Senin, 09 Mei 2011

Rukun Islam ke- “enam”


“Aisy.....Aisy....di mana kamu,nak?” suara ummi yang lembut memanggil-manggil namaku.
“Aisy....! sekarang kan sudah jam setengah empat, waktunya mandi sore sayang, memang kamu nggak mau ke TPA?” ummi memanggilku kembali sambil melongokkan kepalanya ke balik pintu kamar. Tapi aku tetap bergeming di tempat persembunyianku sambil terus memperhatikan gerakan ummi dengan ekor mataku. Ummi sekarang menuju dapur dan suaranya semakin terdengar mengecil dari sini.

Tiba-tiba suara tangisan Hafsah, adik bayiku yang baru bisa merangkak itu terdengar dari dalam kamar ummi. “ ‘ea.....ea....ea.....”. kulihat ummi tergopoh menuju kamarnya dan mendiamkan Hafsah. Tapi Hafsah tetap menangis. Ummi mencoba bertanya pada adikku itu walaupun tentu saja pertanyaan ummi malah dijawab kembali dengan tagisannya yang makin kencang.

“Hafsah sayang, kenapa, nak? Hafsah mau minum? Atau mau makan ya? Sebentar ya sayang, ummi ambilkan air minum dulu.” Ummipun beranjak ke dapur, mengambilkan air minum untuk adikku yang rewel itu. Tidak sampai lima menit, ummi sudah berada di dalam kamar lagi dan menngendong hafsah.

“Ah, ummi tahu, pasti hafsah mau bermain dengan bola karet itu lagi ya?” tanya ummi lagi sambil menunjuk ke arah bola karet berwarna merah dan bergirigi itu permukaannya. Otot-ototku langsung menegang, kurasakan jantungku berpacu lebih cepat ketika ummi berjongkok untuk mengambil bola itu. aku tahu, ummi pasti akan melihat sepasang kaki mungilku ini.

“Ah, aku lebih baik menyerah daripada tertangkap basah” pikirku. Lalu sebelum ummi berhasil menggapai bola yang hanya lima jengkal dari tempatku bersembunyi ini. aku langsung berteriak pura-pura minta tolong.

“Ummi....tolong Aisy, Mi! Tangan Aisy kejepit meja kecil ini!” lalu aku menyibakkan taplak berhias bunga lili yang menutup tubuh mungilku dan memamerkan senyum polos innocentku pada ummi.

“Astagfirullah! Aisy! Sini sayang Ummi bantu keluar dari sana! Memang Aisy sejak kapan berada di bawah kolong meja rias itu? ummi tadi memanggil-manggil Aisy memang Aisy tidak dengar?” tanya ummi bertubi-tubi.

“Maaf ummi, Aisy bukannya tidak dengar, tapi Aisy tadi kesusahan menjawab panggilan ummi,” jawabku sedikit berbohong.

“Oh ya sudah tidak apa-apa, sayang!” jawab ummi seperti biasa, dengan senyumnya yang semanis ice cream kesukaanku.

“Aisy, lihat! Sekarang sudah jam berapa?” ummi menunjuk jam dinding berhias kaligrafi itu.

“Jam empat kurang lima menit, ummi” jawabku. Walalupun aku masih duduk di TKb, aku sudah mengerti tentang konsep jam. Karena Abi yang mengajariku ketika aku baru naik ke TKb beberapa bulan lalu. Kata abi, walaupun aku masih kecil, tapi aku harus sudah mengetahui konsep waktu atau jam, biar aku tidak terlambat ke sekolah, tidak terlambat mengaji, dan selalu bangun tepat waktu. Karena kata abi, seorang muslim itu harus bisa menghargai setiap detik dari waktu yang sudah diberikan Allah pada kita.

“Anak pintar, terus itu artinya......” ummi sengaja memotong kata-katanya supaya aku meneruskannya.

“Itu artinya, Aisy harus pergi mengaji  ke TPA  sekarang!” jawabku dengan cepat tapi dengan bibir sedikit cemberut.

“Loh, kok anak soleh cemberut sih?” tanya ummi.

“Memangnya anak soleh nggak boleh cemberut ya, mi?” tanyaku polos.

“Boleh, bahkan marah juga boleh, asalkan dengan alasan yang tepat, tapi alangkah lebih baik lagi kalau Aisy tersenyum. Kan lebih manis kalau Aisy tersenyum.”  Jawab ummi.

“Ummi, sebenarnya, hari ini Aisy sedang tidak mau ngaji” aku berterus terang.

“Memangnya kenapa, sayang? Kalau mengaji Aisy kan nanti dapat pahala dari Allah, terus kalau pahalanya banyak Aisy nanti akan ......” belum sempat ummi melanjutkan kata-katanya, aku sudah memotongnya.

“Ummi, mulai hari ini, Aisy tidak mau ngaji kalau uang jajannya Cuma seribu. Teman-teman Aisy yang lain kalau mengaji mereka bawa uangnya banyak mi, segini!” protesku sambil mengacungkan kelima jariku di depan ummi dan kembali cemberut.

“Oh ya? Kalau begitu ummi mau nanya, memang Aisy mengaji buat apa?”
Aku bingung mau menjawab apa. Tapi aku teringat sesuatu

“mmm...Aisy mengaji biar Aisy bisa beli mainan di TPA, mi. Soalnya di sekolah mainan yang seperti itu nggak ada” jawabku dengan jujur.Hafsah sekarang sedang asyik bermain dengan bola karetnya di lantai. Ummi  memegang pundakku dan memasang wajah yang cukup serius.

“Aisy, mainan itu, suatu hari nanti akan rusak tidak?” tanya ummi lembut. Aku menggelengkan kepala, sedikit binggung dengan pertanyaan ummi.

“Kalau Aisy, meminjamkan mainan yang Aisy beli itu pada hafsah, mainan itu akan rusak tidak? Atau kalau setiap hari Aisy memainkan mainan itu, apa mainan tersebut akan selalu utuh?”

Aku mulai mengerti maksud  pertanyaan ummi. “Ti..tidak ummi, mainan itu pasti akan rusak kalau setiap hari aku selalu memainkannya. “ jawabku dengan suara pelan.

Ummi melirik jam dinding lagi. Sekarang sudah pukul empat lewat lima belas menit. Berarti aku sudah lewat lima belas menit mengaji ke TPA. Ummi menarik nafasnya.

“Aisy, Aisy ingat apa yang dikatakan abi, kalau kita tidak boleh minta pamrih jika melakukan sesuatu, karena itu tidak baik.”

“Tapi, Aisy kan hanya minta uang jajan segini, Mi” aku membantah sambil menunjukkan lima jariku, aku memang belum mengerti konsep uang. Karena abi memang belum mengajariku. Tapi, aku akan selalu ingat apa yang dikatakan Deva, Indri dan Fia waktu tiga hari yang lalu mereka menunjukkan selembar uang bergambar salah satu pahlawan Indonesia yang kalau tidak salah namanya Bonjol gitu, sambil menunjukkan LIMA jari mereka masing-masing ke depan wajahku. Dan berkata sinis seperti ini “Aisy, kamu pasti tidak punya uang segini kan? Ha...ha....lihat teman-teman, masa Aisy Cuma dikasih uang seribu? Ha...ha....ha...”

“Aisy, itu sama saja Aisy meminta imbalan atau pamrih dari ummi, dan itu berarti, Aisy sudah tidak ikhlas mengajinya” jawab ummi. Ummi beranjak ke luar kamar.

Aku semakin tidak mengerti dengan penjelasan ummi barusan, apa tadi yang dikatakan ummi “ikhlas”? ah, jika abi datang nanti aku akan tanyakan arti kata itu padanya, pasti abi tahu. Abi kan pintar.
Sekarang jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit, itu berarti aku sudah benar-benar terlambat, tapi aku senang, karena aku tahu ummi tidak mungkin mengantarkanku pada jam segini. Dan itu berarti, aku tidak akan mengaji hari ini, ah,,,,betapa senangnya, tidak bertemu dengan Deva dan kawan-kawannya itu. aku tersenyum-senyum sendiri.

Tapi, ternyata dugaanku salah, karena tiba-tiba saja, ummi sudah berdiri di hadapanku lagi dengan menenteng tas ngajiku di tangan kanannya dan seragam TPA ku di tangan kirinya.

“Walaupun, sekarang sudah sangat telat, tapi ummi akan tetap mengantar Aisy ke TPA” Kata-kata ummi itu seperti ngengat lebah yang berdengung-dengung di telingaku. Tapi aku tidak bisa membantah, karena sorot mata ummi yang biasanya lembut, saat ini begitu menakutkan, seperti mata elang yang aku lihat di buku ensiklopedia burung di sekolah tadi pagi. Dan itu membuat  tubuhku terasa ciut dan mengecil.

