Senin, 06 Juni 2011

SEBUAH PELAJARAN DARI PASAR MALAM

Dari kejauhan, lampu-lampu itu terlihat seperti kunang-kunang yang terbang bergerombol, berkedip-kedip menghiasi hampir seluruh lapangan bola yang berada tepat di depan masjid Baiturrahim kecamatan Sajira. Senja memang baru saja turun ke bumi, adzan magrib juga baru selesai dikumandangkan oleh sang muadzin dari speaker masjid. Tetapi, orang-orang yang berdatangan menuju pasar malam itu, jauh lebih banyak dari pada yang memasuki masjid untuk melaksakan sholat.  ironis memang, mengingat kampung Sajira ini hampir seluruh warganya beragama islam, tetapi itulah realita yang terjadi sekarang. Tapi, baiklah, kita berhusnudzon saja, mungkin orang-orang yang menuju pasar malam itu sudah lebih dahulu menunaikan shalatnya di rumah masing-masing.
Pasar malam ini memang baru saja dibuka, setelah tiga hari yang lalu para pekerjanya yang mayoritas berdarah jawa, sibuk memasang peralatan-peralatan, tiang-tiang penyangga, juga lampu-lampu sebabagai penerang sekaligus penghiasnya.
Pasar malam yang diadakan oleh Sido Makmur ini, mambuka lima wahana atau permainan, yaitu; komedi putar yang biasanya diminati oleh anak-anak berusia sekitar tiga sampai tujuh tahun, kincir angin atau yang bernama populer bianglala. Ombak banyu, kereta-kerataan, dan sirkus motor cross yang berjalan di atas seutas tali sambil mengelilingi papan yang membatasinya.
 Satu lembar tiket untuk setiap wahana tersebut berharga empar ribu rupiah per orang. Lumayan ekonomis dan terjangkau oleh kocek masyarakat sekitar.walaupun ada beberapa orang tua yang mengeluh karena semua anaknya yang meminta untuk naik semua permainan yang ada di pasar malam itu. Tapi tentunya hal itu tidak terlalu menjadi ganjalan demi menyenangkan anak-anak tercinta,dan melihat tawa bahagia mereka keeeetika menaiki wahana.
Beranjak dari antusiasme masyarakat sekitar menyambut pasar malam itu, tidak ada salahnya jika kita “menengok”para pekerja yang menjalankan wahana-wahana tersebut.
Malam itu adalah malam minggu, dan tentu saja yang lebih banyak datang ke sana adalah para muda-mudi yang masih belia. Wahana faforit para remaja itu adalah ombak banyu yang diputar oleh tiga pekerja lelaki yang juga masih muda dengan cara memutarkannya layaknya ombak.
Setelah semua tempat duduk terisi penuh, seorang laki-laki berperawakan sedang  berbadan tegap dan atletis, mulai memutarkan ombak banyu itu, dibantu dengan dua temannya yang terlihat lebih muda darinya. Musik rapp dinyalakan, putaran ombak banyu itu semakin cepat, meliuk-meliuk seperti ombak, para  penumpang perempuan  mulai menjerit histeris, takut bercampur senang ketika jantung   mereka seperti diajak naik turun. Sedangkan para penumpang laki-laki, bahkan tertawa-tawa riang tanpa sedikitpun berpegangan.
 Pemuda berdada bidang yang memakai kaos putih itu mulai memperlihatkan aksinya. Ia  tiba-tiba melompat memegang salah satu tiang yang menggantung bangku kayu itu, dan dengan posisi kepala di bawah, ia menaikkan kakinya ke atas sambil menggerak-gerakkannya mengikuti alunan musik rapp yang menghentak-hentak. Beberapa  penumpang  sontak menjerit kaget dan histeris karena ngeri melihatnya, tapi ia sendiri malah tersenyum-senyum senang dengan mulut yang bergerak-gerak menyanyikan lagu rapp itu.
Beberapa detik kemudian, ia turun dan berdiri di tengah-tengah, dengan kedua kakinya yang masih dihentak-hentakkan mengikuti musik. Ia kemudian menenggak botol aqua yang berisi air yang ada di sampingnya, dan mengelap keringat yang bercucuran di pelipisnya dengan tangan kanannya. Setelah itu ia meminta para muda-mudi yang naik ombak banyu itu untuk berteriak senang, melepaskan semua beban yang terpendam.

Malam semakin larut, pera pengnujungpun satu demi satu mulai meninggalkan pasar malam tersebut dan pulang ke rumahnya masing-masing. Dan pemuda itupun juga mulai terlihat kelelahan karena harus memutar ombak banyu dengan kedua tangganya. Tetapi matanya yang terus berbinar dan senyumnya  yang terus mengembang, mengisyaratkan bahwa ia tidak mengeluh sedikitpun, tetapi sebaliknya ia malah sangat mencintai pekerjaannya itu, walupun mungkin di mata sebagian besar orang, profesinya sebagai pemutar wahana ombak banyu, tidak memiliki prestise apa-apa, apalagi mengahasilkan uang yang banyak untuk menebalkan dompetnya.
Tetapi, ia tetap menghayati profesinya itu,dan bekerja dengan hati yang terbuka, menghibur setiap orang dengan aksi sirkusnya dan membuat mereka senang hingga tersenyum dan tertawa bahagia.
Sudahkah kita mencintai pekerjaan kita seperti halnya pemuda itu???


                                                                                   
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar