Kamis, 27 Oktober 2011

Anak-anak itu...
selalu saja punya berjuta hal
yang mengejutkanmu
membuat sel otakmu loading lebih lama
dan bertanya dalam hati, " kok bisa ya otak kecilnya berfikir sampe sana???"

Saya sangat suka anak-anak, terlebih dunia mereka yang bagi saya selalu penuh warna, tidak melulu hitam atau merah, tidak juga terjebak pada hijau ataupun kuning, apalagi abu-abu, namun lebih dari itu,  bagi saya dunia mereka seperti sebuah planet bergravitasi maha tinggi yang selalu ingin menarik saya untuk sejenak  terjun bebas menyelami setiap jengkal dindingnya yang tak jarang memunculkan warna-warna yang langka bahkan yang tidak pernah saya bayangkan dalam benak sempit saya. 

seperti di sebuah malam yang hangat, di ruang tengah rumah kami, sambil mengeliilingi "anggota keluarga" kami yang baru (my new little brother) juga sambil memandangi Opa yang sudah terlelap tidur sampai ngiler di lantai, emak saya bercerita tentang adik kedua saya itu. Jadi adi siang, sepulang sekolah seperti biasanya dia membawa teman-temannya untuk bermain ke rumah. tapi kali ini yang ia bawa adalah teman-teman perempuannya, katanya seh mereka pada mau melihat adik baru kami "Najmi" yang baru melihat dunia dua mingguan itu. selesai memperlihatkan adik barunya yang masih merah, Opa mengajak teman-temannya untuk bermain di teras rumah, entah bermain apa, yang jelas di sela-sela mereka bermain, Emak mendengar sebuah percakapan mereka yang sungguh-sungguh unforgottable banget. terutama bagi saya. 

Opa    : Iin, cita-citana naon lamun tos gede (cita-citanya apa kalau sudah besar?
Iin      : kami mah ndek jadi suster (saya mah mau jadi suster)
Opa    : (dengan wajah tidak mau kalah langsung menyela) ih...ja kami geh ndek jadi dokter (saya juga mau jadi dokter)
Iin      : jadi dokter mah kudu boga duit loba cik bapak kami geh (jadi dokter kan harus punya uang banyak kata bapak saya juga)
Opa yang memang keras kepala, tetap tidak mau kalah, ia menjawab seperti ini,
" IH...JA KAMI GEH LOBA DUIT MAH, TAPI SEEP KU ETEH KAMI" 
(Saya juga banyak uang mah, tapi udah  abis oleh kakak saya)
GUBRAK...!!!

Dalam hati saya langsung teriak tidak terima! dan diam-diam saya berniat kalau nanti dia bangun tidur saya ingin mendemonya terang-terangan, seperti halnya para mahasiswa yang mendemo kebijakan-kebijakan pemerintah. he...he..., eh tapi tunggu dulu, Opa tidak menyebutkan nama yang jelas di sana, apakah eteh eka ataukah eteh dede yang dia maksud. tapi bisa juga kata ETEH disana berarti dua-duanya. ha...perul analisis lebih jauh kayaknya.

saya kemudian bertanya pada Emak, apakah memang Emak pernah dengan tidak sengaja mengatakan hal serupa padanya? bukan apa-apa, benak saya masih belum bisa menerima kalau adik laki-laki saya yang hobinya nonton film kartun itu bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. bukankah ttidak dipungkiri jika lingkungan juga orang-orang yang dekat dengannya memiliki pengaruh yang besar dalam proses penyerapan informasi yang diterimanya? namun jawab Emak seingat emak tidak pernah. tidak lama, bapak berkata  dengan bijak " mungkin selama ini, setiap kita menengok Dede (adik saya yang pertama) di pondok, Opa diam-diam selalu memperhatikan Emak yang selalu meberi uang pada eteh dedenya itu. ya...walaupun ia tidak pernah tahu berapa jumlah uang yang diberikan pada etehnya itu. " saya dan Emakpun mengamini apa yang bapak katakan. ya, bisa jadi seperti itu, berarti kalau demikian, yang dimaksud Opa itu adalah eteh Dede, bukan saya, "hore..." teriak saya dalam hati. 

Dan malam yang hangat itu, saya memandangi wajah polosnya yang penuh keluguan terlelap di atas lantai, Opa memang tidak suka tidur di atas kasur, ia akan nangis kalau Bapak atau Emak memindahkannya dari lantai yang dingin ke atas kasur atau karpet. ada rasa takjub yang tiba-tiba menjalari hati. betapa otak kepala kecilnya menyimpan berjuta, bahkan bermilyar atau bertrulyun keajaiban yang tidak pernah kita sangka.

Minggu, 23 Oktober 2011

Doa vs Karma

Percayakah anda pada apa yang disebut "karma"?
jadi begini, 

Sore kemarin, saat langit mulai gelap dan awan siap menumpahkan beribu liter air ke tanah kami, saya baru saja pulang dari pasar sehabis "ngantor" (he...), tiba di rumah saya langsung mencari-cari sosok bayi mungil "bintang baru" di keluarga kami. tapi saya tidak mendapati wujudnya yang biasanya selalu terbaring di kasur lipat kecilnya sambil menggerak-gerakkan bola matanya yang agak sipit dan jernih. dan ternyata ia sedang di gendong oleh tetangga kami di luar rumah. 