“Aisy, kenapa diam? Ayo cepat ganti bajunya dengan seragam ini, tidak apa-apa sore ini tidak mandi sore dulu,”Aku segera mengganti baju mainku dengan seragam TPA. Ummi menggendong Hafsah dan menungguku di luar kamar. Aku melirik jam dinding lagi, dan jarum jam sekarang sudah menunjukkan, pukul empat  lewat empat puluh menit, aku menghitung-hitung kira berapa lama aku sampai di TPA, dan aku segera dapat menyimpulkan walaupun belum pasti, bahwa aku hanya akan mengaji selama tiga puluh menit. Dan aku kembali tersenyum-senyum sendiri.

Ummi sudah menungguku dihalaman, dan aku menyusulnya dengan langkah tergesa. Tepat ketika aku sampai di pintu ruang tamu, aku melihat seorang laki-laki paruh baya yang sering menyapaku setiap pagi, Pak satpam komplek sedang berbicara dengan ummi dengan wajah yang sangat serius tapi juga menyiratkan kesedihan. Dan di belakang pak. Satpam, empat orang laki-laki yang tidak aku kenal, menggotong seseorang di atas sebuah tandu buatan. Lengan kanannya keluar, dan aku sangat mengenal lengan itu, jari-jari kekar itu.

“Tapi kenapa lengan abi berwarna pucat? Apa abi sakit?”
“Abi?” tanyaku dalam hati, ada apa dengan abi? Belum sempat aku mendekati tandu yang mengotong tubuh abi, ummi menyuruhku masuk ke dalam rumah. dan aku hanya bisa menurut.

Aku masih belum mengerti sepenuhnya tentang apa yang sedang terjadi. Tapi tiba-tiba ummi menangis, suatu hal yang tidak pernah aku lihat selama ini. dan Hafsah adikku, telah digendong oleh bu Ira tetanggaku, dan dalam waktu sekejap, orang-orang berdatangan ke rumah mungilku, menyalami ummi sambil berkata sesuatu yang menguatkannya, Hafsah menangis dengan sangat kencang di gendongan bu Ira, dan ummi tiba-tiba mendekapku sambil terus menangis, air matanya menganak sungai membasahi seragam TPAku, pipiku, tapi aku masih belum mengerti apa yang terjadi.

“Aisy, kita harus ikhlas ya nak, abi sudah dipanggil oleh Allah, karena abi orang yang baik dan ikhlas,” ummi mengecup keningku, dan ia langsung menghapus air matanya sambil berusaha untuk menyungingkan senyumnya.

“Apa itu arti kata “ikhlas”?” tanyaku dalam hati.
“ Apakah tetap tersenyum ketika abi sudah dipanggil Allah?”. Dan aku baru menitikkan air mata, ketika aku tahu bahwa aku tidak akan  bisa bertanya lagi pada abi selamanya. Ya, selamanya.

Dalam dekapan ummi,  mataku tertuju pada jam dinding di ruang tamu ini, pukul lima sore, tepat. Lima, ingatanku berlari pada wajah Deva dan teman-temannya tiga hari lalu di TPA, mereka juga mengacungkan lima jari mereka dengan tatapan yang sinis, dan rasanya menyakitkan sekali, sama seperti sore ini, tepat pukul lima, rasa sakit itu kembali menghantamku. Membuat dadaku sesak dan akupun menangis.

# # #

Tiga hari yang lalu, abi dipanggil Allah, ummi tidak menjelaskan padaku kenapa abi tiba-tiba dipanggil Allah, tapi tidak sengaja aku mendengar bu Ira mengobrol dengan tukang sayur keliling tentang abi, kata bu Ira, abi adalah korban tabrak lari. Aku  tidak mengerti apa maksudnya. Dan ketika aku tanyakan pada ummi, wajah ummi kembali sedih, tapi ummi langsung tersenyum dan berkata “Abi itu orang yang baik, rajin beribadah, soleh, ikhlas, makanya Allah sayang banget sama abi, dan Allah memanggilnya dengan cepat”

Sejak saat itu, aku tidak pernah menanyakan hal itu lagi pada ummi, karena aku tidak mau melihat wajah ayu ummi berubah menjadi sedih.

Sore ini, aku akan mengaji kembali ke TPA, sendirian, tidak diantar oleh ummi. Karena ummi terlihat sibuk sekali di rumah.

