Dalam
bahasa sunda,munggah bermakna naik,
itu sebabnya masyarakat sunda menyebut naik haji dengan munggah haji. Bagaimana dengan munggahan?Tidak
jauh berbeda, munggahan juga bisa diartikan sebagai naik, tetapi masyarakat
sunda menggunakan kata munggahan
untuk sebuah tradisi menyambut bulan Ramadhan dengan melakukan berbagai
kegiatan seperti ngaliwet atau bacakan, ziarah juga adus
atau mandi di sungai. Dan tradisi ini, dilakukan sehari sebelum bulan
Ramadhan.
Tahun
ini, aku memutuskan untuk merayakan munggahan dengan murid-muridku di kampung mereka di kumpay. Kami berencana mengunjungi curugnya yang
terkenal itu.
Pukul
10 pagi kami berangkat dari rumah dengan berkendara motor. Aku di bonceng sudirman, sedangkan oji
membonceng cici. Dari Sajira, kami hanya berempat, karna Utas, tidak jelas kabarnya.
Tapi Kami berangkat kesana dengan dipandu unang dan ajiji yang orang sana.
Pukul
11 kurang, kami sampai di pasar ciminyak kecamatan muncang, dan berhenti dulu untuk
membeli ikan dan keperluan lainnya.
Pukul
11 lewat, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung kumpay. Sebenarnya, Kumpay
sendiri masih termasuk dalam kecamatan Sajira, tetapi jalan yang kami lalui adalah
jalan raya Muncang-Sobang karena kumpay memang berbatasan langsung dengan
kecamatan muncang.
Dari
pasar ciminyak, kami melewati beberapa kampung yang termasuk ke kecamatan
muncang, seperti kampung Guha yang terkenal dengan tanjakan mautnya karena sering
terjadi kecelakaaan, baru beberapa bulan kebelakang, aku melewati jalan yang sama untuk menengok salah
satu muridku di Sobang yang menjadi salah
satu korban tergulingnya Mobil PS yang ditumpanginya di tanjakan tersebut. Beruntung
tak ada korbang jiwa, walaupun selama beberapa pekan, Mobil yang juga hampir
terbakar itu nangkring tidak berdaya di tanjakan tersebut.
Tidak lama dari tanjakan maut gunung Cupu, kami belok ke
Kiri memasuki jalan beraspaltipis yang lebih kecil. Rumah-rumah semakin jarang,
dan hanya pepohonan yang berbaris bisu di kanan Kiri jalan.
Lalu
sampailah kami di turunan berbatu yang curam. Turunan kumpay yang terkenal
karna kecuramannya. Turunan atau tanjakan Jatake namanya. Namun dari kejauhan,
terhampar perbukitan yang hijau dan pesawahan yang mulai dibajak dan ditanami.
Karena
ngeri, aku menutup mata saat motor mulai menuruni turunan berbatu itu. Untungnya,
Nde sapaan akrab sudirman, adalah orang yang sudah teruji dalam hal mengendarai
motor. Saat aku meminta turun saja, saking ngerinya melihat sisi kanan jurang,
dia melarangku untuk turun dan memintaku untuk bersikap tenang.
Setelah sport
jantung menuruni turunan berbatu itu, kami sampai di bawah dengan perasaan
lega. Tapi ternyata, tujuan kami belum sampai setengahnya.
Kami memasuki perkampungan yang berada di lembah dengan rumah-rumah berdekatan, kemudian kami melewati jembatan dengan sungai kecil yang jernih di bawahnya. Lalu kami keluar dari perkampungan penduduk dan melewati lereng gunung dengan sungai kecil mengalir di samping kanan kami. Beberapa kilometer di depan, barulah kami memasuki perkampungan kembali, kampung yang lebih besar dengan sungai melingkar di pinggangnya, menjadi pembatas alami dengan kampung di sebrang yang masuk kecamatan muncang. Dari atas motor aku melihat sebuah jembatan bambu beratap rumbia yang disanggah hanya dengan pohon kelapa, jembatan itulah yang menghubungkan antara kampung kumpay besar dengan kampung di sebrang.
Kami memasuki perkampungan yang berada di lembah dengan rumah-rumah berdekatan, kemudian kami melewati jembatan dengan sungai kecil yang jernih di bawahnya. Lalu kami keluar dari perkampungan penduduk dan melewati lereng gunung dengan sungai kecil mengalir di samping kanan kami. Beberapa kilometer di depan, barulah kami memasuki perkampungan kembali, kampung yang lebih besar dengan sungai melingkar di pinggangnya, menjadi pembatas alami dengan kampung di sebrang yang masuk kecamatan muncang. Dari atas motor aku melihat sebuah jembatan bambu beratap rumbia yang disanggah hanya dengan pohon kelapa, jembatan itulah yang menghubungkan antara kampung kumpay besar dengan kampung di sebrang.