Tidak lama, tetangga kami itu masuk ke rumah dengan menggendong adik bayi saya, kemudian sambil menidurkan adik saya, ia bercerita kalau anak saudara saya yang rumahnya hanya terhalang satu rumah dari rumah saya itu menjadi korban bullying teman-teman sepermainannya di lapangan sebelum ashar tadi. perutnya ditonjoki,  lehernya dicekik, dan ia tidak bisa berontak apalagi melawan, karena kedua tangannya di pegangi oleh temannya yang lain. saya kaget sekali mendengarnya, dan tentu saja sangat ngeri. terlebih anak itu adalah salah satu murid ngaji saya yang selalu bersemangat. maka saya langsung mendatangi rumahnya untuk menengoknya. dan...ketika sampai di rumahnya yang beridinding bambu itu, saya mendapati tubuh kecilnya itu sudah berwarna putih karena dibaluri "cikur" oleh neneknya, kedua tangannya menutupi wajahnya, terdengar isak tangis dari mulutnya, ah...saya benar-benar miris melihatnya. sayapun mencoba mengekalakarinya "pan lalaki eleh? kunaen teu dibaleus deui? he...he...he..." (laki-laki kok kalah? kenapa gak dibales lagi?) tapi ia tidak menanggapi kelakar saya, ia terus saja terisak, mungkin menahan sakit di sekujur tubuhnya dan saya harap tidak lebih dari itu. sayapun keluar dan ternyata ibunya sudah berdiri di luar kamar, iapun menceritakan apa yang menimpa anaknya itu. dan ternyata, ia dikeroyok hanya karena gara-gara ia tidak mau bermain bola lagi. kemudian ibunyapun bercerita bahwa ia menyuruh suamninya untuk mendatangi orang tua-orang tua dari anak-anak yang telah melakukan bullying itu. dan respon para orang tua itu ada yang bersimpati, kemudian langsung menengok murid saya itu ke rumahnya, untuk memintakan maaf ,tapi ada juga yang malah mengomel dan berkata tidak seharusnya orang tua dibawa-bawa dalam masalah perkelahian anak-anak ini. dan saya langsung mengernyitkan dahi ketika mendengarnya dan berkata dalam hati "nggak salah tuh? hmmm...kalau saya yang jadi orang tua anak-anak yang melakukan bullying itu, tak jitak satu-satu mereka, he...(calon ibu yg galak)"

Dan saat hujan kemudian turun dengan derasnya, benak saya masih berputar-putar memikirkan keadaan murid saya itu, juga respon dari salah satu orang tua anak yang sudah membabakbelurinya itu yang malah bersikap seolah-olah anaknya tidak bersalah dan tidak melakukan apa-apa, atau memaklumi bahwa kejadian ini adalah memang dunianya anak-anak. saya terenyuh mendapati kenyataan itu, walaupun saya tidak memungkiri, setiap orang tua memiliki prinsipnya masing-masing dalam mendidik anaknya. namun  benak saya mencoba berandai-andai, bagaimana jika anak yang menjadi korban bullying itu bukan murid ngaji saya yang memang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja itu, tetapi dari keluarga besar yang sangat disegani dan dihormati di kampung ini, adakah sikap orang tua anak tersebut masih sama? sepertinya tidak ,bahkan mungkin saja mereka akan langsung memohon-mohon untuk meminta maaf. ah...kenapa saya jadi bersuudzon seperti ini?? astagfirullah...maafkan aku ya Robb. 

dan pagi tadi, saat matahari baru saja menghangatkan bumi, nenek murid ngaji saya itu datang ke rumah untuk mengantarkan "gogodogan" atau ramuan seperti jamu yang dibuatnya untuk ibu saya yang baru saja melahirkan. ia kemudian menceritakan bahwa tadi malam ia seperti baru mendapatkan sebuah ilham bahwa apa yang menimpa cucunya itu merupakan sebuah karma atas apa yang pernah diperbuat oleh ayah anak itu (menantunya) sewaktu masih muda. ia menambahkan bukankah dulu, ketika ayah anak itu masih muda atau remaja, ia pernah menjadi pemuda yang masyhur karena sering mengeroyoki anak orang?? di seantreo kampung ini? dan tidak heran jika saat ini "karma" itu menimpa anak lekaki keduanya. mungkin saja dulu ada orang tua yang merasa tersakiti karena anaknya menjadi korban sikap jawara sang ayah?  dan saat inilah doa itu terkabulkan, tambahnya. sang nenek kembali melanjutkan ceritanya, ia mencoba menasihati menantunya (ayah anak itu) mudah-mudahhan  dengan "karma" ini Allah yang Maha Pengampuni akan menghapus kesalahan-kesalahannya sewaktu muda dulu selagi ia masih di dunia.

saya yang mendengar "breaking news" pagi dari sang nenek itu jadi bertanya-tanya dalam hati, benarkah apa yang menimpa murid saya itu adalah "karma" atas perbuatan ayahnya dulu? kalau memang benar, kasihan sekali ia kalau begitu, ia yang mungkin saja tidak bersalah harus menjadi "tumbal" dari karma sang ayah" 

ah, saya lebih memilih tidak befikir terlalu jauh tentang itu. namun entah kenapa benak saya menyetujui bahwa "karma" merupakan buah dari doa-doa orang lain yang mungkin saja pernah tersakiti oleh sikap, perbuatan, dan perkataan kita di masa lalu, baik yang disengaja ataupun yang tidak. Makanya, kenapa setiap selesai sholat, kita dianjurkan membaca istigfar dan memohon ampun atas kesalahan-kesalahan kita pada Allah.

Sabtu, 22 Oktober 2011

"Oo...
jadi...
karena itu,
tidak ada lagi kabar darimu?
hmm...
sudahlah,
ini semua juga karena salahku

salahku?
benarkah?
bukankah kau yang memulai semua ini lebih dahulu?
maaf,
bukan aku menyalahkanmu,
aku hanya..."

dan... setitik air mata jatuh dipipinya yang merah.
"Tuhan, adakah yang lebih indah dari kehendakMu? dari rencanaMu?" bisiknya dalam hati dengan sangat pelan. dan... setitik lagi buliran bening itu jatuh dari kelopak matanya.

Saat "Undangan" itu Datang...

Saya selalu merasa resah setiap kali mendapat undangan. undangan apapun. undangan kumpul bareng alumni, undangan rapat di organisasi, undangan bacakan, terlebih undangan pernikahan dari sahabat ataupun teman. (saya kapan nyebar?) he....
Resah, karena takut pada hari H saya tidak bisa datang mengahadiri undangan tersebut. karena bagi saya, sebuah undangan adalah seperti halnya sebuah panggilan yang jika kita tidak berudzur apapun, kita wajib untuk memenuhi panggilan atau undangan itu. Makanya, kenapa saya selalu sedikit menyesalkan, jika seorang teman mengundang ke acara walimatul 'ursynya pada hari-hari kerja atau bukan pada akhir minggu, ditambah dengan lokasi yang sangat jauh dan sulit dijangkau. karena hampir 80% saya tidak akan bisa datang menghadiri undangan tersebut. dan akhirnya, saya akan merasa sangat bersalah karena tidak bisa memenuhi undangan tersebut. apalagi jika yang mengundang  itu adalah sahabat dekat yang telah mengundang secara langsung tanpa perantara. 

Dan, 3 hari yang lalu, saya dan  keluarga (bapak, ibu, adik pertama saya) mendapat undangan dari KPU, anda tentu tahu undangan macam apa yang berasal dari KPU itu, bukan? yupz, sebuah undangan untuk memilih Pemimpin baru di Provinsi tercinta ini.  saya kembali merasa resah, ketika mendapatkan undangan itu, bahkan dari jauh-jauh hari sebelum undangan tersebut benar2 datang atas nama saya. saya resah, bukan karena saya takut tidak bisa datang memenuhi undangan tersebut, toh jarak rumah saya ke tempat pemilihan suara PilGub itu hanya memakan waktu tidak lebih dari 10 menit. saya resah, justru karena saya mendapatkan undangan tersebut. andai boleh memilih, saya lebih baik tidak mendapatkan undangan tersebut, atau kalaupun saya tetap harus mendapatkannya, saya berudzur untuk datang seperti halnya adik saya yang saat ini tinggal di pondok. pertanyaannya, kenapa saya resah??? hei...bukankah ini bukan kali pertama saya mendapatkan undangan khusus tersebut?

Dan jawabnya, karena saya masih belum tahu saya harus memilih siapa di TPS nanti, dari ke3 calon yang bannernya sudah terpampang entah dari bulan apa itu, saya masih belum yakin siapakah nanti yang akan memimpin Banten dengan amanah. selain itu, dari ke3 pasangan calon tersebut, ada satu calon, yang benar2 sudah saya black list dari daftar Pemimpin yang amanah, karena kinerjanya yang menurut pengamatan saya tidak bagus selama 2 periode ia memimpinpun.

Maka, saya resah, karena diam-diam...saya juga sudah merasa muak pada pesta demokrasi ini. berapa milyar uang negara yang dihabiskan untuk membiayai pemilihan langsung para calon pemimpin ini? jawabnya tidak terhingga. dan uang rakyat yang habis tidak terhingga itu,  terasa sangat sia-sia, karena para pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi ini  banyak yang  kemudian "amnesia" terhadap janji-janji yang mereka koar-koarkan ketika masa kampanye. dan akhirnya, bukan kesejahteraan rakyat yang dicapai, tapi kesejahteraan pribadi dan golongan.

Kembali ke undangan untuk memilih calGub yang jatuh tepat pada hari ini, di satu sisi, saya tidak mungkin mengarang2 udzur untuk tidak memenuhi undangan itu, sebenarnya saya bisa saja dengan sengaja tidak datang ke TPS untuk nyoblos, tapi seperti yang saya katakan tadi, saya selalu merasa tidak enak pada diri sendiri jika tanpa halangan apapun saya tidak memenuhi sebuah undangan. saya kemudian berencana , apa saya tetap datang saja ke TPS? namun tidak untuk memberikan suara, melainkan hanya untuk setor muka memenuhi undangan? ha...konyol sekali bukan?, lagipula saya kemudian berfikir jika saya tidak memberikan suara sama sekali, kemudian naudzubillah calon yang saya anggap tidak pantas memimpin lagi itu terpilih kembali, tidakkah saya sama saja dengan memberi kesempatan atau peluang satu suara atas kemenangannya? dan, akhirnya...resah itu lebur juga, dengan mantap saya berjalan menuju TPS bukan hanya sekedar untuk memenuhi undangan KPU, namun lebih dari itu, untuk memberikan satu suara saya, yang mudah-mudahan berkontribusi untuk perubahan Banten ke arah yang lebih baik. amiin.




Minggu, 16 Oktober 2011

APALAH ARTI SEBUAH NAMA???

"

What's in a name
That which we call a rose by any other word would smell as sweet.
-Shakespeare's Romeo and Juliet (II, ii, 1-2)

"Apalah arti sebuah nama?
karna mawarpun akan tetap wangi walaupun kita menamakannya bukan dg mawar" begitulah kira-kira terjemahan bebas dari quote'nya William Shakespeare di karya termasyhurnya Romeo and Juliet.

