Ini bukan cerita tentang seorang pemuda sederhana atau miskin yang
menolong putri cantik yang tersesat di hutan, yang kemudian saling jatuh cinta dan menikah dengan bahagia.
Bukan juga tentang pemuda miskin atau sederhana yang menyaru atau
dikutuk oleh dewa tapi sebenarnya ia adalah pangeran tampan dari kerajaan
sebrang.
Ini hanya sepotong cerita, yang aku lalui dalam episode hidup yang tidak pernah terterka skenarionya. Jangan, jangan bayangkan ini adalah cerita romance ala drama Korea, ini hanya benar-benar sepotong cerita tentang pemuda sederhana yang istimewa.
-----------------------------------------------------------------------------
Di dunia yang semakin dikuasai oleh materialisme ini, apa batas yang
membedakan antara manusia dan hewan?
Bagiku, kejujuran dan kepedulian adalah dua hal yang menjadi penanda
bahwa hewan berakal yang berjalan dengan
dua kaki itu disebut sebagai manusia seutuhnya.
Ya, bukan hanya akal yang membedakan manusia dan hewan, seperti yang
selama ini didengungkan di ruang-ruang kelas, karena sejatinya manusia
berintelegensi paling tinggipun, jika ia tidak jujur dan dan tidak memiliki
kepedulian ia hanya akan menjadi hewan berakal yang berjalan dengan dua kaki.
Bukankah label “tikus” untuk koruptor atau”buaya” untuk para penegak hukum yang
tidak amanah adalah bukti bahwa saat manusia tidak lagi memiliki kejujuran dan
kepedulian, sejatinya ia tidaklah berbeda dengan hewan-hewan yang selama ini
dianggap tidak berharga.
Tapi
sayangnya, di zaman yang mendewakan
materialisme dan kepentingan pribadi menjadi kompas kebanyakan orang, hanya
segelintir orang atau bahkan satu
berbanding seribu yang tetap menjadi berlian di tengah pusaran lumpur
materialisme dengan tetap memegang teguh kejujuran dan kepedulian di dalam
dirinya.
Dan
hari ini, aku menemukan sebongkah berlian itu, seorang pemuda sederhana yang
tidak bermobil apalagi memiliki jabatan dan kekuasaan, ia hanya pemuda
kebanyakan yang mungkin bekerja serabutan. Tapi kejujuran dan kepeduliannya
telah menempatkan dirinya di kursi mulia dan terhormat seperti apa yang dituturkan
Ali bin Thalib r.a.
Dan
sepotong cerita ini, dimulai dari sini,
Pagi
kemarin, tiba-tiba saja menjadi pagi yang rusuh bagiku, betapa tidak, dompet
polkadot putihku yang berisi KTP, ATM, dan surat-surat berharga lainnya, juga
uang sebanyak dua ratus ribu, ternyata tidak ada di dalam tasku. Aku mencari di
kantong-kantong plastik yang semalam aku bawa, bertanya pada emak juga adikku
yang memang suka iseng, dan menelpon bapak, siapa tahu dompetku itu jatuh atau
tertinggal di dalam mobil yang mengantarkan kami pulang dari acara wisudaan
pamanku. Tapi hasilnya, NIHIL. Dompetku raib entah dimana.
Aku
mencoba mengingat-ingat, dimana terakhir kali aku membuka dompet tersebut, dan
ingatanku melayang ke tempat kaki lima penjual buah yang kami singgahi pulang
dari Monas dan acara wisuda itu.
Ya,
tidak salah lagi, dompetku pasti tertinggal atau mungkin terjatuh di tempat
kami membeli buah-buahan untuk sekedar buah tangan orang rumah. Tapi,
malangnya, tempat jual buah itu sangat jauh dari sini yaitu di perempatan
Cikande Serang, lewat Jayanti Balaraja. Aku juga sangsi, jika memang dompetku
tertinggal disana, apakah dompet itu masih selamat? Atau masih ada di
tempatnya? atau sebaliknya, ditemukan oleh orang yang lewat yang tidak jujur,
diambil uangnya dan dompetnya dibuang di
sembarang tempat.
Namun,
aku tetap akan menyusulnya kesana, apapun yang terjadi, tidak peduli apakah
dompetku itu sudah hilang ataukah masih ada. Aku bergegas mandi dan menghubungi
pamanku untuk minta diantar ke tempat penjual buah itu.
Tapi,
ketika aku sedang bersiap-siap berangkat, Hp ku berdering, ada panggilan masuk
dari nomor yang tidak dikenal. Aku mengangkatnya, bercampur dengan suara kresek-kresek karena sinyal yang kurang
bagus mungkin, samar aku mendengar bahwa laki-laki yang menelpon itu mengaku
bahwa ia telah menemukan dompetku. Spontan aku berteriak girang dan mengucapkan
terimakasih padanya. Maka pagi itu juga, aku segera meluncur ke Cikande Serang,
mengambil kembali dompet polkadotku.
Di
perjalanan, aku terus memikirkan laki-laki bernama Asep itu. Betapa jujurnya,
betapa pedulinya ia, susah payah menelponku, merelakan pulsanya hanya untuk
berusaha mengembalikan dompetku. Padahal, kalaupun ia mau tidak peduli atau
bahkan berlaku tidak jujur, ia bisa saja mengambil uang yang ada di dompet tersebut,
kemudian membuang dompetnya jauh-jauh tanpa harus repot menelpon pemiliknya,
bisa saja bukan? Dan tentu saja tidak akan ada yang tahu, kecuali yang Maha
Mengetahui. Tapi ternyata, ia memilih untuk menjadi berlian dengan kejujuran
dan kepeduliannya itu.
Saat
aku sampai di tempat penjual buah dan bertemu dengannya, di luar dugaanku, ia
adalah seorang pemuda sebaya murid-muridku kelas XII atau mungkin yang baru
lulus SMA. Badannya tidak terlalu tinggi, dengan rambut sedikit ikal yang
terlihat jarang disisir. Tapi, walau demikian, aku sungguh-sungguh
menghormatinya atas kejujuran dan kepeduliannya. Sejak di perjalanan, aku sudah
merangkai beberapa kata betapa kejujuran dan kepeduliannya tidak bisa terbalas
dengan uang berapapun, tetapi, kata-kata itu hanya menggantung di benak tanpa
sempat keluar melewati mulutku, maka yang aku ucapkan hanya terima kasih yang
berkali-kali padanya. Dan akupun pamit pulang.
Lewat
satu kilometer, aku bahkan sudah lupa pada wajahnya, namun, apa yang telah ia
lakukan terpahat abadi di memori ingatan.
----------------------------------------------------------------------
“Orang yang
suka berkata jujur akan mendapatkan 3 hal, yaitu : KEPERCAYAN, CINTA dan RASA
HORMAT”
(Sayidina Ali
bin Abi Thalib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar