Karna kenangan tak bisa
bicara, catatan kecil ini dibuat, untuk bercerita pada dunia, bahwa pena mampu
menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh peluru dan anak panah.
Dari Sajira Hingga Gedung KPK
Kau
tahu, kawan?
Selain
Maha penyayang
Tuhan
juga hobbi
Memberi
kejutan
Bagiku lolos
seleksi pendaftaran teacher supercamp 2015 yang diadakan oleh KPK ini adalah
sebuah hadiah, sebuah kejutan dari Tuhan tepat saat batang umurku menggapai
angka 26. Maka saat malam
minggu jam 10 malam aku menerima SMS dari panitia bahwa aku lolos sebagai peserta
teacher supercamp yang diadakan di Jakarta dan lembang selama 5 hari, spontan
aku berteriak kegirangan, ber yes ria
sambil melompat-lompat di ruang tengah rumahku. “asyiik bisa jalan-jalan ke
lembang “
Jalan-jalan, refreshing, senang-senang,
itulah bayangan – bayangan yang muncul di benakku. Walau pun aku tahu ini bukan sekedar jalan-jalan biasa, karna para
peserta sendiri akan mengikuti semacam pelatihan workshop bersama para penulis
keren seperti mas Golagong, Pidi Baiq penulis novel dilan, Ahmad Fuadi penulis
novel negeri Lima menara, Beng Rahardian komikus terkenal, juga Pa Iman Sholeh (aku belum familiar
mendengar namanya).
H-3 sebelum
keberangkatan, aku dilanda kebingungan karna dua hal, pertama aku tidak punya
laptop dan bingung harus pinjam ke siapa, kedua aku gak punya tas travel untuk mengangkut
baju-baju dan keperluanku selama disana dan aku juga bingung mau pinjam ke
siapa. Tapi untungnya hari juma’t aku dapat pinjaman tas travel warna hijau
lumut dari sodara jauhku walaupun penarik resleting tasnya diganti dengan kawat
oleh ibuku, karna memang sudah copot, aku tetap bersyukur, setidaknya satu
kendala telah terpecahkan.
Malam senin,
aku menelpon adikku apakah laptop dia dipakai atau tidak, dia bilang dipakai,
itu berarti mau tidak mau aku harus bawa laptop Bapak yang kondisi fisiknya
cukup mengenaskan, sejujurnya aku sempat bersedih bahkan menangis memikirkan
bahwa betapa miskinnya aku, bahkan laptop pun aku tidak punya, tidak mampu
membeli, padahal sudah hampir 5 tahun aku mengajar, sampai kemudian ibuku masuk
ke kamar dan menghiburku, dia bilang “ku
emak didoakeun supaya eka menang kabagjaan diditu, ntos geura
bawa bae nu aya “
Saat aku
mendengar doa sederhana itu, aku sungguh tidak berpikir atau membayangkan
kebahagiaan macam apa yang akan aku dapat disana, bertemu dengan pangeran
belahan jiwa? Haduuuh itu malah terlalu di awang-awang, jadi aku segera menghapus
air mata dan bergegas berkemas memasukan baju-baju dan barang-barang
keperluanku ke dalam tas travel pinjaman itu, dan ajaib, hatiku kemudian
menjadi ringan dan aku bersiap berangkat dengan tas, baju, dan laptop seadanya.
Pukul 6 pagi
aku sudah sampai di Jakarta, udara masih bersih dan belum ternoda oleh asap
kendaraan yang memadati jalan, aku numpang
Mobil sodara jauhku dan diturunkan di halte busway UNJ karna rencana aku mau ke
kosan adikku dulu untung numpang Mandi, sarapan, dan mencari keperluan yang belum sempat terbawa.
Aku menyeret
tas travelku melewati jembatan penyebrangan, tersuruk-suruk saat menaiki
tangganya, dan terengah-engah saat menuruninya kembali. Beberapa pedagang dan
orang-orang tua yan mengantarkan anak-anaknya ke sekolah labschool UNJ mungkin
terheran menatapku yang pagi-pagi sekali sudah menyeret-nyeret koper, berpakaian
lusuh, dengan wajah bangun tidur, tapi aku tidak peduli, sampai akhirnya aku
melihat bemo yang melintas dari arah gedung fakultas bahasa dan seni, aku
menyetopnya dan langsung memintanya mengantarkanku ke kosan adikku yang berada
di komplek PJKA.
Alhamdulillah sampailah
aku di kosan adikku dan langsung menyuruhnya membawakan tas koperku, disana aku
mandi, sarapan, dan ke pasar mencari keperluan yang masih kurang. Pulang dari pasar kami mencegat taksi
untuk mengantarkanku ke gedung KPK. Saat itu adalah pukul 9, taksi yang aku
tumpangi mulai keluar dari komplek kosan adikku dan membelah jalanan kota menuju
gedung KPK yang sedang menungguku.
Aku bersyukur untuk dua hal, pertama
jalanan yang tidak macet, kedua ongkos taksi yang terbilang cukup murah dikarnakan
tidak macet itu. Aku sampai di gedung yang hampir tiap hari masuk TV ini
sekitar jam setengah 10 pagi, debu Jakarta menyambutku, dan aku mulai menaiki tangga
yang sangat terkenal itu, tangga loby gedung KPK tempat para tersangka dan
terdakwa koruptor memasang muka pura2 bersedih dan menyesal di depan kamera TV,
tangga yang juga pernah dijejaki oleh mantan gubernurku yang jelita dengan
memakai rompi orange namun tetap fashionable dengan sepatu boots yang dibelinya di luar negeri.
Aku terdiam beberapa
saat di atas anak tangga yang sama, menarik nafas panjang, dalam hati aku
berbisik “ah, ibu ratu, hari ini aku datang jauh-jauh dari Sajira kampungku dan
bisa berdiri di atas anak tangga lobi KPK yang pernah ibu jejaki juga , karena puisi
yang aku tulis tentangmu, ya tentangmu, ibu”.
Aku tidak
pernah menyangka, dari Sajira kampungku di Lebak sana, bisa menjejakkan kaki di
gedung ini, gedung KPK, hanya dengan bermodalkan puisi, bermodalkan kata-kata. Maka perjalananku dari Sajira hingga KPK adalah
perjalanan kata-kata, dan
aku tak sabar menemukan hal-hal baru, teman baru, keluarga baru dalam
perjalanan istimewa ini.