Aku melangkah dengan tetap tersenyum, tidak menunjukkan wajah yang sedih, karena seperti kata ummi, aku harus jadi orang yang kuat, yang ikhlas, maka abi akan bahagia di surga sana.
Di tikungan sebelum masjid, aku melihat Tasya sedang menangis sendirian, kenapa ya? Maka akupun menyapanya.

“Tasya, kamu lagi ngapain di sini? Kenapa kamu menangis? Ayo kita ke TPA” ajakku.

“Pen....pen...silku, pensil kangguruku yang dibeliin ayah di Australia hilang...., hik...hik....hik...” jawab Tasya sambil terisak isak. Aku bingung, mau berkata apa untuk menghibur Tasya. Tapi aku ingat kata-kata ummi tiga hari yang lalu waktu abi dipanggil Allah.

“Tasya, kenapa tidak diikhlaskan saja, pencilnya, nanti akan diganti yang baru dan lebih bagus kok sama Allah” ujarku, aku tidak tahu kenapa aku bisa berkata seperti itu, tapi rasanya sangat indah. Sangat ringan.

Tasya terdiam, tapi masih terisak-isak. “benarkah, Aisy?” tanyanya pelan. Aku mengangguk mantap, mengiyakan sambil menyunggingkan senyum termanisku pada Tasya. Dan iapun berhenti menangis.
           
“Ajaib” pikirku. “kata-kata yang diucapkan ummi padaku waktu itu memang  benar-benar ajaib, ia seperti obat penurun panas yang biasa aku minum ketika  demam”. Dan aku semakin menyukai kata itu “ikhlas”. Aku menanamkannya dalam-dalam di lubuk hatiku. Kami berduapun sampai di TPA tepat ketika kak Asma mengucap salam. Aku dan Tasya langsung duduk di barisan ke tiga dari depan. Sekilas kulirik Tasya, ia sudah kembali ceria, dan air matanya sudah mengering. “Alhamdulillah” kataku dalam hati.
           
Kak Asma memimpin kami membaca surat al-fatihah, doa belajar, dan mars TPA. Sambil mengikuti kak Asma, aku memperhatikan teman-temanku. Di barisan depan, ada Ayu, Cantik, Chaca, Ade, Ryan, Toriq, mereka terlihat semangat sekali. Sedangkan dibarisan kananku, murid laki-laki sudah tidak memperhatikan kak Asma lagi, mereka sibuk memainkan mobil-mobillan yang bisa dirubah menjadi robot itu. Ka Rafi menyuruh mereka mengikuti ka Asma, tapi mereka tidak mendengarkan.
           
“Adik-adik kak  Asma, punya lagu baru, judulnya rukun islam yang lima, cara menyanyikannya seperti nada lagu balonku. kalau adik-adik tetap ,mengobrol, kakak tidak akan mengajari menyanyikan lagunya.” Kak Asma mencoba menghalau teman-temanku yang sedang asyik bercanda dan ngobrol.
           
Mendengar kata-kata kak Asma barusan, teman-temanku yang tadi sedang bercanda spontan diam dan mulai memperhatikan kak Asma lagi.
           
“Ya sudah, makasih untuk tidak bercanda dan mengobrol lagi. Sekarang semuanya diam dan dengarkan kak Asma baik-baik!”
          
 “Rukun islam yang lima……”
           
“L-I-M-A” angka itu, seketika bayangan Deva dan teman-temannya menari-manari di otakku… wajah mereka yang seakan mengejekku, tatapan tidak suka mereka kepadaku….
           
“L-I-M-A” angka itu…. dan tanpa bisa kucegah bayangan Abi yang yang sore itu dipanggil Allah, air mata ummi yang menganak sungai dipipinya, dan jarum jam yang menunjukkan tepat ke angka L-I-M-A, benar-benar telah membuat dadaku sesak. Dan aku ingin menangis sejadi-jadinya. 
           
Kepalaku tiba-tiba menjadi pening seperti waktu aku habis kehujanan, tapi kali ini dua kali lipat lebih pening, sayup-sayup suara kak Asma masih bisa kudengar.
            
“Pertama bersyahadat, kedua kerjakan sholat lima waktu sehari…
“Yang ketiga berzakat …..door!

Kepalaku makin terasa pening, dan aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi lagi mendengarkan suara kak Asma.
            
“Keempat berpuasa…..
“Kelima pergi haji….. bagi orang yang mampu….”
           