Pukul
12, alhamdulillah kami sampai di tempat tujuan dengan selamat, yaitu rumahnya
Unang yang berada di kaki bukit. kampung ini berada di lembah dan rumah-rumah
dibangun di kaki perbukitan, hampir sebagian besar rumah berbentuk panggung
dengan dinding bilik bambu dan lantai kayu.
Kami
langsung disambut oleh ibunya Unang juga keluarganya Udi karena rumah mereka
berdekatan, dan mereka masih saudara atau keluarga besar.
Karna
tanggung dhuhur, kami tidak langsung berangkat menuju curug, jadi kami
beristirahat dulu, melepas lelah sambil ngobrol ngalor ngidul di rumah Unang.
Baru
sekitar pukul setengah dua, kami berangkat dengan membawa liwet dan ikan yang
ternyata sudah matang karena dimasakin oleh tetehnya Udi.
Dari
rumah Unang dan Udi, kami berjalan nanjak ke utara, melewati rumah-rumah warga
sampai akhirnya kami tiba di ujung kampung, dan berjalan naiklagi hingga area
pesawahan yang baru selesai dibajak. Aku memperhatikan sekeliling, dan sejauh
mata memandang, sawah-sawah terhampar luas dikelilingi oleh gunung yang hijau.
Setelah
Melewati pematang-pematang sawah, kami harus mendaki bukit yang dipenuhi oleh
pepohonan karet juga salak, kami beristirahat sebentar dan mengambil beberapa
salak, entah punya siapa.
Keluar
dari jalan bukit itu, di depan kami terhampar pesawahan kembali, bertingkat-tingkat,
melukis panorama yang indah. Kami melewati pematang lagi, sampai kami tiba di sisi
irigasi kecil dan berjalan terus lurus mengikuti irigasi tersebut.
Pesawahan mulai tertinggal di belakang, pepohonan besar
mulai nampak dari jarak dekat, sesampainya kami di girang atau irigasi yang besar, kami beristirahat dahulu sambil
menunggu Udi yang masih menyusul di belakang.
Sungai
kecil dengan batu-batu mengalir di bawah tanggul irigasi itu, pohon-pohon besar
memagarinya, kami benar-benar sudah mulai memasuki hutan yang lebat.
Tidak
lama Udi terlihat dari kejauhan, dan kamipun mulai melanjutkan perjalanan
memasuki hutan. Dari kejauhan terlihat asap yang membumbung hitam, lalu tak
lama ada orang yang memanggil-manggil kami. Aku agak kaget, karena sedari tadi
tidak ada orang yang lewat. Dan ternyata
mereka masih kerabatnya Udi yang sedang membuat biji cengkaleng dari getah
aren. Sebagian masyarakat kumpay memang ada yang memproduksi biji cengkaleng untuk dijual ke pasaran.
Kami
mendaki bukit lagi, dan Kali ini trek yang ditempuh lebih sulit, karna jalan
yang dilalui bukan jalan setapak yang setiap hari dilalui orang. Semak-semak
dan belukar yang tinggi terkadang menghalangi langkah kaki kami. Aku mulai
terengah, begitu pula dengan Cici, tapi ciri-ciri kami akan sampai rasanya
belum terlihat.
Namun,
di saat kakiku mulai menyerah untuk berjalan, dari Balik semak, suara gemuruh
itu terdengar, gemuruh air yang turun menghempas permukaan cadas di bawahnya.
Dari jarak dua Kali sepelemparan batu, aku melihat dengan megahnya, menjuntai
putih, bak selendang sutra raksasa, curug kumpay yang mashur itu dengan
ketinggian dua puluh meter lebih. Aku tak henti merapal tasbih, memuji
keindahan ciptaanNya ini, lelah yang tadi singgah, seketika lenyap.
Aku
langsung berlaridan menari di bawah juntaian putihselendangnya, dingin benang
airnya memercik di wajah, kaki, dan pori. Curug kumpay, akhirnya aku bisa
menggapai, selendangmu yang menjuntai.
Setelah
asik berselvi ria, daun pisang pun digelar di atas batu cadas yang menghampar
tidak jauh dari curug, nasi liwet dihamparkan di atasnya, ikan mas goreng di
sebar di atas nasi yg mengepul, kemudian sambal honje ditaburkan, menyusul
lalapan yang nampak Segar, nasi liwet dengan sambal honje pun siap menjadi santapan.
Kami
makan dimusiki oleh suara air yang jatuh menghempas cadas, suara burung
terdengar sesekali dari pepohonan di atas sana dan angin yang sejuk membelai tubuh
kami, saat makan, semuanya terdiam, khusyu
melahap nasi liwet, suasana jadi begitu sunyi, ini sungguh tempat yang
benar-benar membuat perasaan dan hati menjadi tenang dan damai.