👘
Another Surprise ; actually my roommate is …
Jika Shakespeare pernah berkata “what’s
in a name?” atau apalah arti sebuah nama? maka aku ingin meneriakan keras-keras
quote itu saat pertama Kali bertemu dengan teman sekamarku di lembang
ini. Ya, apalah arti sebuah nama?
Saat pertama Kali membaca daftar peserta
yg lolos dan teman yang
sekamarku yang sudah ditentukan oleh panitia, hal pertama yg muncul dalam bayanganku
adalah seorang perempuan sebaya, berambut
lurus panjang, berkaki jenjang, berkulit putih menawan, dan non muslim, karna dari
nama yg tertera di list peserta, ia bernama Natalia Rumanti Hartono asal
Jakarta. Tapi selang Lima menit aku membaca Email list peserta, ada SMS masuk
dari orang yang mengaku teman sekamarku itu, dan perkenalanpun dimulai, tapi
kemudian bayangan-bayangan yang tadi sudah muncul langsung blur dan hilang,
digantikan oleh bayangan-bayangan baru yang jauh berbeda, karna ternyata teman
sekamarku itu sudah menikah, berumur 42 tahun, dan sudah memiliki enam orang anak.
Dalam kepalaku langsung tergambar bayangan
ibu-ibu gemuk berlemak, mulai keriput, rambutnya sebahu dan agak keriting, dan
orangnya rame dan supel. Hanya satu hal
yang aku yakini, ia pasti adalah orang yang sangat baik karna ia cerita kalau
ia juga pernah berkunjung ke Lebak untuk kondangan
ke tempat orang yang pernah kerja di rumahnya waktu khitanan anaknya. Aku
pikir, seseorang yang mau datang jauh-jauh dari Jakarta ke kampung Cuma untuk
kondangan ke orang yang pernah kerja di rumahnya adalah sangat langka sekali
hari ini, dan pastinya ia bukan orang yang biasa.
Aku ingat
sekali apa kata emak, saat aku bilang sepertinya teman sekamarku ini adalah non
muslim, emak bilang “teu nanaon beda
agama geh nu penting mah saling menghormati, urang teu ngaganggu, itu teu
ngaganggu ka urang” yang artinya seperti ini, “tidak apa-apa beda agama
juga, yang penting saling menghormati, kita tidak mengganggu mereka, dan mereka
tidak mengganggu kita”. Aku mematri kuat-kuat kata-kata emak tersebut bahwa perbedaan tidak bisa dijadikan alasan
untuk bermusuhan. 😀
Pukul 11.
30, peserta yang sudah datang dipersilakan
untuk makan siang oleh panitia, saat sedang menyantap makan siang itulah, seorang
ibu muda yang cantik, dan BERJILBAB rapih, tiba-tiba masuk ke ruangan dan
langsung bersay hello menyapa
semuanya, ternyata itu adalah Bu Natalia, orang yang yang akan menjadi teman
sekamarku selama di Lembang. Ternyata
aku lalai satu hal, aku tidak membaca dengan rinci di daftar peserta bahwa
teman sekamarku ini mengajar di MAN 9 Jakarta, jadi sudah pastilah ia seorang
muslim walaupun namanya Natalia. So, what's in a name? Apalah arti
sebuah nama?
me and my best roommate, Bu Natalia
👑
SanGria, a little peace of paradise
Kami sampai
di lembang sekitar pukul delapan, aku hanya tertidur sebentar di bis karna
sisanya aku asyik mengobrol dengan Bu Natalia, ia memberiku sebuah hadiah yang
memang sudah ia persiapkan sejak dari rumah untuk orang yang menjadi teman sekamarnya
di Lembang, yaitu sebuah alquran hafalan. Aku
langsung terharu menerimanya, dan malu karna pastinya aku tidak bisa
membalasnya, aku tidak menyiapkan hadiah atau cindramata apapun untuk teman
sekamarku.
Saat bis mulai memasuki jalan masuk atau
gang menuju resort yang kami tuju, dari kejauhan sebuah nama yang terukir
dengan rumput di dinding dan diterangi lampu sorot bagai menyambut kami dengan
seulas senyum, SanGria Spa and Resort. Bus pun berhenti di pekarangan
resort yang remang, tapi spanduk yang digantung di salah satu ranting pohon,
menyambut kami seakan kami adalah para pahlawan atau pejuang, bagaimana tidak?
Spanduk itu berbunyi “selamat datang para pejuang peradaban, peserta teacher
supercamp 2015”. Saat kakiku turun dari Mobil aku seolah merasa berada di
negeri dongeng, dan benar-benar merasa menjadi seorang pahlawan yang baru
pulang dari Medan perang.
Kami langsung dipersilahkan menuju ruang
makan untuk makan malam. Ruangan itu berada di bawah, cukup luas dengan kursi-kursi
dari rotan yang ditata sedemikian rupa, penerangan ruangan yang sengaja ditata
temaram sehingga menimbulkan kesan eksotis dan romantis, sangat cocok untuk
pasangan yang ingin candlelight dinner. Kaca jendela yang memagari
hampir setengah ruangan yang menghadap ke luar, benar-benar membuat kita betah
berlama-lama untuk sekedar memanjakan mata melihat pemandangan pegunungan dan
bukit di kejauhan sana.
Selesai makan, panitia membagikan tablet
dan kunci kamar pada masing-masing peserta. Pemberian tablet ini sesuai dengan
apa yang tertera di brosur teacher supercamp bahwa 25 peserta yang lolos
seleksi pendaftaran akan mendapatkan sebuah tablet.
Aku dan ibu Natalia mendapatkan kamar Nomor
115, yang letaknya paling dekat dengan lobby dan meeting room, dan yang
paling penting adalah berada di lantai atas, jadi saat kami keluar balkon, kami
langsung bisa melihat gunung, perbukitan, pepohonan, dan lampu-lampu yang
seperti kunang-kunang di kejauhan pada malam hari. Karna lelah, kami langsung
istirahat dan membaringkan tubuh di atas kasur dan bantal yang empuk sekali,
satu hal, ternyata lembang sekarang tidak sedingin apa yang kubayangkan,
entahlah mungkin karna berkurangnya pepohonan, atau juga karna global
warming.
Akupun
memejamkan mata, berharap mimpi yang indah segera muncul, namun entah kenapa,
baru pukul dua pagi aku bisa terlelap dan beristirahat, entah karena euforia
yang berlebih, ataukah karna takut, karna baru menempati tempat asing, aku
tidak peduli.
Saat hari
berganti, dan matahari datang dengan wajah lebih cerah, aku bisa melihat keseluruhan pemandangan SanGria,
aku hanya bisa bersyukur bahwa aku diberi kesempatan oleh tuhan untuk
menjejakkan kaki dan menghirup udara di tempat indah seperti ini, a liitle peace of paradise.
