Mungkin kita telah sepakat untuk melupakan "kata" itu dan menggantinya dengan sebuah "kata" baru yang lebih terdengar modern, 'instan"
Saat pagi datang dan kita masih malas untuk beranjak dari tempat tidur, seraya membayangkan betapa dinginnya air yang menyentuh pori-pori kita, saat itu juga ide itu datang, "kenapa tidak menyalakan water heater saja?" maka kita tidak akan terlambat pergi ke tempat kerja karena harus menunda mandi pagi atau memasak air panas dulu di kompor. dan pagi yang dingin itu, telah kita taklukan dengan hanya memencet tombol merah di mesin pemanas air di kamar mandi, mudah bukan? dan tentu saja menghemat waktu.
Saat jam makan siang tiba dan perut kita keroncongan meminta diisi, kita segera menekan beberapa digit nomor di handphone, memesan makanan kesukaan di restoran fastfood, dan tidak sampai setengah jam, pesanan kita sudah ada di meja untuk siap disantap. mudah bukan? dan tentu saja menghemat waktu dan tenaga.
Saat sore tiba, sambil sejenak melepas penat dan lelah setelah seharian bekerja, kita membaringkan badan di atas kasur, membuka-buka blackberry dan langsung BBM-an, menyapa teman2 lama secara online, tanpa harus dandan yang rapih dan keluar ongkos, silaturahim online itu ternyata mudah, murah, dan sangat praktis bukan? dan sekali lagi kita semakin dimanjakan oleh kecanggihan teknologi. kitapun tersenyum penuh kemenangan, seakan dunia sudah ada dalam genggaman.
Mungkin kita telah sepakat untuk melupakan "kata" itu dan menggantinya dengan sebuah "kata" baru yang lebih terdengar modern, 'instan"
Saat adik kecil kita atau anak kita menangis ingin dibelikan mainan, kita akan langsung membawanya ke toko mainan, walaupun setengah jam sebelumnya, kita telah berbusa-busa ceramah tentang apa bagusnya mainan baru itu? toh mainan yang lama masih dapat digunakan, namun kita mengalah dan dengan berat hati membawa mereka ke toko mainan terdekat, lalu menyuruh mereka memilih mainan yang mereka inginkan, setelah itu pulang sambil menjinjing kantong plastik yang berisi mainan, kadang dengan hati yang tetap dongkol karena uang jatah membeli beras harus terpakai dulu, namun tak jarang pula dengan senyum bahagia demi melihat binar mata bahagia di mata kecil mereka. namun yang terpenting, mereka berhenti menangis dan merajuk, maka masalah selesai.
Saat kita ingin menyeduh secangkir kopi atau segelas susu, menanak nasi, sekaligus juga makan dengan lauk yang instan (merebus mie), kita hanya perlu menyalakan tombol merah dispenser, lalu tombol merah rice cooker, kemudian menyalakan kompor gas, dan kemudian tinggal santai menunggu sambil tentu saja twiteran, atau fb-an, atau BBM-an. betapa mudahnya hidup.
Saat kita sedang diburu deadline tugas sekolah ataupun kuliah, membuat makalah tentang anu, membuat laporan tentang anu, membuat kliping tentang anu, membuat puisi, membuat cerpen, maka kita akan bersegera ke warnet, mencarinya di mesin pencari daripada berlelah-lelah pergi ke perpus yang belum terjamin pula kelengkapanya, kemudian meng-copy paste-nya, mengetikkan nama kita di cover depannya, mem-print-nya, dan besok tinggal diserahkan ke guru atau dosen. betapa mudahnya belajar saat ini bukan?
Mungkin kita telah sepakat untuk melupakan "kata" itu dan menggantinya dengan sebuah "kata" baru yang lebih terdengar modern, 'instan"
Apakah "kata" instan yang kita bangga-banggakan itu telah menjamin pula kesehatan pencernaan kita? saat beragam makanan dan minuman instan masuk ke dalam perut kita?
Namun tentu saja, semua kemudahan yang kita dapatkan dari kecanggihan teknologi saat ini tidaklah murah, bahkan sangat mahal.
Apakah "kata" instan yang kita bangga-banggakan itu telah menjamin pula kesehatan pencernaan kita? saat beragam makanan dan minuman instan masuk ke dalam perut kita?
Apakah kata instan yang kita elu-elukan itu telah menjamin pula kokohnya tali persahabatan dan persaudaraan kita hanya dengan berkomunikasi secara online? tanpa saling bertemu muka, bersua, berjabat tangan, dan berpelukan?
Apakah kata instan yang kita agung-agungkan itu, telah menjamin pula kreatifitas dan imaginasi generasi penerus kita yang tak akan pernah mati hanya oleh seonggok mainan dari plastik?
Apakah kata instan yang kita puji-puji itu telah menjamin pula bahwa ijazah, dan nilai-nilai dalam raport kita telah sesuai dengan kompetensi diri kita?
Entahlah.
Namun, kita seakan tumbuh menjadi manusia-manusia yang serba ingin cepat, manusia-manusia yang seakan sedang dikejar sesuatu, manusia-manusia yang ingin selalu terburu-buru, manusia-manusia yang tidak sabaran, manusia-manusia yang anti menunggu lama, manusia-manusia yang perlahan tapi pasti mulai sepakat melupakan kata itu "proses", dan menggantinya dengan kata yang lebih modern "instan".
Sekali lagi, entahlah.
Namun, bukankah kita juga pernah mendengarnya? sebuah nasihat tua nan bijak, "al'ajaltu minasyaiton... ketergesaan itu sebagian dari setan"? dan bukankah langit dan bumi yang kita tempati saat ini juga diciptakan dalam waktu 7 hari oleh Tuhan? bukan dalam satu malam dengan cara yang instan?
Sekali lagi, entahlah!!!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus>.<
BalasHapus(terdiam. setelah membaca rantaian kata di note ini.)
>..<
(tak bisa menemukan kata yang tepat untuk mengutarakan apa yang ada di benak. )
>...<
(hening sejenak..
hingga akhirnya lahirlah satu lagi senyuman milikku.
sembari hatiku berbisik bangga,,
"tetehku memang hebat!"
^.^
he he.. begitulah mbak.. sekarang ini manusianya inginnya yang instan2 saja. Yup.. kita musti lebih menghargai proses. Karena banyak hal, Allah tidak melihat hasil, tapi melihat prosesnya.
BalasHapus