Selesai
makan, kami membereskan sampah daun pisang dan membuangnya ke semak-semak. Pada
saat itu Udi bercerita padaku bahwa, tempat ini selalu bersih, bebas dari
sampah, walaupun hampir setiap minggu atau setiap hari jika musim liburan
sekolah orang-orang berdatangan dan menunda sampah di sana. Tetapi, anehnya
sampah-sampah itu seperti ada yang selalu membersihkan dan tidak meninggalkan
jejak. Mataku berkeliling memperhatikan sekitar, dan Udi benar, tidak ada
satupun sampah plastik atau kaleng belas minuman yang tercecer disana. Aku jadi sedikit merinding mendengar
nya. itu sebabnya, tadi Udi tidak bareng
kami berangkatnya dan menyusul di belakang, karna kata dia, dia habis meminta ‘sesuatu’
dulu ke saudaranya, semacam wafak atau tolak bala agar kami selamat. Makanya,
tadi pas baru sampai, Udi terlihat komat-kamit membaca sesuatu baru
mempersilahkan kami untuk foto-foto.
Selain
itu, Udi juga memperlihatkan atau menunjukkan kepada kami bahwa di atas cadas
sana, disamping air terjun, terlihat cadas yang membentuk seperti seraut wajah.
Kami mendongakkan kepala, dan benar, jika kita jeli memperhatikan, mata kita
akan menangkap seraut wajah terpahat di atas cadas sana.
Sehabis
makan dan ngopi, kami berfoto bersama dengan background curug kumpay. Setelah
puas bergaya dan berfoto ria, kami pun beranjak pulang, karna hari mulai sore. Jika
tadi, kami kelelahan karna mendaki, maka saat pulang kami justru lebih lelah, karna harus ekstra hati-hati
saat menuruni gunung dan bukit. Karna seperti kata iklan susu untuk tulang di tv,
saat kita menuruni tangga atau apa saja, kaki lebih berat menahan beban tubuh
kita dibandingkan dengan saat kita naik.
Kami
sampai di rumah Unang saat matahari mulai condong, dan adzan ashar sudah lama
lewat. Karna masih bersisa waktu, Udi mengajak kami ke sungai girang, karna
kata dia, pemandangan di sana sangat sayang jika dilewatkan.
Kamipun
berjalan kembali melewati rumah-rumah penduduk, melalui jalan sisi sungai. Di
sana, nampak anak-anak yang sedang mandi dan ibu-ibu yang sedang mencuci. Di
sebrang sungai, terlihat para pemuda kampung sedang bermain volley di lapangan
pinggir sungai yang dipagari jaring setinggi tiga kaki.
Kami
terus berjalan ke arah girang, dan ketika rumah-rumah penduduk sudah jauh, diganti
dengan pepohonan dan gunung di sebrang sungai, kami berhenti di sana. Sungai
yang mengalir dengan tenang itu tidaklah selebar Ciberang, hanya sepelemparan
batu. Tapi airnya sungguh lebih jernih karna batu-batu besar masih setia
menjadi penyaring dan menghiasi badan sungai. Masih kata Udi, Guide kami hari itu, warga kampung tidak
ada yang berani mengambil batu-batu kali itu kecuali untuk dipakai seperlunya,
seperti untuk membangun rumah, begitu pula dengan pasirnya, sepanjang jalan
tadi, kami tidak melihat ada orang yang menambang pasir di sepanjang sisi
sungai.
Aku
jadi teringat pada Ciberang, Ciberang yang malang, batu-batu dan pasirnya dijadikan
orang sebagai lahan bisnis, ikan-ikan kecilnya ditua, bahkan cadas-cadas berharga
yang terdapat tapak kaki bayi dan kaki kuda terpeleset digali dan dihancurkan oleh tetua kampung sendiri hanya
karna percaya pada wangsit bahwa di bawah cadas tersebut tersimpan harta karun
yang tidak terkira.
Ah, Ciberangku
yang malang, entah anak cucuku nanti masih bisa menikmati mandi dan bermain di
riakmu yang herangataukah tinggal
kenangan.
Saat
matahari telah hampir tergelincir di ufuk barat, kami pulang setelah menghabiskan
beberapa butir kelapa muda yang diambil Udi dari kebunnya.
Senja
mulai turun, kami berpamitan kepada keluarga Unang dan Udi. Dari kejauhan,
masjid-masjid mulai semarak dengan solawatan yang didendangkan anak-anak, Ramadhanpunmulai
menjejak di bumi.
selvi ngos-ngosan abis nanjak
melewati pesawahan
lelah itu terbayar sudah, saat melihat curug Kumpay yang menjuntai
(dari Kiri; Nde, cici, Oji n me)
(dari Kiri; Nde, cici, Oji, Udi n' me)
Udi Guide kami hari itu sedang menuangkan sambal honje di atas nasi liwet
Curug Kumpay yang menawan
menikmati nasi liwet dimusiki dengan gemericik suara air
it's time to leave
menjelang sore, perbukitan menjelma lembur singkur nan asri
menikmati dawegan di pinggir sungai