👒
The First Amazing Day in Lembang
Hari kedua teacher supercamp dan hari
pertama di lembang, adalah hari yang hebat, the amazing day for me. Hari
itu kegiatan TSC ini
adalah workshop dengan para pemateri hebat dan keren.
Pemateri pertama adalah Ahmad Fuadi
penulis novel negeri Lima menara yang sudah difilmkan itu loh. Novel
yang membahas tentang kehidupan di pondok modern. Ada banyak hal menginspirasi juga
pelajaran yang berharga dari penulis alumnus gontor ini, bahwa tulisan, bisa membawa kita kemana saja dan
yang paling penting adalah membuat kita abadi, bukan berarti kita akan awet
muda atau panjang umur sampai 1000 tahun, tapi karna tulisan yang bisa
menginspirasi, bisa membuat nama kita terus
abadi dan dibaca orang bahkan melampui jatah umur kita yang diberikan tuhan.
Maka aku membuat kesimpulan bahwa guru yang menulis adalah guru yang abadi.
Jadi, jika ingin hidup abadi, menulislah.
Berbeda
dengan pemateri yang pertama, yang lebih terstruktur dan runut, juga bergaya
seorang motivator, pemateri kedua yaitu Pidi Baiq, memiliki gayanya tersendiri,
ia adalah bukti nyata seorang manusia yang out of the box, mulai dari
cara berpikir, berbicara, menjalani hidup, dan berkarya. Jika orang kebanyakan berbondong-bondong pergi
ke pantai untuk melihat sunset, maka ia cukup naik ke atas pohon yang tinggi
untuk melihat sunset, sederhana, tidak neko-neko, tidak banyak berpatokan pada
teori walaupun jalan yang ia pilih kebanyakan juga di luar kebiasaan orang pada
umumnya. Itulah pidi baiq.
Bagi ayah Pidi
, sapaan akrabnya, kreatif itu adalah
selalu berusaha menjadi lebih baik dari kemarin, dan satu hal yang akan selalu kukenang
adalah saat ia bercerita pada anaknya “nak, tidak ada di dunia ini orang yang
suka sekolah, tapi walaupun demikian kau harus tetap sekolah, untuk apa? Bukan untuk belajar rumus matematika atau
belajar mengeja, tapi untuk mencari teman, berkawan, dan belajar bagaimana kau
marah, kesal sekaligus juga bagaimana cara menghadapi kawanmu yang marah, benci
ataupun kesal pada kau”
Ya, sekolah hanya sesederhana itu bagi Pidi
Baiq. Karna alasan dia, jika ia ingin anaknya itu pintar matematika atau bahasa
inggris , bukan hal yang sulit mengajarinya sendiri di rumah tanpa harus
menyuruhnya bersekolah.
Materi selanjutnya diberikan oleh
komunitas SPAK bandung yaitu kepanjangan dari saya perempuan anti korupsi, jadi
pematerinya perempuan semua. Inti dari materi ini adalah, bahwa perempuan punya
peranan penting dalam mencegah dan memberantas korupsi, terutama para ibu rumah
tangga sebagai seorang istri juga sebagai pendidik pertama anak-anak di rumah.
Pada sesi
ini, tidak banyak materi yang disampaikan, tetapi lebih kepada praktik
bagaimana nilai-nilai anti korupsi disosialisasikan
pada lingkungan keluarga, tetangga, dan masyarakat pada umumnya melalui
pendekatan yang menarik dan tidak berkesan menggurui yaitu melalui permainan
atau games. SPAK bekerja
sama dengan KPK merancang berbagai jenis permainan tentang nilai-nilai anti
korupsi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selepas ashar, materi berikutnya yaitu
tentang kurikulum berbasis literasi yang disampaikan oleh Bapak zulfikri anas
staf ahli kemendikbud. Walaupun bagiku materi yang terakhir inilah yang agak
membuat otak mulai bosan, atau mungkin juga karena aku tidak terlalu suka pada
pembahasan menyangkut
kurikulum, tapi tetap ada yang bisa kudapat, bahwa kurikulum adalah janji, janji
pada anak-anak didik kita bahwa mereka akan bisa memiliki kompetensi-kompetensi
yang mereka harapkan dan inginkan untuk menunjang masa depan mereka kelak.
Ternyata, hanya sesederhana itu, pengertian dan makna kurikulum yang sebenarnya, tidak peduli itu kurikulum tingkat
satuan pendidikan, ataupun kurikulum 2013, kurikulum adalah janji yang dipenuhi
oleh guru, kepala sekolah, juga pemerintah pada anak-anak kita, penerus generasi
Indonesia mendatang.
Malamnya setelah isya, alhamdulillah
tidak ada lagi materi, hanya sesi perkenalan dengan para mentor yang akan
membimbing kita 3 hari kedepan. Kami membuat lingkaran sambil duduk lesehan di
atas lantai dan satu persatu mentor pun memperkenalkan dirinya.
Yang pertama
dan tidak biasa adalah Pak Iman Sholeh, berpakaian serba hitam dengan ikat
kepala badui, ia membacakan sebuah puisi yang sangat panjang, intonasi yang
jelas, mimik wajah dan ekspresi yang kuat, juga sorot atau tatapan mata yang
tajam, membuat seisi ruangan terdiam, terhipnotis oleh penampilan beliau, sampai
beliau selesai membacakan puisinya tentang anak burung itu, tepuk tangan penuh
kekaguman berderai dari semua orang. baru kemudian ia memperjenalkan dirinya,
bahwa ia asli bandung, enam belas bersaudara, seorang dosen, dan memiliki taman
kesenian yang diberi nama CCL celah-celah langit di halaman rumahnya. Dan beliau lah yang akan menjadi mentor kami, kelompok puisi dan
naskah drama selama tiga hari kedepan.
Perkenalan yang kedua adalah dari mentor
cerpen dan esai yaitu mas Golagong, aku sendiri sudah lama mengenalnya karena
aku alumni kelas menulis rumah dunia angkatan 22 yang diasuh beliau di serang. Mas
gong mengawali perkenalannya
dengan cerita kronologis kecelakaaan yang menimpanya waktu kecil hingga membuat
lengan kirinya harus diamputasi. Tapi, karna ia memiliki seorang Bapak yang
hebat, yang membentuknya menjadi seorang atlet buku tangkis, juga membelikannya
banyak buku bacaan, dengan begitu Mas Gong tumbuh menjadi seorang atlet, dan
juga penulis terkenal dan lupa bahwa ia hanya punya satu tangan. Menurut
beliau, menulis membuatnya lupa bahwa ia hanya memiliki satu tangan.