Tepat, ketika kak Asma selesai menyanyikan lagu rukun islam itu, tubuh mungilku limbung ke samping dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

# # #

Ketika aku sadarkan diri, orang yang pertama aku lihat adalah ummi. Wajahnya yang selalu sabar itu tersenyum padaku. Selain ummi, aku juga melihat kak Asma yang sedang menggendong adikku Hafsah.

“Alhamdulillah Aisy, sudah siuman” kata ummi.
           
“Memangnya Aisy kenapa ummi?” tanyaku penasaran.
          
 “Kata dokter, Aisy kurang istirahat karena terlalu kecapean beraktifitas seharian ini,” jawab ummi.
           
Melihat kak Asma, aku langsung teringat dengan lagu yang tadi sore ia nyanyikan di TPA, rukun islam yang lima. Dan, ah….aku ingat sekarang. Kepalaku tiba-tiba terasa pening ketika aku mendengar angka lima itu.
           
“Ummi, kenapa seh rukun islam itu ada lima? Kenapa nggak enam saja, atau tujuh atau delapan…”
           
Ummi terlihat agak kaget mendengar pertanyaanku, begitu juga dengan kak Asma.
           
 “Aisy, ummi tidak bisa menjelaskan kenapa rukun islam itu jumlahnya ada lima, karena itu sesuai dengan hadist Rosulullah islam itu dibangun di atas lima tiang yang menjadi penyangganya yaitu, syahadat, sholat, puasa, berzakat, dan menunaikan haji bila mampu”
           
“Ummi, kenapa Rosulullah nggak menambahkan “ikhlas” menjadi rukun ke enam saja?” protesku tidak setuju.
           
Aku sebenarnya belum terlalu mengerti konsep “ikhlas” itu seperti apa,  aku hanya suka saja dengan kata-kata itu, ia seperti mengandung daya magic penghilang kesedihan. Dan menurutku, kalau “ikhlas dimasukkan ke dalam rukun islam, pasti nggak bakal ada orang muslim yang sedih lagi.
           
 “Aisy, walaupun, “ikhlas” itu tidak masuk kedalam rukun islam, tapi sebagai seorang muslim yang baik, kita juga harus senantiasa menanamkan sikap ikhlas itu dalam keseharian kita. Ya, seperti halnya kita harus bersabar kalau sakit, bersyukur pada Allah, bukankah bersabar juga tidak masuk rukun islam? tapi kita tetap harus bersikap sabar. Betul nggak?” ummi menjelaskan panjang lebar. Kulihat kak Asma ikut tersenyum mengiyakan kata-kata ummi.

“Tapi, Aisy tetap tidak suka pada angka 5, ummi!!”  aku membantah

“Memangnya kenapa Aisy tidak suka angka 5?” Tanya kak Asma. Dan dengan detail, akupun menceritakan alasanku membenci angka 5 sampai tadi sore kepalaku tiba-tiba terasa pening katika mendengar kak Asma menyanyikan lagu rukun islam yang 5 dengan menggunakan nada lagu balonku.

“Oh….jadi begitu ceritanya,” kata ummi sambil tersenyum.

Ummi kemudian mengelus kepalaku “ Aisy sayang, semua yang yang sudah ditakdirkan oleh Allah itu, harus kita terima dengan hati yang lapang, seperti ketika Allah memanggil Abi lebih cepat daripada kita, kita harus tetap menerimanya dengan lapang walaupun hati kita sedih. Dan ketika Aisy membenci angka 5 gara-gara angka lima itu sudah membuat Aisy sedih, itu berarti Aiys belum benar-benar menerima dengan lapang kepergian abi. Dan sekarang, ummi minta Aisy, tidak lagi membenci angka 5 ya! Sampai-sampai ingin menambah rukun islam menjadi enam. He…he….”

“Ummi, maafkan Aisy ya…! Kalau Aisy sudah merepotkan ummi,”
“Aisy juga minta maaf sama kak Asma, karena sudah merepotkan kak Asma mengantarkan Aisy pulang ke rumah”

“Tidak apa-apa sayang, ummi sayaang sekali sama Aisy” ummi memelukku dengan erat.

“Kak Asma juga bangga punya murid yang pintar seperti Aisy” kata kak Asma sambil tersenyum. Dan malam itu, aku lewatkan dengan sebuah doa kecil dalam hati.
“Allah, walaupun rukun islam tidak bisa ditambah menjadi enam, aku ikhlas kok, dan aku janji tidak akan membenci angka 5 lagi, salam untuk Abi ya Allah! Amiin…”

             

Ciputat. at kosan.
gambar dari sini: www.vemale.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar