film lepas Televisi yang biasa, yang menghadirkan kisah cinta anak muda dengan segala bumbu2 asmaranya, lebih dari itu, sinema wajah Indonesia memang menghadirkan cerita yang mewakili adat dan budaya masyarakat Indonesia, terutama budaya lokalnya. Memang tetap ada kisah cintanya, tapi itu tidak menjadi inti cerita yang utama.
Saya memang baru dua kali menonton sinema wajah Indonesia, yang pertama berjudul MAHASMARA, film ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Mahasmara yang memiliki bahu lawean, setiap ia akan menikah, maka calon mempelai prianya meninggal dunia sebelum akad nikah dilangsungkan. Iapun dicap sebagai perempuan pembawa sial, karena sudah hampir dua kali menikah, calon mempelai laki2nya meninggal dunia semua, yang pertama meninggal beberapa jam sebelum akad nikah karena tertabrak mobil ketika akan mengambil pesanan cincin pernikahannya, dan yang kedua, meninggal sehari sebelum pernikahan karena kepalanya menyundul lampu gantung saat ia sedang digotong2 oleh teman2 lelakinya karena berhasil memenangkan adu panco pada acara melepas bujang, yaitu acara kumpul2 calon mempelai laki2 dengan teman laki2nya.
Mahasmara putus asa dan berniat untuk tidak menikah lagi, namun di saat ia ingin menutup dunianya dan mengubur harapannya tentang sebuah pernikahan, seorang laki2 sederhana, yang juga pegawai toko barang antiknya telah merebut perhatiannya dan lama2 menyemaikan benih2 cinta di hatinya. Ia sangat mencintai laki2 itu begitu pula sebaliknya. Tapi seberapa besarpun Mahasmara mencintai laki2 itu ia memutuskan untuk tidak akan menikah dengannya, karena ia tidak ingin kehilangan laki2 yang sangat dicintainya itu. walaupun laki2 tersebut bersikeras akan tetap melamarnya dan sudah siap dengan kosikuensinya yaitu meninggal dunia.
Di akhir cerita, akhirnya Mahasmara luluh juga dan menerima lamaran laki2 itu. Tepat seminggu sebelum hari pernikahan, ia mendapat telpon bahwa mobil yang ditumpangi calon suaminya itu kecelakaan. Ia panik dan langsung menyusul ke tempat kejadian, tapi di tengah jalan, kakak iparnya menelpon bahwa informasi tadi salah dan laki2 yang berada dalam mobil yang menabrak pohon itu bukan calon suaminya melainkan orang lain. Dan ternyata Don,  calon mempelai laki2 dari perempuan berbahu lawean itu sedang asyik memilih ayam jago yang akan dibelinya di pasar tradisional.
Adapun film yang ke dua yang saya tonton malam minggu kemarin di Sinema Wajah Indonesia adalah “WAGINA BICARA LAGI”. Masih mengangkat budaya dan kultur Jawa, film ini bisa dikatakan ingin membincang tentang budaya patriarki dan feminisme dalam sebuah rumah tangga atau pernikahan.
Diceritakan, bahwa Wagina adalah seorang perempuan jawa tulen, berkepribadian lembut dan pendiam, juga sangat manut pada suami. Ia memiliki dua orang anak, perempuan dan laki2. Setiap subuh, ketika orang2 berangkat ke masjid untuk shalat, ia sudah harus bersiap berangkat kerja, karena tempat kerjanya yang terletak di pusat Jakarta dan jauh sekali dari rumahnya yang berada di depok. Sebenarnya, ia tidak perlu berangkat subuh2 sekali, jika saja suaminya yang malas bekerja itu mau mengantarkannya setiap pagi dengan mobil ataupun sepeda motornya. Jadi, Wagina bekerja, bukan karena suaminya tidak mampu bekerja atau miskin atau juga cacat. Melainkan karena suaminya itu memang tidak mau bekerja  apalagi memberi nafkah padanya dan anak2nya. Maklum, suaminya itu adalah anak bungsu dari keluarga yang berada dan selalu dimanja.
Maka terciptalah sebuah paradoks dalam keluarga itu, Wagina yang seorang istri harus berangkat bekerja dari sebelum matahari terbit dan pulang ketika matahari terbenam, sedangkan suaminya, hanya ongkang2 kaki di rumah, menghabiskan pulsa untuk menelpon selingkuhan2nya, berjalan2 dengan mobil dan motornya dan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat, memarahi Wagina dan bahkan tidak jarang menganiayanya.
Apakah Wagina mengeluh? Dalam film berdurasi kurang lebih 90 menit itu, perempuan yang bekerja sebagai penjaga toko batik itu sama sekali tidak mengeluh. Bahkan walaupun seluruh uang gaji hasil keringatnya diberikan pada suaminya setiap bulannya. Ia tetap bersemangat bekerja, dan membuat sebuah prestasi dengan berhasil memberikan omzet yang besar pada toko/perusahaan batik  tempatnya bekerja. Iapun di beri tunjangan dan mulai diperhatikan oleh atasannya.
Namun, tidak demikian dengan kehidupan rumah tangganya. Ketika hatinya sudah merasa benar2 tidak tenang oleh pertengkaran2 dengan suaminya, ia memutuskan untuk menuntut cerai. Tapi, keinginannya itu di tentang sekali oleh mertuanya, dengan alasan, tidak pantas seorang istri menuntut cerai pada suaminya, karena itu dianggap sebuah penghinaan pada keluarga sang suami. Mertuanya itu tidak mau tahu bahwa anak laki2nyalah yang menyebabkan kenapa Wagina menuntut cerai. Tetapi, dengan sikap tenangnya, Wagina tidak membicarakan apalagi melaporkan tingkah laku suaminya pada mertuanya Ia sungguh hanya ingin hidup tenang, dan jalan satu2nya adalah dengan bercerai, ia juga hanya mengatakan bahwa  alasannya menuntut cerai adalah karena sudah tidak ada kecocokkan lagi dengan suaminya, bukan karena KDRT yang kerap kali ia terima dan bukan juga karena tidak ada nafkah yang pernah ia terima dari suaminya.
Disinilah inti cerita dari film itu. betapa ribetnya menjadi seorang perempuan. Bahkan dalam salah satu dialognya Wagina berkata, “jadi perempuan itu memang repot…”. Maksudnya adalah, betapa tidak mudahnya hanya untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan hati, betapa rumitnya untuk bercerai dari suaminya dan membangun kehidupan sendiri yang lebih tenang.
Tapi untungnya, dalam film ini, akhirnya tuntutan cerai Wagina diterima, dan film ini ditutup dengan sebuah ending yang berkesan sekali, pagi itu adalah tanggal 17 agustus, ia mengantar kedua anaknya ke sekolah untuk mengikuti upacara peringatan kemerdekaan. Anaknya yang perempuan memakai kostum perawat, membawa tas dokter bergambar palang merah, sedangkan anaknya yang laki2 memakai kostum pejuang Indonesia, membawa bambu runcing dengan wajah yang bercoreng moreng. Ketika upacara berlangsung dan peserta upacara sedang dalam keadaan hormat pada sang saka merah putih, Wagina tiba2 menyeruak ke barisan dimana kedua anaknya berdiri dan serta merta memeluk keduanya, ia merasa bahagia sekali karena baru saja mendapat kabar kalau ia diterima kerja di Pekan baru, dan itu berarti ia tidak usah khawatir lagi tentang nasib anak2nya, lalu anaknya yang laki2 bertanya dengan polosnya, “ibu, apakah kita sudah merdeka?” sambil memandang ke arah bendera merah putih, Wagina menjawab dengan senyuman penuh makna, “iya nak, KITA SUDAH MERDEKA”.   
Sebuah ending yang simbolis sekali, yang menggambarkan betapa berharganya sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan dari keterkungkungan yang membelenggu. Dan film ini, seolah menggambarkan, bahwa seorang perempuan bernama Wagina telah berhasil meraih kemerdekaannya dengan diterimanya tuntutan cerainya dan diterimanya ia bekerja di pekan baru. Dengan demikian ia bebas menentukan jalan hidupnya dan bisa mandiri menghidupi anak2nya. Maka ia seolah sudah meraih kemerdekaanya sebagai seorang wanita, kemerdekaan hati yang telah ia nanti.
Dari kedua film tersebut, ada benang merah yang cukup menonjol, yaitu dunia perempuan dan sebuah pernikahan. Walaupun kedua film itu berbeda dari segi alur penceritaan juga inti dan pesan yang ingin disampaikan, tetapi tetap saja, dunia perempuan dan masalah pernikahan menjadi background yang melatarbelakangi kedua film tersebut.
Selalu menarik memang, membicarakan dunia perempuan dan permasalahan bias gender yang menghiasinya. Karena memang kultur budaya masyarakat kita, terutama kultur budaya jawa sangat kental sekali dengan budaya patriarki. Bukankah ibu Kartini yang mendapat gelar pahlawan gender juga berasal dari Jawa? Juga film yang pernah menuai controversial, “Perempuan Berkalung Sorban”, mengangkat tema cerita budaya patriarki dengan latar tempat pesantren di Jawa?
Baiklah, kita tidak akan membahas tentang permasalahan bias gender dan isu feminisme di sini,pertama karena saya bukan ahlinya, kedua, saya juga bukan termasuk aktifis gender yang selalu ingin menyamakan kedudukan wanita dan laki2 dalam proporsi yang sama, yang sebenarnya sudah sama itu. bukankah dalam Al-Quran sendiri dikatakan bahwa barang siapa yang berbuat baik/beramal sholeh, baik laki2 ataupun perempuan, maka Allah akan memberikan pahala pada keduanya. Maka, lewat catatan sederhana ini, saya hanya ingin berbagi tentang pelajaran apa yang bisa kita ambil dari film tersebut.
Untuk film yang pertama, Mahasmara,  tentu saja, pesan yang dapat kita ambil adalah bagaimana kita menyikapi Qadha dan Qadhar Allah Swt. Seringnya dalam masyarakat kita, kita selalu mengait2kan musibah atau bencana yang menimpa kita dengan sesuatu yang tidak masuk akal, seperti kalau kita menabrak kucing dan kucing itu meninggal, maka kita harus menguburkannya dengan salah satu pakaian kita, karena kalau tidak, maka kita akan tertimpa sial, atau juga ada pepatah yang mengatakan ‘jangan bepergian hari selasa dan sabtu, karena suka celaka’. Makanya ketika saya terkena musibah pada hari sabtu, bibi saya serta merta berkata, ”makanya jangan bepergian hari sabtu, gini neh akibatnya, waktu dulu juga mak Munah (uwaknya ibu) meninggal karena kecelakaan pas hari sabtu”.
Begitu pula dengan tema yang di angkat dalam film Mahasmara. Seorang perempuan berbahu lawean (lebar) di yakini sebagai pembawa sial karena selalu membawa petaka kematian calon suaminya. Tapi untungnya, ending film itu, justru melawan mitos tersebut, bahwa kematian, musibah dan bencana, tidak ada sangkut pautnya dengan apa pun, tidak dengan hari2 tertentu, tidak dengan hewan2 tertentu, dan tidak juga karena bentuk fisik seseorang. Semua itu terjadi benar2 atas izin Yang Maha Kuasa yang sudah dicatatnya dalam kitab Lauh Mahfudz. Bukankah selembar daun yang jatuh saja sudah ada catatannya disisiNya? Apalagi untuk hal2 yang besar seperti itu. Allah berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian, kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. (QS. AL-Hadid: 22)
   Sedangkan untuk film, “Wagina Bicara Lagi”, ada pesan yang indah disana, khususnya untuk para perempuan yang belum menikah dan akan menikah. Terlepas dari film tersebut memang sedikit mengangkat isu feminisme dan budaya patriarki.
Untuk perempuan yang belum menikah dan akan menikah, pesan yang bisa diambil adalah, hendaklah kita  sangat berhati2 dan teliti memilih jodoh atau calon suami, karena hal itu akan berdampak besar dalam kehidupan rumah tangga kita kelak. Bukankah Ada pepatah indah yang mengatakan bahwa “Bagaimana kita akan menghabiskan sisa hidup kita, tergantung dengan siapa orang yang mendampingi kita”.
Dalam hal ini, Nabi kita telah mewasiatkan sebuah wasiat yang berharga pada kita dalam memilih pasangan hidup, yaitu tidak hanya karena ia kaya raya berlimpah kemewahan, tidak juga karena ia tampan serupa artis yang rupawan, dan terakhir tidak juga karena ia termasuk keturunan raja2 penguasa, tetapi karena akhlak dan agamanya lah yang kita utamakan.
Dalam wasiat lain, Nabi menambahkan, “Nikahkanlah anak2 perempuan kalian dengan laki2 yang paling baik akhlak dan agamanya, karena jika ia menyukainya, ia akan memuliakannya, dan jika ia tidak menyukainya, ia akan menghormatinya dan tidak menyia2kannya”. Khusus dalam hal ini, dalam kitab Fikh Sunnahnya Said Sabiq, Imam Ghozali menjelaskan bahwa alasan kenapa seorang bapak harus berhati2 dalam menikahkan anak perempuannya, tidak lain karena seorang perempuan tidak memiliki hak dan kebebasan untuk menceraikan suaminya jika ternyata di kemudian hari sang suami tidak bertanggung jawab ataupun bertingkah buruk padanya.
Pendek kata, sedia payung sebelum hujan, karena jika sudah kehujanan, air yang basah tidak bisa diangkat lagi ke langit dalam waktu sekejap, kecuali harus menunggu matahari mengeringkannya. Dengan begitu mudah2an kisah yang dialami Wagina dalam film itu, tidak akan menimpa kita, amiin. Dan kita tidak perlu memperjuangkan kemerdekaan kita sebagai perempuan, karena kita memang sudah merdeka dengan cahaya islam yang dibawa Rosul akhir zaman.