Perkenalan
yang ketiga, yaitu dari mentor yang seorang komikus, Beng Rahardian, ia juga
bercerita bahwa waktu kuliah di Institute Kesenian Yogyakarta, ia rela menunda
kelulusannya sampai enam tahun hanya untuk bisa mengikuti mata kuliah komik
yang baru dibuka saat ia semester terakhir. Pengorbanan yang luar biasa demi sebuah
cita-cita yang pada zaman itu, masih jarang sekali diminati, karna pasar komik
di Indonesia saat itu masih didominasi oleh
komik-komik luar negeri.
Di kamar yang nyaman malam itu, aku menutup mata untuk istirahat dengan perasaan
penuh rasa syukur, terimakasih Tuhan atas hari yang menakjubkan ini.
👠
Day Two at Lembang ; saat cinta menjadi puisi
Hari kedua,
aku mengenaskan blouse kuning andalan yang dibeli waktu lebaran kemarin,
dan tanpa tanpa sengaja bu Lia pun memakai baju batik warna senada, maka
jadilah hari kedua kami di SanGria mengenakan warna baju yang mirip setelah
kemarin warna merah. Saat turun ke ruang makan untuk sarapan, sukseslah kami
berdua membuat peserta perempuan lain berdecak heran kenapa dari kemarin kami
berdua selalu kompak dalam hal pakaian.
Setelah
sarapan, kelompok puisi dan naskah drama tidak lagi menggunakan meeting room utama,
tetapi pindah ke ruang di sebelahnya, yaitu ruang rapat yang ukurannya lebih kecil namun tetap nyaman, dan yang terpenting
memiliki balkon yang jika malam langsung tergambar pemandangan lampu kota bandung
di kejauhan seperti barisan kunang-kunang yang beterbangan.
Pa Iman
mendahulukan kelompok puisi dalam memberi penjelasan dan pengarahan, yang
intinya hari ini tugas kami adalah memperbaiki puisi yang waktu itu sudah
dikirimkan ke KPK, juga kami diminta untuk menulis atau membuat puisi lagi, minimal
dua buah puisi, supaya setiap orang nantinya menghasilkan Lima buah puisi,
Begitu kata pak Iman. Selesai
pengarahan, kami dipersilakan untuk memisahkan diri keluar ruangan, bahkan kami
boleh menempati saung-saung yang ada di taman bawah dekat dengan kolam renang.
Jadilah kami
berlima, aku, bu Natalia, bu Rizyanti dari lampung, Bara Pattyradja dari NTT
Flores, dan Khoirul Umam dari sumenep Madura, ‘turun gunung' menuju saung-saung
di taman bawah yang asri itu hanya untuk menulis puisi.
Bagi Bara dan
Khoirul Umam, mungkin hari ketiga ini tidaklah terlalu sulit, karna bagi mereka
kata-kata dan diksi yang indah tinggal memungut seenak mereka saja di
benak-benak mereka, ya mereka memang sudah disebut sebagai penyair, Bara
Pattyradja sendiri sudah menerbitkan 3 buah buku puisi karyanya sendiri, Belum
puisi –puisi yang tersebar di media-media bergengsi seperti kompas, tempo dan
lain-lain. Khoirul Umam juga tidak jauh berbeda, puisi-puisinya telah tergabung
di antologi-antologi puisi bergengsi seperti Negeri Poci, juga di berbagai media
nasional.
Sedangkan
kami bertiga, para ibu-ibu, termasuk aku, harus melipat dahi, berpikir keras,
hanya untuk mencari kata yang tepat atau sepenggal kalimat di bait puisi kami. Saking seriusnya, kami bahkan terlambat untuk makan siang, pokoknya hari itu
sungguh-sungguh melelahkan. Hari itu, Kami benar-benar turun gunung dalam arti
yang sebenarnya. Saat petang, kami diminta berkumpul kembali di ruangan rapat
untuk menyetor puisi yang sudah direvisi dan puisi yang baru.
Mendung nampak bergelayut di sisa sore
itu, disertai gerimis yang jatuh dengan enggan dari awan. Tiba giliranku
menyetorkan karyaku pada pada pa Iman. Aku membuka laptop Bapak yang usang, dan
memperlihatkan puisi yang sudah aku tulis dengan penuh perjuangan itu. Beliau
membacanya dengan takjim, dan mulai memberikan masukan-masukan padaku. Untuk
puisi lamaku, aku tidak banyak merevisi, hanya membuang beberapa kata sambung
yang tidak perlu, sesuai yang dijelaskan pa Iman tadi pagi. Dan tarraaa!!😁 ternyata
aku menulis sampai empat buah puisi yang baru selama tadi siang. Entah
inspirasi atau kekuatan dari mana, aku juga tidak tahu, yang jelas aku hanya
ingin menumpahkan apa yang ada di hati dan pikiranku saat itu.
keempat
puisi baruku itu, semuanya berbicara tentang daerahku, Banten, tentang korupsi
yang bagaikan kurap menutupi tubuhnya yang kini ringkih dan berdebu. Dan alhamdulillah, menurut pa Iman,
puisi-puisiku bagus, beliau bilang, kenapa tidak coba mengirim ke media? Aku
hanya tersipu malu dan tak bisa berkata-kata. Ah, pak, dalam lamunan paling liarpun, aku bahkan
tidak pernah membayangkan puisiku akan bisa terpampang di media. Aku sungguh
masih buta bagaimana caranya menulis puisi yang indah, tapi aku menyukai setiap
proses belajar itu, aku sungguh suka belajar menulis puisi.
Magrib mulai
jatuh ke bumi, dan sisa sore yang langka itu, aku merasa bukan bertemu dengan
seorang mentor, tapi seorang guru yang sangat tulus, lewat kata-kata dan sikapnya
aku bisa merasakan ketulusan yang damai yang terpatri kuat di hatinya dan
terpancar indah lewat laku dan sikapnya.
Setelah
makan malam, mentoring dilanjutkan dengan sesi latihan baca puisi yang tadi sore
sudah disetorkan, Karna malam besok, kami akan tampil di CCL. Mendengar kabar
itu, hatiku langsung berdegup dengan keras, dari dulu, dari sejak masa sekolah,
aku paling alergi pada yang namanya baca puisi di depan orang banyak. Karna aku memang tidak bisa tampil baca
puisi, sejauh ini aku hanya suka belajar menulis puisi, tapi tidak untuk
membacakannya di depan orang. Tapi, aku sadar, justru sekaranglah kesempatan
itu datang, kesempatan untuk belajar membacakan puisi Dan aku tidak boleh menyia-nyiakannya hanya
karena malu atau tidak bisa.
