Senin, 01 Februari 2016

Munggahan Menggapai Curug Kumpay



Dalam bahasa sunda,munggah bermakna naik, itu sebabnya masyarakat sunda menyebut naik haji dengan munggah haji. Bagaimana dengan munggahan?Tidak jauh berbeda, munggahan juga bisa diartikan sebagai naik, tetapi masyarakat sunda menggunakan kata munggahan untuk sebuah tradisi menyambut bulan Ramadhan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti ngaliwet atau bacakan, ziarah  juga adus atau mandi di sungai. Dan tradisi ini, dilakukan sehari sebelum bulan Ramadhan. 

Tahun ini, aku memutuskan untuk merayakan munggahan dengan  murid-muridku di kampung mereka di  kumpay. Kami berencana mengunjungi curugnya yang terkenal itu. 

Pukul 10 pagi kami berangkat dari rumah dengan berkendara  motor. Aku di bonceng sudirman, sedangkan oji membonceng cici. Dari Sajira, kami hanya berempat, karna Utas, tidak jelas kabarnya. Tapi Kami berangkat kesana dengan dipandu unang dan ajiji yang orang sana. 

Pukul 11 kurang, kami sampai di pasar ciminyak kecamatan muncang, dan berhenti dulu untuk membeli ikan dan keperluan lainnya. 

Pukul 11 lewat, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung kumpay. Sebenarnya, Kumpay sendiri masih termasuk dalam kecamatan Sajira, tetapi jalan yang kami lalui adalah jalan raya Muncang-Sobang karena kumpay memang berbatasan langsung dengan kecamatan muncang. 

Dari pasar ciminyak, kami melewati beberapa kampung yang termasuk ke kecamatan muncang, seperti kampung Guha yang terkenal dengan tanjakan mautnya karena sering terjadi kecelakaaan, baru beberapa bulan kebelakang, aku  melewati jalan yang sama untuk menengok salah satu  muridku di Sobang yang menjadi salah satu korban tergulingnya Mobil PS yang ditumpanginya di tanjakan tersebut. Beruntung tak ada korbang jiwa, walaupun selama beberapa pekan, Mobil yang juga hampir terbakar itu nangkring tidak berdaya di tanjakan tersebut. 

Tidak lama dari tanjakan maut gunung Cupu, kami belok ke Kiri memasuki jalan beraspaltipis yang lebih kecil. Rumah-rumah semakin jarang, dan hanya pepohonan yang berbaris bisu di kanan Kiri jalan. 

Lalu sampailah kami di turunan berbatu yang curam. Turunan kumpay yang terkenal karna kecuramannya. Turunan atau tanjakan Jatake namanya. Namun dari kejauhan, terhampar perbukitan yang hijau dan pesawahan yang mulai dibajak dan  ditanami. 

Karena ngeri, aku menutup mata saat motor mulai menuruni turunan berbatu itu. Untungnya, Nde sapaan akrab sudirman, adalah orang yang sudah teruji dalam hal mengendarai motor. Saat aku meminta turun saja, saking ngerinya melihat sisi kanan jurang, dia melarangku untuk turun dan memintaku untuk bersikap tenang.
Setelah  sport jantung menuruni turunan berbatu itu, kami sampai di bawah dengan perasaan lega. Tapi ternyata, tujuan kami belum sampai setengahnya.

Kami memasuki perkampungan yang berada di lembah dengan rumah-rumah berdekatan, kemudian kami melewati jembatan dengan sungai kecil yang jernih di bawahnya. Lalu kami keluar dari perkampungan penduduk dan melewati lereng gunung dengan sungai kecil mengalir di samping kanan kami. Beberapa kilometer di depan, barulah kami memasuki perkampungan kembali, kampung yang lebih besar dengan sungai melingkar di pinggangnya, menjadi pembatas alami dengan kampung di sebrang yang masuk kecamatan muncang. Dari atas motor aku melihat sebuah jembatan bambu beratap rumbia yang disanggah hanya dengan pohon kelapa, jembatan itulah yang menghubungkan antara kampung kumpay besar dengan kampung di sebrang. 

Pukul 12, alhamdulillah kami sampai di tempat tujuan dengan selamat, yaitu rumahnya Unang yang berada di kaki bukit. kampung ini berada di lembah dan rumah-rumah dibangun di kaki perbukitan, hampir sebagian besar rumah berbentuk panggung dengan dinding bilik bambu dan lantai kayu. 

Kami langsung disambut oleh ibunya Unang juga keluarganya Udi karena rumah mereka berdekatan, dan mereka masih saudara atau keluarga besar. 

Karna tanggung dhuhur, kami tidak langsung berangkat menuju curug, jadi kami beristirahat dulu, melepas lelah sambil ngobrol ngalor ngidul di rumah Unang. 

Baru sekitar pukul setengah dua, kami berangkat dengan membawa liwet dan ikan yang ternyata sudah matang karena dimasakin oleh tetehnya Udi. 

Dari rumah Unang dan Udi, kami berjalan nanjak ke utara, melewati rumah-rumah warga sampai akhirnya kami tiba di ujung kampung, dan berjalan naiklagi hingga area pesawahan yang baru selesai dibajak. Aku memperhatikan sekeliling, dan sejauh mata memandang, sawah-sawah terhampar luas dikelilingi oleh gunung yang hijau. 

Setelah Melewati pematang-pematang sawah, kami harus mendaki bukit yang dipenuhi oleh pepohonan karet juga salak, kami beristirahat sebentar dan mengambil beberapa salak, entah punya siapa.
Keluar dari jalan bukit itu, di depan kami terhampar pesawahan kembali, bertingkat-tingkat, melukis panorama yang indah. Kami melewati pematang lagi, sampai kami tiba di sisi irigasi kecil dan berjalan terus lurus mengikuti irigasi tersebut. 

Pesawahan mulai tertinggal di belakang, pepohonan besar mulai nampak dari jarak dekat, sesampainya kami di girang atau irigasi yang besar, kami beristirahat dahulu sambil menunggu Udi yang masih menyusul di belakang. 

Sungai kecil dengan batu-batu mengalir di bawah tanggul irigasi itu, pohon-pohon besar memagarinya, kami benar-benar sudah mulai memasuki hutan yang lebat. 

Tidak lama Udi terlihat dari kejauhan, dan kamipun mulai melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Dari kejauhan terlihat asap yang membumbung hitam, lalu tak lama ada orang yang memanggil-manggil kami. Aku agak kaget, karena sedari tadi tidak ada orang yang lewat. Dan  ternyata mereka masih kerabatnya Udi yang sedang membuat biji cengkaleng dari getah aren. Sebagian masyarakat kumpay memang ada yang memproduksi  biji cengkaleng untuk dijual ke pasaran. 

Kami mendaki bukit lagi, dan Kali ini trek yang ditempuh lebih sulit, karna jalan yang dilalui bukan jalan setapak yang setiap hari dilalui orang. Semak-semak dan belukar yang tinggi terkadang menghalangi langkah kaki kami. Aku mulai terengah, begitu pula dengan Cici, tapi ciri-ciri kami akan sampai rasanya belum terlihat. 

Namun, di saat kakiku mulai menyerah untuk berjalan, dari Balik semak, suara gemuruh itu terdengar, gemuruh air yang turun menghempas permukaan cadas di bawahnya. Dari jarak dua Kali sepelemparan batu, aku melihat dengan megahnya, menjuntai putih, bak selendang sutra raksasa, curug kumpay yang mashur itu dengan ketinggian dua puluh meter lebih. Aku tak henti merapal tasbih, memuji keindahan ciptaanNya ini, lelah yang tadi singgah, seketika lenyap. 

Aku langsung berlaridan menari di bawah juntaian putihselendangnya, dingin benang airnya memercik di wajah, kaki, dan pori. Curug kumpay, akhirnya aku bisa menggapai, selendangmu yang menjuntai. 

Setelah asik berselvi ria, daun pisang pun digelar di atas batu cadas yang menghampar tidak jauh dari curug, nasi liwet dihamparkan di atasnya, ikan mas goreng di sebar di atas nasi yg mengepul, kemudian sambal honje ditaburkan, menyusul lalapan yang nampak Segar, nasi liwet dengan sambal honje pun siap menjadi santapan. 

Kami makan dimusiki oleh suara air yang jatuh menghempas cadas, suara burung terdengar sesekali dari pepohonan di atas sana dan angin yang sejuk membelai tubuh kami, saat makan, semuanya terdiam, khusyu melahap nasi liwet, suasana jadi begitu sunyi, ini sungguh tempat yang benar-benar membuat perasaan dan hati menjadi tenang dan damai. 

Selesai makan, kami membereskan sampah daun pisang dan membuangnya ke semak-semak. Pada saat itu Udi bercerita padaku bahwa, tempat ini selalu bersih, bebas dari sampah, walaupun hampir setiap minggu atau setiap hari jika musim liburan sekolah orang-orang berdatangan dan menunda sampah di sana. Tetapi, anehnya sampah-sampah itu seperti ada yang selalu membersihkan dan tidak meninggalkan jejak. Mataku berkeliling memperhatikan sekitar, dan Udi benar, tidak ada satupun sampah plastik atau kaleng belas minuman yang tercecer  disana. Aku jadi sedikit merinding mendengar nya.  itu sebabnya, tadi Udi tidak bareng kami berangkatnya dan menyusul di belakang, karna kata dia, dia habis meminta ‘sesuatu’ dulu ke saudaranya, semacam wafak atau tolak bala agar kami selamat. Makanya, tadi pas baru sampai, Udi terlihat komat-kamit membaca sesuatu baru mempersilahkan kami untuk foto-foto. 

Selain itu, Udi juga memperlihatkan atau menunjukkan kepada kami bahwa di atas cadas sana, disamping air terjun, terlihat cadas yang membentuk seperti seraut wajah. Kami mendongakkan kepala, dan benar, jika kita jeli memperhatikan, mata kita akan menangkap seraut wajah terpahat di atas cadas sana. 

Sehabis makan dan ngopi, kami berfoto bersama dengan background curug kumpay. Setelah puas bergaya dan berfoto ria, kami pun beranjak pulang, karna hari mulai sore. Jika tadi, kami kelelahan karna mendaki, maka saat pulang kami justru  lebih lelah, karna harus ekstra hati-hati saat menuruni gunung dan bukit. Karna seperti kata iklan susu untuk tulang di tv, saat kita menuruni tangga atau apa saja, kaki lebih berat menahan beban tubuh kita dibandingkan dengan saat kita naik. 

Kami sampai di rumah Unang saat matahari mulai condong, dan adzan ashar sudah lama lewat. Karna masih bersisa waktu, Udi mengajak kami ke sungai girang, karna kata dia, pemandangan di sana sangat sayang jika dilewatkan. 

Kamipun berjalan kembali melewati rumah-rumah penduduk, melalui jalan sisi sungai. Di sana, nampak anak-anak yang sedang mandi dan ibu-ibu yang sedang mencuci. Di sebrang sungai, terlihat para pemuda kampung sedang bermain volley di lapangan pinggir sungai yang dipagari jaring setinggi tiga kaki. 

Kami terus berjalan ke arah girang, dan ketika rumah-rumah penduduk sudah jauh, diganti dengan pepohonan dan gunung di sebrang sungai, kami berhenti di sana. Sungai yang mengalir dengan tenang itu tidaklah selebar Ciberang, hanya sepelemparan batu. Tapi airnya sungguh lebih jernih karna batu-batu besar masih setia menjadi penyaring dan menghiasi badan sungai. Masih kata Udi, Guide kami hari itu, warga kampung tidak ada yang berani mengambil batu-batu kali itu kecuali untuk dipakai seperlunya, seperti untuk membangun rumah, begitu pula dengan pasirnya, sepanjang jalan tadi, kami tidak melihat ada orang yang menambang pasir di sepanjang sisi sungai. 

Aku jadi teringat pada Ciberang, Ciberang yang malang, batu-batu dan pasirnya dijadikan orang sebagai lahan bisnis, ikan-ikan kecilnya ditua, bahkan cadas-cadas berharga yang terdapat tapak kaki bayi dan kaki kuda terpeleset digali dan  dihancurkan oleh tetua kampung sendiri hanya karna percaya pada wangsit bahwa di bawah cadas tersebut tersimpan harta karun yang tidak terkira. 

Ah, Ciberangku yang malang, entah anak cucuku nanti masih bisa menikmati mandi dan bermain di riakmu yang herangataukah tinggal kenangan. 

Saat matahari telah hampir tergelincir di ufuk barat, kami pulang setelah menghabiskan beberapa butir kelapa muda yang diambil Udi dari kebunnya. 

Senja mulai turun, kami berpamitan kepada keluarga Unang dan Udi. Dari kejauhan, masjid-masjid mulai semarak dengan solawatan yang didendangkan anak-anak, Ramadhanpunmulai menjejak di bumi.



 selvi ngos-ngosan abis nanjak

 melewati pesawahan 


 lelah itu terbayar sudah, saat melihat curug Kumpay yang menjuntai


 (dari Kiri; Nde, cici, Oji n me)

 (dari Kiri; Nde, cici, Oji, Udi  n' me)
 Udi Guide kami hari itu sedang menuangkan sambal honje di atas nasi liwet


 Curug Kumpay yang menawan


menikmati nasi liwet dimusiki dengan gemericik suara air 


 
 it's time to leave


  
 menjelang sore, perbukitan menjelma lembur singkur nan asri


 
 menikmati dawegan di pinggir sungai