Di suatu pagi yang cerah, awal tahun ajaran baru, saya menatap wajah-wajah yang penuh semangat itu sambil tersenyum, bersiap mengabsen nama-nama yang tertera di daftar hadir. sayapun mulai menyebutkan nama mereka satu persatu, berusaha mengingat nama dan wajah yang saya sebutkan, sambil terus menebar senyum. (he....untung udah sikat gigi). kemudian, tiba pada deretan abjad "M" saya membaca nama yang cukup aneh dan lucu itu di absen. "Menon Samanah" spontan saya ingin tertawa, namun sekuat tenaga saya tahan. sekali lagi saya membacanya dengan keras, dan beberapa menit kemudian di antara riuh olok-olok anak-anak yang lain, sebuah suara terdengar dengan intonasi yang sangat malu-malu "Hadhiroh!", saya menoleh ke barisan siswa perempuan, mencari asal suara tersebut, dan di bangku kedua dari belakang yang menyender ke tembok, seorang murid perempuan dengan air muka seperti menahan malu mengacungkan tangannya dengan kepercayaan diri yang seperti merosot 60 derajat. sekilas, saya melihat pipinya yang putih bersih nampak sedikit merona menahan malu. dalam hati saya berkata "di era Digital seperti ini, ternyata masih ada orang tua yang memberi nama anaknya seperti itu" dan tiba-tiba saja terbersit rasa kasihan dalam hati saya pada anak itu, kasihan, karena ia terlihat begitu tidak percaya diri dengan nama yang tersemat pada dirinya. namun saya juga tidak bisa menahan diri untuk tersenyum bahkan tertawa setiap saya mengingat nama yang out of date itu, he..., 

sepuang sekolah, saya menceritakan tentang nama anak perempuan itu pada ibu saya, dan respon pertama ibu saya ketika mendengar nama tersebut juga sama dengan saya, 'tersenyum' namun kemudian, ia berkata bijak "mungkin saja orang tuanya itu berharap anaknya itu akan tumbuh menjadi seorang gadis atau perempuan yang menor atau berparas putih dan cantik. karena bisa jadi  "Menon" itu bisa berarti 'menor" atau "putih" atau " cantik"?" dan saya mengiyakan, setuju. bukankah sejatinya, tidak ada orang tua yang mengharapkan keburukan terjadi pada anak-anaknya, maka doa-doa dan pengharapan-pengharapan itu tertuang dalam nama-nama yang mereka sematkan pada buah hati mereka. walaupun pada beberapa kasus, seperti halnya murid saya itu, nama yang diberikan orang tuanya tersebut mengundang senyum, tawa, bahkan olok-olok dari orang-orang yang pertama kali mendengarnya. namun, seperti kata Shakespeare "apalah arti sebuah nama?" 

tapi sayangnya, walaupun apa yang digaungkan oleh Shakespeare itu, benar adanya, tentang apalah arti sebuah nama? karna sebagus dan seindah apapun sebuah nama yang di berikan orang tua kepada anaknya, tidak akan berarti apa-apa jika di kemudian hari, anak tersebut berprilaku atau bertingkah tidak sesuai dengan nama yang terstempel pada dirinya. 

saya jadi teringat, pada perbincangan saya dengan adik saya di suatu malam, di depan kamar mandi di sebuah Rumah sakit umum, di daerah kami. saat itu memang malam kedua kami menunggui ibu kami di rumah sakit pasca melahirkan adik kami yang terakhir. maka, hal yang kami perbincangkan adalah juga tentang nama apa yang akan kami berikan pada adik bungsu kami itu. malam sebelumnya, bapak mengusulkan nama "Bahrul ulum" pada saya. spontan saya berkata tidak. bukan karena saya tidak  menyukai  makna agung yang terkandung di balik nama itu. tapi, jujur saja, bagi saya nama tersebut sangat 'pasaran' sekali. he..., dan malam itu, saya menceritakan usulan bapak tersebut kepada adik saya yang pertama, bagaimana respon dia? bahkan melebihi saya, ia langsung berteriak "TIDAAK" untuk nama yang indah itu. dan apa alasannya? dia menjawab bahwa dia punya teman yang bernama "Bahrul Ulum" namun, nakalnya tidak tertandingi, bahkan akhirnya, dengan sangat terpaksa ia dikeluarkan dari almamaternya karena sering kabur dan merokok. walaupun sebenarnya, ia adalah anak yang baik dan setia kawan. maka, apalah arti sebuah nama??? 


Namun, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi, bahwa sebagai orang tua, mereka harus memberikan nama yang baik untuk anak-anaknya. bahkan nama yang baik merupakan hak bagi anak dari orang tuanya, selain pendidikan dan pengasuhan yang baik, sampai ia beranjak dewasa.  tmaka idak peduli pada apa yang dikataka Shakespeare,   bagi kami ia adalah doa dan sebentuk pengharapan atas kehidupan dan masa depan yang lebih baik. 
 
*Gambar di ambil dari sini www.bridgeny.com

Kamis, 13 Oktober 2011

LAGU HUJAN


saat setitik gerimis
jatuh basahi pipimu,
jangan berlari
untuk berteduh,
karna langit akan mendendangkan
... 

sebuah lagu
tentang hujan
maka tersenyumlah!
dan rayakan
kebahagiaan
jadi,
mari bernyanyi
sebuah lagu
tentang hujan
agar gundahmu
terlerai dan menghilang!

DAN... ENTAHLAH

Dan...
Entahlah...

semua ini
masih membentuk
tanda tanya
yang berbaris rapi

satu, dua, tiga, bahkan lebih,
di hatiku,
begitu jugakah
di hatimu?

???...

Minggu, 09 Oktober 2011

sekumpulan rindu

baca note nya ka Jani ttg "sekumpulan diam"
mengalirkan tetes2 air mata
mengingat sosok keriputnya,
nenekku tersayang
yg sudah berpulang
andai ada malaikat yg bersedia mengantarkan suratku padanya,
sunngguh
aku ingin bercerita
ttg sebuah cita yg diimpikannya menjadi citaku juga
'menjadi seorang guru spt bapak'
mengajari anak2 ttg hidup dan cinta
dan kata2nya akan selalu abadi
terpahat dlm relung hati
sebagaimana aku mengenang deretan gigi ompongnya yang terkekeh ketika aku  menyampaikan, betapa aku ingin dia minum obat dan sembuh dari sakitnya agar bisa menyaksikanku bersanding di pelaminan entah dg siapa,
setelah terkekeh geli  iapun berkata " nanaonan leutik keneh rek geura kawin tea, sakola heula sampe lulus ambeh jadi guru doang bapak" (apa2an masih kecil mau nikah, sekolah dulu sampe lulus supaya jd guru spt bapak)
dan ia kembali terkekeh
menertawakanku...
dan sekarang,
setiap aku berdiri di depan murid2ku
aku selalu teringat kembali
deretan gigi2 ompongnya
yg menertawakan aku enam/tujuh tahun silam lalu
dan aku baru tersadar
betapa kata2nya itu adalah doa yang dianyamnya dg rapih dan sungguh2untukku
walaupun ia mengucapkannya sambil terkekeh
memamerkan gigi2 ompongnya
yg kini aku rindui dalam diam...
dan kemarin
di depan nisannya yg  dingin
kukirimkan doa2 untuknya
juga sebuah kabar yg mudah2an membuatnya tersenyum dsn
"mak bayi, e udah ngajar skr...spt yg dulu selalu mak harapkan"
dan sebulir air mata
jatuh tnp bisa aku cegah
"Tuhan, sampaikan sekumpulan rinduku padanya dan
semoga Engkau selalu menjaganya..."

3 pertanyaan filosofis

td mlm, tertidur dengan sejumput perasaan haru bercampur takjub, betapa adik saya  yg baru berumur 5 tahun setengah dg mata polosnya bisa melontarkan 4 pertanyaan yg benar2 membuat saya gelagapan menjawabnya. 3 pertanyaan filosofis dan 1 pertanyaan ilmiah.

mlm tadi, setelah adik kedua saya menemukan buku kumpulan dongeng milik perpustakaan sekolah yg sudah 'distempel' hak miliknya, ia meminta saya membacakannya untuk opa adik bungsu kami, awalnya saya menolak karena rasa capek setelah seharian di warung dan beres2 rumah memggelayuti bada saya, tapi ketika mata polos adik laki2 saya itu memohon pada saya, rasa capek dan kantuk yg mulai menyerang saya tepis jauh2, maka sayapun mulai membacakan dongeng yg berjudul "si raja" itu padanya.

setelah cerita ttg raja kera yg selalu menyandang bedil itu selesai saya bacakan, saya berkata padanya sambil menatap dua bola matanya yg belum terlihat ngantuk itu, "dongeng ttg si raja kera telah selesai... dan bersambung besok malam, sekarang adalah waktunya bertanya... jd opa silahkan tanya APA SAJA sama eteh. ok!" tiba2 wajah manisnya memasang tampang seolah2 ia sedang berfikir keras, dan "opa tahu...opa tahu..." maksudnya dia tahu harus bertanya apa, "ya sudah kalau gitu apa pertanyaan opa?" kata saya. dalam hati saya berkata kira2 apa ya yg akan ditanyakan 'monster' kecil yg hobby nangis ini pada saya?.

satu detik, dua detik, tiga detik, dan ..." eteh, muslim itu apa seh?" tanyanya dg polos, saya agak kaget mendengarnya tapi berusaha tidak menunjukkannya, benak saya langsung terbang pada sinetron ramadhan yg tayang di salah satu stasiun TV swasta berjudul "sampeyan muslim?", saya pikir mungkin dia mendapat ide pertanyaan itu dari film tersebut dan saya mulai mencoba mencari kata2 yg tepat untuk menjawabnya, namun belum selesai saya menjawab'nya mulut kecilnya sudah melontarkan kembali dua pertanyaan yg lain yg semakin membuat saya gelagapan bingung harus menjawab apa,
"eteh, hati itu apa seh? terus kasihan itu apa yah?"
kemudian dia masih memberi bonus satu pertanyaan lagi,
"eteh, biji2an itu dibuatnya dari apa?"
dan, saya semakin merasa sedang diserang oleh peluru2 pertanyaan yg sederhana namun tajam dan menembus isi kepala saya sampai saya kalah telak. tapi, karena sayalah yg memulai "perang" ini, maka saya tidak boleh terlihat kalah apalagi KO, he...(gengsi gitu lho! masa kalah sama anak kecil) da dg terbata plus gelagapan plus bingung nyari kata2 yg tepat, saya berusaha menjawab pertanyaan2 itu sesederha mungkin agar bisa dipahami oleh otak kecilnya itu.

dan pagi tadi, ketika saya bangun, saya tersenyum sendiri mengingat betapa masih bodohnya saya untuk menjawab pertanyaan2 sederhana namun mengandung makna filosofis itu, bahkan saya sendiri juga tidak pernah terpikir melontarkan pertanyaan2 spt itu,
"muslim itu apa seh?", "hati itu apa seh?" "kasihan itu apa seh?" dan yg terakhir yg benar2 membuat saya malu dg status saya yg pernah duduk di kelas IPA selama 2 tahun waktu aliah, "biji2an itu asalya dari apa?"
hmmm...
saya kira kita semua setuju, kalau untuk menjawab pertanyaan2 itu dg jawaban yg bukan sekedar "pengetahuan" hasil memindahkan definisi dari buku2, adalah tidak mudah sama sekali, apalagi pertanyaan2 itu keluar dari celoteh seorang anak kecil yg belum genap 6 tahun.

dan ketika saya beranjak ke kamar mandi untuk wudhu, saya spt menemukan seberkas terang, "hei... bukankah jawaban dari ke3 pertanyaan itu saling berkaitan??" teriak saya dalam hati. bukankah seorang MUSLIM yg baik itu adalah seorang MUSLIM yg bisa menjaga cahaya HATINYA dan memiliki rasa empati dan peduli atau KASIHAN terhadap saudara muslimnya yg lain???, lihat!tiga kata itu MUSLIM, HATI, dan KASIHAN (baca: kasih sayang dan empati) saling berkaitan dan membentuk sebuah makna yg dalam. anda setuju??? : )

note:
eteh : nama panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda

ssssttttt....(ini khusus obrolan u/k cwe2 yg masih single)


Di sebuah ruangan, ekor mata saya tidak sengaja menangkap jari2 tangan seorang laki2 yg terlihat bersih dan halus sekali, hanya beberapa detik tidak sampai berjam2...(he... kan bukan muhrim),  namun penglihatan saya yg justru hanya sekilas itu mengingatkan saya pada kata2 ibu2 paruh baya yang mengurut tangan kanan saya yg patah beberapa waktu yg lalu, ibu2 itu berkomentar seperti ini ketika ia memegang telapak tangan saya sebelum mulai mengurut,

"aih...alus amat dampal lengeunna neng, pasti tilok gawe nya?ngomena hp bae!engke mah lamun milarian suami atawa kenalan sareng lalaki raba dampal lengeunna, kasar apa henteu?lamun kasar berarti eta lalaki daekan gawena, tapi lamun halus berarti eta lalaki pemalas..." 
(aih...alus banget telapak tangannya neng, pasti gak pernah di pake buat kerja brat atau kasar ya?kerjaannya mencetin hp aja,NANTI MAH KALAU NYARI SUAMI ATAU KENALAN MA LAKI2, PEGANG TELAPAK TANGANNYA, KASAR APA NGGAK? KLW KASAR, BERARTI LAKI2 ITU ADALAH PEKERJA KERAS, TAPI KALAU HALUS BERARTI LAKI2 ITU PEMALAS)

dalam hati saya berkata," apakah benar apa yg dikatakan ibu2 itu? klw memang benar, berarti laki2 yg dg tidak sengaja saya perhatikan tangannya itu, adalah laki2 yg malas bekerja???" hmmm...entahlah... saya juga  belum mengenalnya begitu baik. bisa jadi kata2 ibu2 itu tidak sepenuhnya benar 100 persen , karna bisa jadi laki2 tersebut memang tidak pernah bekerja "keras" dalam artian pekerjaannya bukan pekerjaan keras atau kasar yg membutuhkan tenaga dan otot yg besar, bukankah saat ini  pekerjaan yg tidak bermodalkan tenaga yg keras  sangat beragam sekali dalam masyarakat kita, seperti halnya penceramah yg bermodalkan suara, penulis yg bermodalkan pena, dan sebagainya.

namun, entah apa yg mengomandoi benak saya, spontan saja, dg gerakan slow motion, saya menggerakkan kepala saya menoleh pada Bapak, laki no satu dalam hidup saya, dan dalam beberapa jenak memperhatikan jari2 tangannya yang besar, urat2 nya yg juga besar terlihat menonjol tidak beraturan di antara buku2 jarinya, kulit tangannya yg berwarna hitam, dan tentu saja telapak tangannya nya yg sangat kasar setiap saya menyentuh tangannya bersalaman, ingatan saya reflek terbang pada sosok laki2 pekerja keras, kepala keluarga yg selalu siap melakukan apa saja untuk keluarganya, untuk istri dan anak2 yg dicintainya, tidak peduli apakah itu pekerjaan yg sangat kasar sekalipun, tidak peduli apakah itu pekerjaan yg membuatnya bermandi peluh dan keringat, sungguh ia sama sekali tidak peduli, seperti di musim2 kemarau saat ini, tanpa diminta dan dg sukarela ia mengangkuti air dari sungai ke rumah dg menggunakan galon yg dipanggul di pundaknya untuk keperluan kami sekeluarga. mmm...bukankah itu sebuah manifestasi cinta dari seorang laki2 yg bertelapak tangan kasar??? dan selamanya sayapun akan sungguh2 mencintainya, laki2 yg ku panggil dg sebutan bapak.

 terlepas dari itu semua, telapak tangan adalah hanya salah satu dari sekian  bentuk fisik dari tampilan luar atau cashing  seseorang, seperti halnya wajah, ada yg cantik, tampan, manis, charming, dll, itu semua tentu saja tidak benar2 100% mewakili 'isi' atau hati seseorang. dg demikian, kita juga tidak bisa serta merta menjudge seorang laki2 hanya dari telapak tangannya saja, lagipula sbg muslimah, sudah tentu kita juga tidak bisa "mengetes" seorang laki2 dg menyentuh atau berjabat tangan dg nya. bukan begitu???he...(nanti jg ada waktunya, hahay...)
karna seperti kata pepatah, "DON'T JUDGE THE BOOK BY ITS COVER" setuju???
lagipula, telapak tangan saya juga halus sperti telapak tangan bayi, dan.....
saya memang rada2 'pemalas' he....

salam manis
etha

picture is from here:  ciricara.com

CATCIL UNTUK YANG MAU JADI ORANG TUA ATAUPUN YANG SUDAH JADI ORANG TUA : )

Lebaran hari pertama, seperti biasa setelah sholat 'id di masjlis ta'lim ibu2, saya beranjak ke rumah uwak, bersalaman dg anggota keluarganya, menunggu bapak yang sholat 'idnya terpisah di masjid sambil makan kue, kemudian setelah bapak datang, baru beranjak pulang ke rumah, bersalaman dg emak tercinta dan dilanjut dg 'nyocol' uli goreng ke dalam semur ayam buatan emak yang paling enak sedunia (he...). setelah kenyang, saya dan adik kedua saya bersiap-siap ke warung, menyusul emak dan bapak yang sudah terlebih dahulu pergi kesana, kenapa ke warung? karena setiap lebaran, bapak memang selalu berjualan mainan anak2 seperti tembak2an, mobil2an tamiya, dll, maklum yang disebut dg 'pasar' di kampung saya memang hanya lumayan rame ketika lebaran tiba, itupun bukan oleh ibu2 yang belanja sayuran tapi oleh anak2 kecil laki2  yang akan membeli mainan di warung bapak juga anak2 kecil perempuan yang akan membeli bermacam makanan di toko makanan.

Tetapi sebelum ke warung, saya dan adik kedua saya biasanya akan mampir dulu ke rumah nenek dari ibu dan rumah nenek uyut dari ibu juga untuk bersalaman dg sanak saudara di sana, ngobrol2 dg sepu2 dan tentunya mencicipi kue lebaran, he.... rutinitas kami sekeluarga di hari lebaran hampir tidak pernah berubah setiap tahunnya. urutannya hampir selalu seperti itu. tapi, tentu saja, lebaran yang ke 22 bagi saya  kali ini, agak sedikit berbeda dibanding lebaran2 tahun2 belakangan, apalagi lebaran2  15 tahun ke belakang waktu saya  masih SD. what the different???

tentu saja jawabannya banyak sekali, dari segi apapun, dan saya tidak mungkin menyebutkannya satu2. namun ada yang menarik untuk diperbincangkan dari segi kreasi budaya.

seperti halnya mudik, memasak ketupat, memakai baju dan sepatu baru, memberi uang pada saudara2 kita yang masih kecil2 juga merupakan buah dari kreasi budaya. jika orang2 china atau konghucu memiliki budaya membagi2kan 'angpau' pada hari rayanya, begitu juga tradisi dan budaya di kampung saya pada setiap lebaran. sudah lumrah sekali bahkan menjadi sebuah tuntutan bagi orang2 tua ataupun orang2 dewasa, terutama yang sudah bekerja, ditambah bekerjanya di kota, untuk memberikan 'persenan' pada adik, ponakan2, atau sodara2 yang masih kecil. saya tidak tahu asal mula kenapa tradisi memberi persenan itu muncul di masyarakat saya. namun jika boleh berhipotesis, tradisi tersebut pada awalnya  muncul dilatarbelakangi oleh orang2 tua yang ingin memberikan 'reward' pada anak2nya setelah berhasil belajar berpuasa selama sebulan lamanya. maka selain baju baru, sendal atau sepatu baru, isi dompet atau isi kantong anak2 itupun harus diperbarui dg persenan.

namun ternyata, tradisi memberi 'reward' pada anak2 sebagai penyemangat untuk latihan berpuasa itu juga tetap berlaku pada anak2 yang tidak 'ikut' latihan berpuasa. maksdunya, anak2 yang memang masih terlalu kecil untuk latihan berpuasa juga tetap memiliki hak untuk mendapat persenan. maka, bagi yang kebetulan memiliki adik2, ponakan2, atau saudara2 sepupu yang masih kecil2, bersiapl2lah untuk menyiapkan amplop dan uang receh sebanyak2nya untuk di bagikan, karena jika ada satu saja yang tidak kebagian, bersiap2lah mendapat rengekan atau rajukan dari monster2 kecil itu. ha...

dan lebaran kali ini, karena alhmdulillah saya sudah lulus kuliah, lalu ceritanya belajar mengajar di yayasan sodara mulai bulan juli lalu,maka ketika saya berkunjung ke rumah uyut saya dan menanyakan sepupu2 saya yang seumuran dg adik saya yg ke3, opa, pada bibi saya, ia menjawab seperti in
i " duka, ja tadi mah aya di dieu, eta geh tos ngomong bae rek menta persenan ka neng"
( gak tahu, tadi emang ada di sini, itu juga udah ngomong aja mau minta persenan ma neng)
(tuing...tuing...) ternyata saya sudah dimasukkan dalam daftar sebagai pemberi persenan oleh sepupu2 saya itu, ha...dalam hati saya bertanya2 sambil senyum2 "ada gak ya uangnya?" he...,kalau boleh saya ingin jadi anak kecil terus biar dapet persenan terus, xixixi...: )

ketika sampai di warung, fikiran saya tetap terfokus pada masalah pemberian persenan itu. saya kembali teringat, betapa dulu sebagai anak kecil yg masih imut2 saya juga merasa amat bahagia jika di kasih persenan oleh sodara2 saya. namun sayapun akan kebingungan menggunakan uang persenan itu untuk apa? dibelikan makanan, pasti cepat habis, dibelikan mainan gak bakal cukup...hmmm....

yupz, setelah saya fikir bolak balik, ngalor ngidul, belok kanan belok kiri, lalu turun dan nanjak lagi, akhirnya sampailah saya pada sebuah pertanyaan yang dalam beberapa detik kemudian beranak pinak dalam kepala saya.
tuing...Ibunya pertanyaan muncul
"BAGAIMANA DAMPAK DARI PEMBERIAN PERSENAN ITU TERHADAP PSIKOLOGIS ANAK?"
tuing... melahirkan satu pertanyaan baru
"BERDAMPAK POSITIF KAH? ATAU SEBALIKNYA?"
dan tuing... satu pertanyaan lagi muncul
"TIDAKKAH PEMBERIAN PERSENAN ITU AKAN MENUMBUHKAN SIKAP KONSUMTIF BAGI ANAK-ANAK?"

Mari kita coba urai satu persatu. namun sebelumnya terlebih dahulu saya beritahukan bahwa  apapun yang  yang akan saya uraikan di sini sama sekali tidak akan berdasar pada teori psikologi apapun, karena memang saya bukan ahli dalam bidang tersebut ditambah saya juga tidak memiliki referensi apapun yang berkaitan tentang psikologi anak juga tentang sikap konsumtif itu, saya hanya akan menguraikan apa yang saya lihat dan perhatikan dari sikap sepupu saya itu berkaitan dengan dampak dari pemberian persenan itu.

Ada pepatah yang mengatakan, "tidak ada api tanpa asap" dalam artian tidak ada masalah tanpa sebab, begitu juga dengan sikap sepupu saya yang yang pada hari lebaran kemarin mencantumkan nama saya dalam daftar pemberi persenan. Itu bukan semata-mata karena saya sudah lulus sekolah dan mulai bekerja, karena ternayata ia juga memasukkan nama paman saya yang baru kelas 1 SMA dan belum punya penghasilan dalam daftar 'pemberi persenenan', hal itu berarti ia tidak peduli, lebih tepatnya belum mengerti siapa saja yang pantas 'ditagih' uang persenan' dan siapa saja yang belum pantas, yang ada di dalam fikirannya hanyalah ia mendapat uang persenan sebanyak-banyaknya, xixixi... : ) (dasar anak kecil)

Namun, jika saya perhatikan adik saya yang sebaya dengannya, ia sama sekali tidak sibuk mendaftar nama-nama pemberi persenan pada hari lebaran kemarin, bukankah ia juga sama2 anak kecil??? jangankan meminta persenan, membedakan antara uang Rp. 2000 dengan Rp. 5000 saja ia belum bisa. Dan ternyata setelah saya perhatikan, memang terdapat perbedaan dalam pola pendidikan yang diberikan terhadap mereka berdua. jika sepupu saya sudah dikenalkan dengan uang sejak ia berumur 4 tahun, kemudian diajarkan untuk memegang uang jajannya sendiri sejak dini, maka berbeda dengan adik saya yang baru di beri uang ketika ia meminta untuk membeli sesuatu, itupun sangat jarang sekali karena ia memang jarang jajan. positifnya, jika sedang di rumah nenek sepupu-sepupu saya yang lain ribut atau merengek ingin membeli suatu jajanan, maka ia akan terlihat santai2 saja tidak peduli. namun, jika sudah ada penjual mainan yang lewat, bisa dipastikan iapun akan merengek minta dibelikan mainan.

Jadi, pola pendidikan keluarga dan pembiasaan dalam memegang uang sendiri, menurut saya adalah salah satu penyebab sepupu saya itu mendaftar nama-nama pemberi persenan ketika lebaran.  lebih jelasnya, karena setiap hari, ia selalu memegang uang jajannya sendiri, bahkan sebagiannya ada yang ditabungkan, maka iapun jadi terbiasa memegang uang, dan dalam fikirannya lebaran adalah saat yang tepat untuk mengumpulkan uang dengan cara meminta persenan.he... , namun bisa jadi ia juga telah diajarkan untuk meminta persenan oleh bibi saya. he..., dan itu bagi saya boleh-boleh saja, toh mintanya juga sama sodara2 bukan sama orang lain, dan tentu saja hanya pada saat lebaran, tidak setiap hari.: )

Kembali ke pertanyaan di atas, bagi saya pemberian persenan itu memang tidak terlalu berdampak banyak terhadap psikologis anak, karena ia hanya diberikan pada saat lebaran dan tidak seriap hari, namun alangkah lebih lebih baiknya jika persenan itu bukan berbentuk uang, tapi berbentuk barang atau hadiah, seperti peralatan sekolah misalnya. dan itu diberikan ketika mereka berhasil menjalankan latihan berpuasa pada bulan Ramadhan. Karena menurut saya, uang berpotensi cukup besar untuk menumbuhkan pola hidup konsumtif bagi anak-anak, bukankah ketika mereka di beri kebebasan untuk memegang uang, mereka akan menggunakan uang tersebut semau mereka? tidak peduli apakah itu bermanfaat atau tidak, dan pada akhirnya akan menumbuhkan pula sikap boros dalam diri mereka. dan hal itu tentu saja merupakan dampak negatif dari pemberian persenan tersebut.

Namun, walaupun demikian, pemberian persenan ataupun memberikan kebebasan untuk memegang uang sendiri bagi anak-anak, masih memiliki sisi positif yang bisa di ambil, yaitu, mereka akan terlatih untuk memanage uangnya sendiri sejak dini, dan itu termasuk salah satu malatih kemandirian mereka sejak kecil. Tentu saja, hal itu dapat tercapai dengan bimbingan dan pantauan orang tua. Dengan kata lain, ketika mereka di beri hak untuk mengelola sendiri uang jajannya misalnya, orang tua tetap harus mengawasi dan membimbing mereka dalam menggunakan uang tersebut. Misalnya dengan cara memberi tahu untuk tidak bersikap boros, untuk tidak menggunakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu atau tidak berguna, dan lain sebagainya. anda setuju???

silahkan beri masukan atau kritikan
agar note ini jadi lebih baik : )

salam hangat
etha
: )

Jumat, 07 Oktober 2011

Kau yang bernama Cinta

Kau
yang bernama cinta...
enyahlah!
kau
yang bernama rindu...
terbanglah!
dan, 
jangan pernah singgah!
jika hanya menumbuhkan gundah
yang menghujani tanah
sebab
aku telah basah
oleh gelisah
yang berdarah-darah... 
Kenapa selalu seperti ini?
gelisah tanpa arah
tidak mengertikah engkau?
wahai rindu,
tentang gerimis
yang mengering
menumbangkan
sepohon harap
yang baru saja bertunas
di jelaga hati.

sedang pelangi
tak lagi berwarna
lalu,
di manakah gundah akan kusimpan?
sebab embun
tidak lagi merembesi pucuk-pucuk daun