Akhirnya tiba giliranku untuk maju ke depan
dan membacakan puisiku. Kutepis malu dan Kuteriakan kata-kata, dan rasanya
sungguh bagai melompat dari cadas dan terjun bebas ke permukaan sungai yang
dingin. Satu hal yang aku ingat malam itu, kata –kata pa Iman yang terus
mendengung di hatiku. Saat ia memanggil namaku untuk maju, ia berseloroh ‘eka
namamu eka sajira saja ya! Biar suatu saat kamu menjadi seseorang, nama daerah kamu
menjadi penting, jadi mari kita panggil eka sajira’. Saat aku mendengar
nya, aku mengamininya dalam hati. Karna Aku menganggapnya sebagai doa dari
seorang guru yang tulus, doa sederhana yang juga tulus untukku yang sungguh
bukan siapa-siapa ini.
Selesai
mentoring di ruang rapat, kami melanjutkan latihan baca puisi di kamarnya Bara dan
Umam, disana kami habis-habisan dikomentari, diberi masukan, dan diberi contoh
oleh mereka berdua bagaimana cara membaca puisi yang baik. Pelan tapi pasti, kami berlima jadi
semakin dekat, seakan sudah kenal lebih lama dari ini.
Di pembaringan malam ini, aku terpejam dengan perasaan haru dan bahagia, terimakasih
tuhan telah mempertemukan aku dengan sahabat-sahabat baru yang hebat dan guru
yang memiliki ketulusan sedalam samudra.
we are the green, perempuan-perempuan ketceh kelompok puisi (dari kiri; bu Natalia, me, and bu Rizyanti)
dengan Pak Iman Soleh, guru puisi kami
🎩 Day three at Lembang ; act, act, and act! don’t
be afraid!
Pagi ini aku dan bu Lia kembali membuat para
peserta perempuan yang lain bertambah cemburu karna kekompakan kami dalam hal
pakaian, seperti pinang dibelah dua. Kemarin, panitia memberikan informasi bahwa dress code hari ini
adalah kaos teacher supercamp warna Abu dengan lengan hijau toska, untungnya
aku bawa berego ibuku yang warna senada dan bu lia juga bawa jilbab warna
senada juga. Jadilah di ruang makan, peserta
lain yang tidak membawa kerudung warna senada, mencandai kami bahwa kami telah diberitahu panitia dari
jauh2 hari, bahwa panitia tidak adil, hahaha dan kami berdua hanya tertawa
mendengarnya, karna memang semua yang kami pakai dari hari pertama sampai
sekarang itu pure karna kebetulan dan
bukan janjian apalagi main smsan sama panitia, hahaha😁
Setelah sarapan, kami di ajak panitia ke
taman bawah dekat kolam renang. Pagi ini kami akan belajar olah tubuh, olah
suara, dan oleh sukma dengan pa Iman.
Sesi pertama, kami
diminta berjalan bebas kemana saja yang penting tidak ke luar lapangan futsal,
kami mulai berjalan tegap bersama, sendiri-sendiri, ke arah yang yang kami
suka, kemudian pa Iman memberikan aba-aba berhenti, kami seketika berhenti di
tempat kami berdiri masing2, pa Iman memberi perintah kepada kami untuk sedikit
menurunkan badan kami, seperapat, jadilah kami berjalan dengan lutut sedikit
ditekuk. Tidak lama, pa Iman
memberi aba-aba lagi untuk berhenti dan memintanya kami untk menurunkan kembali
ketegapan, jadilah kami berjalan dengan lutut yang semakin ditekuk, seperti
jalannya kera. Dan begitu seterusnya hingga kami harus jalan jongkok. 😂
Sesi kedua kami diminta
berjalan normal kembali, dan jika mendengar aba-aba ‘2’ atau ‘3’ atau berapa
saja, kami diminta untuk membentuk kelompok sesuai aba-aba, tapi dengan satu
syarat yaitu tidak boleh bersuara, harus senyap, karna kata pa Iman, kerja KPK
kan seperti itu, dengan cara diam-diam.
Permainan pun dimulai, kami berjalan
normal, dan tiba-tiba
aba-aba diteriakan, kami mulai sibuk kesana
lemari mencari teman untuk membuat kelompok tapi sambil menahan diri untuk
tidak berteriak-teriak, tapi yang ada kami malah ingin tertawa. Begitu
seterusnya, kemudian divariasikan, jika
kelompok yang diminta berjumlah ganjil, maka satu orang di kelompok itu harus
duduk juga menyebutkan nama-nama teman satu kelompoknya dengan cepat tanpa
melihat wajahnya.
Sesi ketiga,
permainan dilanjutkan dengan permainan menyebutkan huruf vokal tapi sambil diperagakan,
huruf A gerakannya tangan dan kaki ke bawah tapi agak direnggangkan,
seolah-olah huruf A, huruf I tangan di gerakan lurus ke atas seperti mau
bertepuk tangan, huruf U kedua tangan masih di atas tapi dibentukkan seperti
huruf U, huruf E gerakannya tangan masih di atas tapi tidak lagi tegak lurus
melainkan membentuk siku2, kemudian huruf O gerakannya tangan masih di atas dan
dibuat lingkaran seperti kita memberi aba2 membuat lingkaran besar.
Peraturan permainan ini adalah, peserta dibagi
dalam 3 kelompok besar membentuk lingkaran, orang yang pertama ditunjuk untuk
memulai, dia menghadap teman di sampingnya mempergakan salah satu huruf vokal
tadi, dan jika temannya SETUJU maka ia mengikuti gerakan teman yang pertama
sambil menghadap teman di sampingnya. Tapi jika ia TIDAK SETUJU atau mau
MELAWAN, ia harus mempergakan huruf vokal yang lain yang berbeda dengan teman
yang pertama tadi memulai. Begitu seterusnya, jika orang yang salah
memperagakan, ia harus keluar dari lingkaran, sampai tersisa hanya satu orang
pemenang, dialah yang konsetrasinya bagus, karna sejatinya permainan ini adalah
permainan konsentrasi.
