Senin, 06 Juni 2011

ANTARA WAGINA DAN MAHASMARA

Ada yang pernah menonton ‘SINEMA WAJAH INDONESIA’ di SCTV? yang tayang satiap malam minggu pukul 22. 30? Itu memang bukan sekedar sinema atau film lepas Televisi yang biasa, yang menghadirkan kisah cinta anak muda dengan segala bumbu2 asmaranya, lebih dari itu, sinema wajah Indonesia memang menghadirkan cerita yang mewakili adat dan budaya masyarakat Indonesia, terutama budaya lokalnya. Memang tetap ada kisah cintanya, tapi itu tidak menjadi inti cerita yang utama.
Saya memang baru dua kali menonton sinema wajah Indonesia, yang pertama berjudul MAHASMARA, film ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Mahasmara yang memiliki bahu lawean, setiap ia akan menikah, maka calon mempelai prianya meninggal dunia sebelum akad nikah dilangsungkan. Iapun dicap sebagai perempuan pembawa sial, karena sudah hampir dua kali menikah, calon mempelai laki2nya meninggal dunia semua, yang pertama meninggal beberapa jam sebelum akad nikah karena tertabrak mobil ketika akan mengambil pesanan cincin pernikahannya, dan yang kedua, meninggal sehari sebelum pernikahan karena kepalanya menyundul lampu gantung saat ia sedang digotong2 oleh teman2 lelakinya karena berhasil memenangkan adu panco pada acara melepas bujang, yaitu acara kumpul2 calon mempelai laki2 dengan teman laki2nya.
Mahasmara putus asa dan berniat untuk tidak menikah lagi, namun di saat ia ingin menutup dunianya dan mengubur harapannya tentang sebuah pernikahan, seorang laki2 sederhana, yang juga pegawai toko barang antiknya telah merebut perhatiannya dan lama2 menyemaikan benih2 cinta di hatinya. Ia sangat mencintai laki2 itu begitu pula sebaliknya. Tapi seberapa besarpun Mahasmara mencintai laki2 itu ia memutuskan untuk tidak akan menikah dengannya, karena ia tidak ingin kehilangan laki2 yang sangat dicintainya itu. walaupun laki2 tersebut bersikeras akan tetap melamarnya dan sudah siap dengan kosikuensinya yaitu meninggal dunia.
Di akhir cerita, akhirnya Mahasmara luluh juga dan menerima lamaran laki2 itu. Tepat seminggu sebelum hari pernikahan, ia mendapat telpon bahwa mobil yang ditumpangi calon suaminya itu kecelakaan. Ia panik dan langsung menyusul ke tempat kejadian, tapi di tengah jalan, kakak iparnya menelpon bahwa informasi tadi salah dan laki2 yang berada dalam mobil yang menabrak pohon itu bukan calon suaminya melainkan orang lain. Dan ternyata Don,  calon mempelai laki2 dari perempuan berbahu lawean itu sedang asyik memilih ayam jago yang akan dibelinya di pasar tradisional.
Adapun film yang ke dua yang saya tonton malam minggu kemarin di Sinema Wajah Indonesia adalah “WAGINA BICARA LAGI”. Masih mengangkat budaya dan kultur Jawa, film ini bisa dikatakan ingin membincang tentang budaya patriarki dan feminisme dalam sebuah rumah tangga atau pernikahan.
Diceritakan, bahwa Wagina adalah seorang perempuan jawa tulen, berkepribadian lembut dan pendiam, juga sangat manut pada suami. Ia memiliki dua orang anak, perempuan dan laki2. Setiap subuh, ketika orang2 berangkat ke masjid untuk shalat, ia sudah harus bersiap berangkat kerja, karena tempat kerjanya yang terletak di pusat Jakarta dan jauh sekali dari rumahnya yang berada di depok. Sebenarnya, ia tidak perlu berangkat subuh2 sekali, jika saja suaminya yang malas bekerja itu mau mengantarkannya setiap pagi dengan mobil ataupun sepeda motornya. Jadi, Wagina bekerja, bukan karena suaminya tidak mampu bekerja atau miskin atau juga cacat. Melainkan karena suaminya itu memang tidak mau bekerja  apalagi memberi nafkah padanya dan anak2nya. Maklum, suaminya itu adalah anak bungsu dari keluarga yang berada dan selalu dimanja.
Maka terciptalah sebuah paradoks dalam keluarga itu, Wagina yang seorang istri harus berangkat bekerja dari sebelum matahari terbit dan pulang ketika matahari terbenam, sedangkan suaminya, hanya ongkang2 kaki di rumah, menghabiskan pulsa untuk menelpon selingkuhan2nya, berjalan2 dengan mobil dan motornya dan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat, memarahi Wagina dan bahkan tidak jarang menganiayanya.
