Kamis, 26 April 2012

DAN MONSTER ITU BERNAMA UN

"semua ini HARUS diakhiri!!!"
kataku mengumpat

"tidak mungkin, kita tidak mungkin bisa mengakhirinya!"
ujarmu.

"mengapa?"

"entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa" 
jawabmu lesu

"lalu, di manakah nurani kita?"
 tanyaku dengan suara tertahan

"mungkin, ia sudah pergi" 
matamu menerawang jauh ke batas bukit itu.

"arghhhhh.... omong kosong dengan semua sistem ini, omong kosong dengan STANDARISASI!"
aku berteriak membuat takut burung - burung gereja yang tadi berkerumun di lapang itu. 

"tidak tahukah MEREKA? betapa bulshitnya STANDARISASI itu??? mencoba menyamaratakan HASIL dari PROSES yang berbeda-beda?" 

 "percuma saja kau berteriak disini! apakah MEREKA mendengarnya? kalaupun mereka kebetulan mendengarnya, apakah mereka akan mempedulikanmu? hei...bercerminlah! siapa dirimu?"
katamu.

"aku tak peduli, aku sungguh tak peduli, kawan" 
aku terduduk, bersimpuh di atas tanah yang merah.

"menurutku, bukan salah MEREKA juga, sobat!" 

"lalu? salah siapa??? 
aku mendelik demi mendengar ucapanmu.



"entahlah, namun bukankah dulu, saat bapak-bapak dan ibu-ibu kita sekolah, KETIDAKLULUSAN juga sudah pernah dan sering menimpa beberapa teman bahkan diri mereka? tapi apakah kemudian mereka mencari baigon ataupun seutas tali untuk mengakhiri segalanya? tidak bukan? TIDAK LULUS bukanlah akhir dari segalanya bagi mereka, walaupun tentu saja mereka juga bersedih hati dan menangis."

"kau betul, sobat, lalu mengapa adik-adik kita, anak-anak didik kita, bahkan kita sendiri saat ini merasa begitu takut jika TIDAK LULUS UJIAN NASIONAL?? lalu berbagai cara kita lakukan agar anak didik kita dapat mengalahkan MONSTER paling menakutkan yang bernama UN itu dengan mudah, tidak peduli apakah cara itu menodai nurani kita, tidak peduli apakah cara itu akan dan pasti menumbuhkan benih-benih ketidakjujuran yang siap dituai buahnya esok hari, kita tidak peduli, karena mungkin kita sendiri telah melupakan bahwa janji masa depan yang lebih baik itu tidak akan pernah datang dengan idealisme dan kejujuran, dan bahwa TUJUAN AKHIR dari proses TIGA tahun atau ENAM tahun yang singkat itu HANYALAH SELEMBAR KERTAS YANG MEWARTAKAN ANAK DIDIK KITA LULUS UJIAN NASIONAL, selebihnya? kita tidak peduli."

"dan tentu saja, itu semua dilakukan hanya karena kita tak ingin nama anak-anak didik atau sekolah tempat kita mengabdi, juga daerah tempat kita menghirup udara selama ini TIBA-TIBA TERPAMPANG JELAS dalam HEADLINE KORAN atau menjadi BERITA HANGAT DI PEMBERITAAN-PEMBERITAAN LOKAL MAUPUN SWASTA sebagai TOKOH UTAMA yang TIDAK LULUS UN" 
katamu menambahkan. 

"hanya sesederhana itu sebenarnya akar masalahnya, tapi kita membuatnya seolah-olah besok adalah hari kiamat" 
ujarmu lagi. aku menekuri tanah, diam tak berkata-kata lagi, namun aku mengiyakan sepenuhnya kata-katamu.

"lalu apa yang harus kita lakukan?" aku kembali bersuara.
"entahlah! kalau kita pindah ke MARS, kau setuju?" katamu sambil tersenyum.

aku tak menjawab, tidak pula mengangukan kepala. 
namun beberapa detik, akhirnya kita tertawa lepas bersama-sama....

2 komentar:

  1. iya... UN memang menjadi monster yang menyeramkan. Jadi ingat dulu pernah ada temenku yang memiliki kemampuan (menurutku) standart rata-rata, gagal lulus UN karena jatuh di nilai mata pelajaran tertentu. Wew.. padahal banyak yang lebih tidak pandai dari dia lulus. Perjuangan belajar selama 3 tahun hanya ditentukan dalam sehari. Entahlah, ini benar atau tidak benar. Yang jelas kasihan juga dengan mereka yang tidak lulus.

    Ga tahu efeknya sekarang apa? musti ikut program paket-paketan itu ya mbak?
    dan yang jelas, ndak bakal bisa ikutan ujian masuk universitas :(

    BalasHapus
  2. ya mas, padahal kalau kebijakan kelulusan itu diserahkan kembali ke sekolah masing2, mungkin tidak akan ada kejadian seperti temen mas itu, karena tentu saja sekolah dan guru2 adalah yg paling tahu bagaimana kemampuan dan kompetensi juga karakter dan akhlak anak2 didiknya.

    BalasHapus