Setelah terpilih, pemenang dari tiap kelompok masing-masing
diadu kembali dengan pemenang dari kelompok lain. And finally,
pemenang terakhir adalah dari kelompok puisi dan naskah drama yang diwakili
oleh mba Farida Aini selalu panitia. 😍
Sesi keempat,
yaitu permainan bunyi. Kami diminta berkelompok, dan masing-masing kelompok diminta untuk membunyikan bunyi
atau suara yang yang natural atau alami, seperti suara batuk, berdehem,
berdahak, dan lain-lain,
kemudian pa Iman memimpin orkestra bunyi itu layaknya seorang konduktor musik,
dan ajaib, bunyi-bunyi
yang keluar dari mulut kami seperti sebuah pertunjukan orkestra musik yang
ternyata rapih.
Sesi kelima,
ini adalah permainan terakhir, peraturannya sama seperti permainan huruf vokal
tadi, tapi yang disambung pada teman bukan gerakan huruf vokal, melainkan kata
atau kalimat, seperti ‘apa kabar?’ ‘sudah makan?’, ‘masih laper', atau ‘capek’
dan lain sebagainya, sambung kata atau kalimat ini seperti halnya pesan
berantai tetapi jika kita tidak SETUJU kita bisa menggantinya dengan kata atau
kalimat lain yang kita suka.
Sesi keenam,
kami diminta berpasangan kemudian diminta untuk saling mengoreksi apa yang
kurang dari tampilan kita, misalnya baju yang kebesaran, kerudung yang tidak matching,
dan lain-lain. Sehabis itu, kami diminta untuk saling bercerita tentang benda
yang berada di tangan kami, atau yang kami pakai saat itu, bagaimana cerita tentang
asal mula benda tersebut, atau kenangan tentang benda tersebut, apapun itu
harus diceritakan ataupun ditanyakan pada teman kita. Setelah selesai, pa Iman
kemudian memanggil dua pasangan untuk maju ke depan dan diminta meneriakan
kembali cerita tentang benda milik temannya masing-masing. Inti dari permainan yang ini adalah,
bahwa ternyata ide kreatif untuk membuat sebuah karya tidak harus dicari jauh-jauh,
karna sebenarnya benda-benda
yang kita miliki, yang kita pakai sehari-hari memiliki ceritanya masing-masing yang bisa kita jadikan ide untuk membuat
sebuah karya.
Sesi ketujuh, pa
Iman memanggil salah satu panitia, kemudian beliau memintanya untuk melihat ke
perbukitan dan membayangkan bahwa di sana ada sebuah gubug dengan penghuninya
seseorang laki-laki. Beliau kemudian
meminta panitia tersebut untuk bercerita tentang benda milik temannya dengan
cara berteriak. Permainan ini bertujuan untuk melatih imajinasi dalam
berkarya.
Sesi kedelapan, pa
Iman meminta dua orang untuk maju, kemudian kepada yang satunya ia meminta untuk
bercerita sambil marah, atau dengan intonasi marah, lalu pa Iman meminta orang
kedua untuk bercerita mengikuti intonasi yang sama dengan orang pertama. Permainan ini bertujuan untuk melatih intonasi
bicara.
Selesai sesi olah tubuh suara dan sukma
bersama pa Iman, kami berpencar kembali sesuai dengan kelompok masing-masing.
Kelompok cerpen, esai dan naskah drama kembali lagi ke meeting room
utama di atas, sedangkan kelompok puisi dan drama tetap di bawah dan berlatih untuk
pentas nanti malam bersama pa Iman dan asistennya Feri Sandi.
Kami, kelompok puisi segera menuju saung kecil
bersama pa Iman untuk belajar membaca puisi. Pa Iman tidak memberi contoh bagaimana membaca puisi yang bagus,
beliau hanya memberi pengarahan dengan tehnik pendekatan sesuai gaya bahasa
dari masing-masing daerah. Agar ketika tampil baca puisi, kekhasan daerah
darimana kita berasal itu menonjol di telinga para pendengar. Jadi, yang dari
madura, pakailah logat bahasa madura, yang dari Flores, pakailah logat bahasa
Flores atau minimal masukan ciri khas dialek bahasa daerah masing-masing saat
kita membaca puisi.
Setelah itu,setiap orang membaca
puisinya, dan setelah selesai, pa Iman memberi masukan, apa yang kurang, dan
harus bagaimana cara mengatasinya. Tapi lebih dari sekedar latihan, kami juga
berdiskusi tentang banyak hal, tentang penyair, tentang pembacaan puisi,
tentang kultur agama, sosial kemasyaràkatan, bahkan tentang latar belakang
keluarga kami. Pa Iman membaca ibu Riz yang dari lampung adalah orang pramuka, dan
ternyata benar, kemudian ia beralih kepadaku, ia bilang bahwa aku dekat selalu
dengan orang tua, dan aku membenarkannya, kemudian pa Iman menoleh ke bu Lia,
bu Lia orangnya banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial kemasyaràkatan.
Awalnya aku
kaget, darimana beliau bisa tahu itu semua, tapi setelah kupikir, mungkin
beliau melihat dari puisi-puisi yang kami tulis. Aku membaca kembali puisi-puisi yang aku tulis, dan beliau
benar, bahwa puisi yang aku tulis diwarnai oleh tema keluarga, ayah, ibu,
rumah, pulang dll. Tidak heran jika pa Iman bilang, lewat puisi aku ingin
membangun home , sebuah rumah dalam
artian psikologis atau hubungan emotional antara anggota keluarga.
Sedangkan bu Riz, ia membangun house,
sebuah rumah dalam arti fisik atau bangunannnya lewat karya puisi yang
ditulisnya.
Selepas dhuhur, kelompok puisi dan drama tidak latihan lagi, karna pa Iman
harus pulang ke rumahnya untuk mengechek persiapan di CCL nanti malam. Sejujurnya
aku sendiri masih belum merasa puas dan pede pada kemampuan membaca
puisiku, apalagi kalau membayangkan pementasan nanti malam, semakin membuat
jantungku tidak karuan.
Karena kelompok kami punya waktu luang, panitia
mengijinkan kami untuk berjalan-jalan ke luar resort untuk berbelanja oleh-oleh.
Dan kamipun pergi menuju komplek tahu susu lembang yang jaraknya bisa ditempuh
dengan jalan kaki dari Resort. Kami hanya tinggal keluar gerbang dan berjalan
lurus, belok Kiri dan berjalan sedikit di pinggir jalan raya, sampailah kami di
Komplek Tahu Susu Lembang yang terkenal itu. Aku sendiri penasaran, tahu yang
seperti apa yang disebut dengan tahu susu ini? Tapi untungnya bu Lia beli, dan aku bisa
mencicipinya. Dan rasanya… memang enak sekali, teksturnya sangat lembut di
lidah. Tapi sayangnya kami tidak bisa membelinya untuk dijadikan oleh-oleh,
karna tahu susu yang mentahnya hanya tahan 24 jam. Sedangkan kami baru pulang
besok sore ke Jakarta, dan Sampai rumah
mungkin hari sabtu bagi yang luar Jakarta, jadi kami hanya membeli penganan-penganan
seperti selai pisang, kripik tempe, kripik bayam, dan lain-lain. Pukul 4 sore,
kami sudah berada lagi di resort, karna kata panitia akan ada reimbursement atau penggantian uang transport.
Malamnya, kira- kira pukul setengah
delapan, kami berangkat ke CCL yang berlokasi dekat terminal Ledeng di jalan Setiabudhi
Bandung. Kami berangkat kesana dengan naik
angkot, tidak sampai satu jam, kami sudah sampai di lokasi. Angkot berhenti di
depan alfamart, dan kami masuk ke gang kecil di samping alfamart tersebut, di
kanan kiri gang tersebut, nampak kontrakan atau kos-kosan, dan saat kami mulai memasuki
jalan gelap tanpa penerangan, dua orang pemuda menyambut kami sambil mempersilahkan
untuk terus berjalan, saat aku melihat ke bawah, di kiri dan kanan, lilin yang
ditempatkan di kertas bungkus gorengan yang sudah diisi pasir menyambut kami
dengan senyuman romantic.
Jalan gang yang sempit dan
gelap dengan penerangan lilin di dalam bungkus gorengan di sepanjang kanan kiri
jalan, membuat kita seakan hendak memasuki sebuah dunia lain, dan bagiku ide
pemandangan lilin dengan menggunakan bungkus gorengan itu adalah ide yang
brillian sekali. Sederhana, tetapi berkesan elegan. Aku jadi tidak sabar, untuk
segera melihat, seperti apakah wajah CCL sebenarnya.
Tidak lama,
kamipun sampai di CCL, rerimbunan pohon menyambut kami, dan sebuah taman
kesenian yang asri berada tepat di tengah-tengah bangunan kos-kosan, dipayungi pohon-pohon
rindang, tempat duduk dari semen dibangun berundak setengah lingkaran layaknya
kursi-kursi di teater menghadap panggung berlantai semen dengan background
kain hitam dan merah tempat pementasan kesenian, tempat yang juga akan menjadi
saksi aku pertama kalinya tampil membacakan puisi di depan banyak orang.
Setelah
beramah taman dengan pa Iman, bu lia memilih tempat duduk paling depan di
barisan pertama, aku tadinya tidak mau, karna perasaan gugup mulai merayap di
tubuhku, tapi akhirnya aku setuju, dan tidak menyesal duduk disana, karna bisa
dengan jelas menyaksikan penampilan-penampilan keren tanpa terhalang oleh apapun.
Pa Iman langsung membuka acara karna
beliau sendiri adalah Mcnya. Tapi sebelum memulai, pa Iman memanggil salah satu
anak untuk mengajarkan kami yel-yel CCL. Kemudian pa Iman memanggil pa RT untuk
memimpin menyanyikan lagu Indonesia raya. Setelah itu baru penampilan-penampilan.
Penampilanlan pertama yaitu, pembacaan puisi oleh
mas gong, dilanjutkan pembacaan puisi oleh gusjur, dosen teater di bandung, pembacaan
puisi yang menurutku out of the box, karena tidak seperti pembacaan puisi pada
umumnya. Baru kemudian penampilan kelompok cerpen dan kelompok esai. Penampilan
kelompok cerpen, diwakili oleh bu istiqomah dengan membacakan cerpennya dengan
cara dramatic Reading seperti halnya monolog. Sedangkan kelompok esai hanya menceritakan
tentang judul dan kata kunci esay yang dibuat oleh peserta.
Penampilan berikutnya, yaitu dari
kelompok komik, sama seperti esay, para peserta juga hanya menjelaskan tentang
karya yang mereka buat dan ditampilkan di layar infocus. Saat melihatnya, aku
berdecak kagum, komik-komik anti korupsi itu bagus-bagus sekali, bertema
remaja, lucu, tapi tetap mengandung nilai-nilai anti korupsi yang ingin
ditanamkan kepada para pelajar SMP dan SMA.
Dan tibalah saatnya penampilan pembacaan
puisi dari kelompok puisi. Debar jantungku mulai berpacu, dan pa Iman memanggil
namaku sebagai pembaca puisi pertama dari kelompok puisi, “…. Marilah kita
panggilkan seorang penyair yang berasal dari tempat yang tidak ada di Peta,
yaitu Eka sajira!!! “ seketika itu juga,
kakiku mulai bergetar dan degup jantungku seperti berlari bahkan jumpalitan, aku
maju dengan berusaha sekeras mungkin untuk tidak gugup, tapi usahaku sia-sia,
karna selama membaca puisi, kedua tungkai kakiku tidak berhenti bergetar karna
gugup atau demam panggung. Untunglah puisi Ku tidak panjang, jadi aku tidak
perlu berdiri sampai setengah jam dengan lutut yang bergetar hebat. 😧
Satu hal yang akan selalu kukenang,
ternyata pa Iman benar-benar memanggilku dengan nama Eka Sajira seperti yang ia
berikan kepadaku kemarin sore.
Setelah aku,
adalah penampilan bu lia yang membacakan puisinya tentang curahan hati anak
seorang koruptor, pa Iman memberikan prolog yang cukup panjang sebelum beliau
memanggil bu lia, yaitu dikaitkan dengan hari-hari libur dan hari raya. kemudian
Khoirul umam yang puisinya tentang Fuad, salah satu tokoh politik dari daerahnya
yang menjadi tersangka korupsi migas, disusul bara pattyradja, penyair dari Flores, ia
membacakan puisi berjudul ‘aku merindukan lirih pidato politikmu’ dan ‘korupsi
kuda kata’ yang disambut tepuk tangan cukup meriah dari para penonton. Terakhir
baru bu riz, tapi sebelum pa Iman memanggilnya ke panggung, pa Iman mengajar
audience untuk tepuk pramuka dahulu untuk menyambut ibu Riz, bu riz membacakan puisi karya bu Natalia. baru
disusul oleh pa hamzah dari kelompok drama yang membacakan puisi karya Khoirul Umam
berjudul ‘karna kau bernama Indonesia’.
Baru
kemudian, penampilan dari kelompok naskah drama, naskah drama yang ditampilkan
adalah naskah karya pa Asmudin dari Kendari yang berjudul ‘Amplop-amplop
laknat’. Ada cerita lucu
disini, jadi ternyata yang terkena demam panggung itu bukan hanya aku, tetapi
juga pa As, ketika tiba giliranku masuk panggung dan berakting, pa As tiba-tiba
blank dan lupa semua dialog yang sudah dihapalnya, akhirnya ia hanya meneriakan
kata-kata ‘rakyat bersatu! Tak bisa dikalahkan’ lebih dari Lima kali dan mengajak
audience untuk mengikutinya. tadinya
kami menganggap itu memang sesuai dengan skenario, tetapi besoknya teman satu
kelompoknya bercerita bahwa pa As tiba-tiba blank dan berimprovisasi seperti
itu. Kalau ingat kejadian itu, aku selalu tidak tahan untuk tertawa.😁
Setelah
penampilan kelompok naskah drama, ada pembacaan puisi dari pak Sandri orang KPK,
ia membacakan puisi karyaku, juga puisi yang tadi sudah aku baca yaitu ‘ini
sandiwara apa?’ tapi dengan gaya dan khas yang berbeda sekali denganku. ☺
Dan
kemudian, sampailah di puncak acara yang ditunggu-tunggu yaitu penampilan
teater berjudul TUYUL yang dimainkan oleh anak anak asuhan pa iman, siswa dan
siswi SMKI Bandung. Tapi
sayangnya, aku tidak bisa mendeskripsikan penampilan teater mereka, karna
saking hebatnya, saking kerennya, penampilan mereka. Maka begitu penampilan mereka
selesai, aku, juga para audience yang lain, langsung memberikan standing applause yang meriah kepada anak-anak muda berbakat itu. Dan ajaib,
hujanpun turun mengguyur CCL sesaat mereka selesai menutup penampilannya.
Akhirnya, dengan sisa-sisa hujan,
kami pulang ke resort dengan membawa oleh-oleh yang lebih berharga dari
penganan, atau cindramata apapun, kami pulang dengan sebentuk hati yang lain,
hati yang semakin mencintai literasi, seni, dan tentu saja bangsa ini.
Di luar, gerimis masih membasahi kaca Mobil angkot yang membawa
kami pulang, membelah jalan Setiabudhi Bandung menerobos serdadu hujan, ah, ini malam,
malam terakhir di Lembang yang begitu berkesan di hati dan perasaan.
🎒
The Last Day in Lembang; Saat lagu ‘leaving on a jet plane’ mengudara di kepala
And I’m leaving on a jet
plane
Don't know when I’ll be
back again
Oh, beib
I hate to go
Ini hari terakhir aku di lembang dan hari terakhir kegiatan
teacher supercamp KPK 2015. Sebelum acara penutupan, ada permainan outbound
yang dipandu oleh team outbound sanGria. Kami bermain outbound dengan semangat.
Ada beberapa permainan yang kami mainkan, dan semuanya dimainkan secara
berkelompok sesuai kelompok masing-masing.
Permainan pertama yaitu permainan
menginjak angka. Peraturannya, setiap perwaki!an kelompok akan beradu cepat dengan
anggota kelompok lain, yaitu menginjak karpet-karpet Nomor dari Nomor 1 sampai
20, tetapi karpet-karpet itu ditaruh secara acak dan tidak beraturan. Dan
kelompok puisi, keluar sebagai pemenang melawan kelompok naskah drama.
Permainan kedua, yaitu permainan
memasukan air ke dalam jantungku plastik. Kelompok mana yang berhasil
mengumpulkan kantung yang terbanyak, merekalah pemenangnya, dan kelompok puisi
menang lagi dari semua kelompok karna berhasil memasukan air sampai 33 bungkus.
Permainan
selanjutnya yaitu permainan suit antar kelompok, dan kelompok yang kalah harus
rela dibasahi oleh kelompok yang menang, sayangnya kelompok kami kalah Kali ini.
😦
Permainan terakhir yaitu permainan lomba jalan dengan bakiak
kayu. Tapi sayangnya pada permainan Kali ini juga kelompok kami terpaksa harus
menerima kekalahan. 😦
Tapi ternyata point yang kami kumpulkan lumayan juga, karna
kami berada di urutan kedua dan mendapatkan hadiah coklat dari panitia. 😁
Selesai permainan,
kami coffee break, baru kemudian acara penutupan yang dipandu oleh mba Amanda
dari Provisi. kami menyanyikan lagu padamu negeri, disusul prakata-prakata dari
pihak KPK, Mentor, dan perwakilan peserta, yang diwakili oleh maruntung
sihombing dari Papua, dan ria utami dari madiun. Setelah itu baru sesi foto bersama dan penutup.
Selesai foto bersama, aku dan bu Riz,
menemui pa Iman, aku berpamitan dan tanpa bisa kubendung, air mataku sudah
menganak sungai di pipi. Entahlah, aku begitu bersedih berpisah dengan beliau. Guruku
yang tulus, yang telah memberiku banyak pelajaran berharga disini.
Pukul 12 siang, aku dan bu lia, selesai
mengepak barang-barang kami dan langsung chek
out di lobby. Pukul satu , bis yang membawa kami ke Jakarta keluar dari resort, dan
tiba-tiba saja lagu leaving on a jet plane berdenging di kepalaku. Yaaa, walaupun aku sendiri pulangnya bukan naik pesawat tetapi naik
kereta.
And I’m
leaving on a jet plane
Inilah saatnya aku/kami, pergi, menaiki pesawat, kereta,
atau juga bis kota
I don’t know when I’ll be back again
Aku/kami, sungguh tidak tahu kapan akan kembali bertemu dan
berkumpul kembali, untuk berdiskusi, atau sekedar merentangkan mimpi-mimpi.
Oh, beib, I hate to go
Oh, sayang, aku/kami benci untuk pergi
Dan sampailah aku di sini,
di ujung perjalanan kata-kata dengan sejuta rasa, sejuta inspirasi menggelora.
“When you leave your home to
see the world,
You will be surprised by
something wonderful
You find in the road “ ~
Eka Sajira
Terimakasih KPK, terimakasih para mentor, terimakasih
panitia dari Provisi,
Dan pada sahabat-sahabat guru-guru Indonesia yang hebat, terkhusus
kelompok puisi dan teristimewa bu Natalia, the best and kindest roommate in the
world. You're also give many inspiration through the story of your life that
you told me. 😊
Sajira, mid November yang mulai basah 2015
foto bersama
Buku kumpulan karya peserta TSC 2015