Apakah Wagina mengeluh? Dalam film berdurasi kurang lebih 90 menit itu, perempuan yang bekerja sebagai penjaga toko batik itu sama sekali tidak mengeluh. Bahkan walaupun seluruh uang gaji hasil keringatnya diberikan pada suaminya setiap bulannya. Ia tetap bersemangat bekerja, dan membuat sebuah prestasi dengan berhasil memberikan omzet yang besar pada toko/perusahaan batik  tempatnya bekerja. Iapun di beri tunjangan dan mulai diperhatikan oleh atasannya.
Namun, tidak demikian dengan kehidupan rumah tangganya. Ketika hatinya sudah merasa benar2 tidak tenang oleh pertengkaran2 dengan suaminya, ia memutuskan untuk menuntut cerai. Tapi, keinginannya itu di tentang sekali oleh mertuanya, dengan alasan, tidak pantas seorang istri menuntut cerai pada suaminya, karena itu dianggap sebuah penghinaan pada keluarga sang suami. Mertuanya itu tidak mau tahu bahwa anak laki2nyalah yang menyebabkan kenapa Wagina menuntut cerai. Tetapi, dengan sikap tenangnya, Wagina tidak membicarakan apalagi melaporkan tingkah laku suaminya pada mertuanya Ia sungguh hanya ingin hidup tenang, dan jalan satu2nya adalah dengan bercerai, ia juga hanya mengatakan bahwa  alasannya menuntut cerai adalah karena sudah tidak ada kecocokkan lagi dengan suaminya, bukan karena KDRT yang kerap kali ia terima dan bukan juga karena tidak ada nafkah yang pernah ia terima dari suaminya.
Disinilah inti cerita dari film itu. betapa ribetnya menjadi seorang perempuan. Bahkan dalam salah satu dialognya Wagina berkata, “jadi perempuan itu memang repot…”. Maksudnya adalah, betapa tidak mudahnya hanya untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan hati, betapa rumitnya untuk bercerai dari suaminya dan membangun kehidupan sendiri yang lebih tenang.
Tapi untungnya, dalam film ini, akhirnya tuntutan cerai Wagina diterima, dan film ini ditutup dengan sebuah ending yang berkesan sekali, pagi itu adalah tanggal 17 agustus, ia mengantar kedua anaknya ke sekolah untuk mengikuti upacara peringatan kemerdekaan. Anaknya yang perempuan memakai kostum perawat, membawa tas dokter bergambar palang merah, sedangkan anaknya yang laki2 memakai kostum pejuang Indonesia, membawa bambu runcing dengan wajah yang bercoreng moreng. Ketika upacara berlangsung dan peserta upacara sedang dalam keadaan hormat pada sang saka merah putih, Wagina tiba2 menyeruak ke barisan dimana kedua anaknya berdiri dan serta merta memeluk keduanya, ia merasa bahagia sekali karena baru saja mendapat kabar kalau ia diterima kerja di Pekan baru, dan itu berarti ia tidak usah khawatir lagi tentang nasib anak2nya, lalu anaknya yang laki2 bertanya dengan polosnya, “ibu, apakah kita sudah merdeka?” sambil memandang ke arah bendera merah putih, Wagina menjawab dengan senyuman penuh makna, “iya nak, KITA SUDAH MERDEKA”.   
Sebuah ending yang simbolis sekali, yang menggambarkan betapa berharganya sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan dari keterkungkungan yang membelenggu. Dan film ini, seolah menggambarkan, bahwa seorang perempuan bernama Wagina telah berhasil meraih kemerdekaannya dengan diterimanya tuntutan cerainya dan diterimanya ia bekerja di pekan baru. Dengan demikian ia bebas menentukan jalan hidupnya dan bisa mandiri menghidupi anak2nya. Maka ia seolah sudah meraih kemerdekaanya sebagai seorang wanita, kemerdekaan hati yang telah ia nanti.
Dari kedua film tersebut, ada benang merah yang cukup menonjol, yaitu dunia perempuan dan sebuah pernikahan. Walaupun kedua film itu berbeda dari segi alur penceritaan juga inti dan pesan yang ingin disampaikan, tetapi tetap saja, dunia perempuan dan masalah pernikahan menjadi background yang melatarbelakangi kedua film tersebut.
Selalu menarik memang, membicarakan dunia perempuan dan permasalahan bias gender yang menghiasinya. Karena memang kultur budaya masyarakat kita, terutama kultur budaya jawa sangat kental sekali dengan budaya patriarki. Bukankah ibu Kartini yang mendapat gelar pahlawan gender juga berasal dari Jawa? Juga film yang pernah menuai controversial, “Perempuan Berkalung Sorban”, mengangkat tema cerita budaya patriarki dengan latar tempat pesantren di Jawa?
Baiklah, kita tidak akan membahas tentang permasalahan bias gender dan isu feminisme di sini,pertama karena saya bukan ahlinya, kedua, saya juga bukan termasuk aktifis gender yang selalu ingin menyamakan kedudukan wanita dan laki2 dalam proporsi yang sama, yang sebenarnya sudah sama itu. bukankah dalam Al-Quran sendiri dikatakan bahwa barang siapa yang berbuat baik/beramal sholeh, baik laki2 ataupun perempuan, maka Allah akan memberikan pahala pada keduanya. Maka, lewat catatan sederhana ini, saya hanya ingin berbagi tentang pelajaran apa yang bisa kita ambil dari film tersebut.
Untuk film yang pertama, Mahasmara,  tentu saja, pesan yang dapat kita ambil adalah bagaimana kita menyikapi Qadha dan Qadhar Allah Swt. Seringnya dalam masyarakat kita, kita selalu mengait2kan musibah atau bencana yang menimpa kita dengan sesuatu yang tidak masuk akal, seperti kalau kita menabrak kucing dan kucing itu meninggal, maka kita harus menguburkannya dengan salah satu pakaian kita, karena kalau tidak, maka kita akan tertimpa sial, atau juga ada pepatah yang mengatakan ‘jangan bepergian hari selasa dan sabtu, karena suka celaka’. Makanya ketika saya terkena musibah pada hari sabtu, bibi saya serta merta berkata, ”makanya jangan bepergian hari sabtu, gini neh akibatnya, waktu dulu juga mak Munah (uwaknya ibu) meninggal karena kecelakaan pas hari sabtu”.
Begitu pula dengan tema yang di angkat dalam film Mahasmara. Seorang perempuan berbahu lawean (lebar) di yakini sebagai pembawa sial karena selalu membawa petaka kematian calon suaminya. Tapi untungnya, ending film itu, justru melawan mitos tersebut, bahwa kematian, musibah dan bencana, tidak ada sangkut pautnya dengan apa pun, tidak dengan hari2 tertentu, tidak dengan hewan2 tertentu, dan tidak juga karena bentuk fisik seseorang. Semua itu terjadi benar2 atas izin Yang Maha Kuasa yang sudah dicatatnya dalam kitab Lauh Mahfudz. Bukankah selembar daun yang jatuh saja sudah ada catatannya disisiNya? Apalagi untuk hal2 yang besar seperti itu. Allah berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian, kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. (QS. AL-Hadid: 22)
   Sedangkan untuk film, “Wagina Bicara Lagi”, ada pesan yang indah disana, khususnya untuk para perempuan yang belum menikah dan akan menikah. Terlepas dari film tersebut memang sedikit mengangkat isu feminisme dan budaya patriarki.
Untuk perempuan yang belum menikah dan akan menikah, pesan yang bisa diambil adalah, hendaklah kita  sangat berhati2 dan teliti memilih jodoh atau calon suami, karena hal itu akan berdampak besar dalam kehidupan rumah tangga kita kelak. Bukankah Ada pepatah indah yang mengatakan bahwa “Bagaimana kita akan menghabiskan sisa hidup kita, tergantung dengan siapa orang yang mendampingi kita”.
Dalam hal ini, Nabi kita telah mewasiatkan sebuah wasiat yang berharga pada kita dalam memilih pasangan hidup, yaitu tidak hanya karena ia kaya raya berlimpah kemewahan, tidak juga karena ia tampan serupa artis yang rupawan, dan terakhir tidak juga karena ia termasuk keturunan raja2 penguasa, tetapi karena akhlak dan agamanya lah yang kita utamakan.
Dalam wasiat lain, Nabi menambahkan, “Nikahkanlah anak2 perempuan kalian dengan laki2 yang paling baik akhlak dan agamanya, karena jika ia menyukainya, ia akan memuliakannya, dan jika ia tidak menyukainya, ia akan menghormatinya dan tidak menyia2kannya”. Khusus dalam hal ini, dalam kitab Fikh Sunnahnya Said Sabiq, Imam Ghozali menjelaskan bahwa alasan kenapa seorang bapak harus berhati2 dalam menikahkan anak perempuannya, tidak lain karena seorang perempuan tidak memiliki hak dan kebebasan untuk menceraikan suaminya jika ternyata di kemudian hari sang suami tidak bertanggung jawab ataupun bertingkah buruk padanya.
Pendek kata, sedia payung sebelum hujan, karena jika sudah kehujanan, air yang basah tidak bisa diangkat lagi ke langit dalam waktu sekejap, kecuali harus menunggu matahari mengeringkannya. Dengan begitu mudah2an kisah yang dialami Wagina dalam film itu, tidak akan menimpa kita, amiin. Dan kita tidak perlu memperjuangkan kemerdekaan kita sebagai perempuan, karena kita memang sudah merdeka dengan cahaya islam yang dibawa Rosul akhir zaman. 



 

3 komentar:

  1. dmn bisa download film mahasmara gan ?
    agan ada link download_nya ?

    BalasHapus
  2. saya gak punya link downloadnya, soalnya ni film Sinema Indonesia yg tayangnya 2 minggu sekali di SCTV. : )

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus